“Karena Kami Semua Membenci Rezim Militer dan Ingin Melenyapkannya”
Merdeka.com - Pada 24 Mei di negara bagian Kachin, Myanmar, Awng Di (13) melewati rumah bibinya pada siang hari untuk memberi makan ayam-ayamnya. Tiga belas menit kemudian, artileri berat menabrak kandang ayamnya. Awng Di meninggal sebelum sampai di klinik terdekat.
“Keluarga kami tidak pernah terlibat dalam politik. Kami hanya berusaha bertahan hidup,” kata ibu gadis remaja itu kepada Al Jazeera, dilansir Selasa (6/7).
“Sekarang, saya ingin mengutuk (tentara militer) setiap saat saya melihat mereka,” lanjutnya.
-
Siapa yang melakukan pemalakan? Dijelaskan bahwa oknum di PPDS Anestesi Undip ini meminta uang senilai Rp20-40 juta. Permintaan uang ini bahkan berlangsung sejak dokter Risma masuk PPDS Anestesi sekitar bulan Juli hingga November 2022 lalu. 'Dalam proses investigasi, kami menemukan adanya dugaan permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam program tersebut kepada almarhumah Risma. Permintaan uang ini berkisar antara Rp20-Rp40 juta per bulan,' ungkap Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril pada Minggu (1/9).
-
Siapa yang menghancurkan rumah warga Palestina? Pasukan penjajah Israel menghancurkan 17 rumah warga Palestina di Tepi Barat yang dijajah pada Rabu (26/6).
-
Mengapa rumah warga Palestina dihancurkan? Di Yerikho, pembongkaran dilakukan atas dasar rumah-rumah tersebut dibangun tanpa izin dari Israel.
-
Bagaimana Israel menghancurkan rumah warga Palestina? Buldoser mengobrak-abrik tanah, mencabut banyak sel surya, tangki air, dan pagar, serta pepohonan.
-
Apa yang dilakukan petugas di rumah tersebut? Video yang diunggah di Facebook pada 17 Agustus 2024 itu menampilkan sekelompok petugas berada di depan gerbang sebuah rumah. Mereka tampak tengah membacakan surat perintah penggeledahan.
-
Di mana rumah-rumah warga Palestina dihancurkan? Pasukan penjajah Israel menghancurkan 17 rumah warga Palestina di Tepi Barat yang dijajah pada Rabu (26/6).
Daerah Momauk, kampung halaman Awng Di, menjadi lokasi bentrokan antara militer Myanmar, Tatmadaw, dan Tentara Kemerdekaan Kachin, sayap bersenjata organisasi etnis bersenjata, sejak April. PBB memperkirakan, meningkatnya kekerasan di Momauk dan bagian lain dari Negara Bagian Kachin membuat lebih dari 11.000 orang mengungsi.
Bentrokan di Momauk menandai eskalasi pertempuran yang lebih luas di seluruh negeri sejak kudeta militer 1 Februari. Konflik puluhan tahun antara Tatmadaw dan organisasi bersenjata etnis di daerah perbatasan Myanmar berlanjut. Pasukan pertahanan sipil muncul di kota-kota di mana pertempuran tidak pernah terjadi sebelumnya.
Sebagai respons atas meningkatnya perlawanan bersenjata, Tatmadaw meluncurkan serangan udara dan darat secara membabi buta di wilayah sipil, menggusur 230.000 orang sejak kudeta. Pasukan keamanan juga menjarah dan membakar rumah-rumah warga, memblokir akses bantuan dan pengangkutan barang-barang bantuan, membatasi pasokan air, memutus jaringan telekomunikasi, menembaki tempat-tempat pengungsian, dan membunuh serta menangkap sukarelawan yang berusaha menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Menurut Direktur program Kelompok Hak Asasi Manusia Karen, Naw Htoo Htoo, strategi kekerasan Tatmadaw sejak kudeta menandai kelanjutan dari strategi yang dikenal sebagai “four cuts” atau “empat pemutusan”. Strategi ini pernah digunakan militer terhadap penduduk Karen pada 1960-an dan sejak saat itu dikerahkan untuk melawan penduduk sipil di daerah etnis minoritas lainnya.
“(Tatmadaw) tidak lagi menggunakan kata ‘four cuts’, tetapi strateginya pasti sama dengan four cuts yang mereka gunakan pada orang-orang etnis selama lebih dari 70 tahun,” jelas Naw Htoo Htoo.
Strategi ‘four cuts’ mencakup pembatasan akses ke makanan, dana, intelijen, dan perekrutan. Strategi ini bertujuan agar basis dukungan perlawanan bersenjata kelaparan dan membuat warga sipil berbalik arah melawan kelompok perlawanan sipil. Strategi ini juga digunakan di negara bagian Kachin dan Rakhine.
Menurut Kim Jolliffe, seorang peneliti independen yang berfokus pada keamanan dan konflik di Myanmar, strategi ini tidak hanya untuk menghancurkan keturunan warga sipil tetapi sebagai sumber daya utama di medan perang.
“Mereka menjadi sasaran langsung kekerasan ekstrem dan mata pencaharian mereka sengaja dihancurkan sehingga kelompok bersenjata tidak dapat menemukan perlindungan dan dukungan sipil,” jelasnya kepada Al Jazeera.
Sejak kudeta, Tatmadaw memperluas strategi ‘four cuts’ ini di seluruh negeri, termasuk di daerah-daerah yang didominasi oleh mayoritas etnis Bamar.
Pada akhir Maret, setelah pasukan keamanan menjarah rumah-rumah di pusat kota Gangaw, wilayah Magway, penduduk setempat mulai melawan dengan senapan berburu. Tatmadaw menanggapi dengan bahan peledak berat dan senapan mesin yang menewaskan empat orang dan menyebabkan lebih dari 10.000 orang melarikan diri ke hutan, menurut kelompok media lokal Myanmar Now.
Kota Pauk di Magway juga menyaksikan kekerasan tanpa pandang bulu pada 15 Juni malam, ketika lebih dari 200 rumah di desa Kinma terbakar habis, menewaskan pasangan lansia yang terperangkap di dalam rumah mereka.
Salah satu penduduk desa mengatakan kepada Al Jazeera, dia melihat setidaknya sembilan orang berpakaian preman memasuki desa sekitar jam 11 malam pada tanggal 15 Juni, membakar rumah dan menembaki ternak, babi, dan kerbau di desa itu.
Tatmadaw menyalahkan insiden itu pada 40 "teroris" dan mengatakan media yang menuduh pihaknya terlibat membakar desa berusaha mendiskreditkan militer.
Al Jazeera berulang kali menghubungi juru bicara militer untuk dimintai komentar terkait strategi “empat pemutusan” ini namun tak dijawab.
Saat ini penduduk Kinma tersebar di desa-desa terdekat atau tinggal di tempat penampungan darurat di hutan. Salah seorang warga, Than Tun Aung (nama samara) mengatakan kepada Al Jazeera, mereka kehabisan makanan dan barang persediaan lainnya.“Mengumpulkan bantuan itu menantang karena bisa jadi ada polisi atau tentara di sepanjang jalan,” katanya.
“Kami selalu waspada dan siap berlari.”
Semua nyawa terancam
Negara Bagian Kayah dan Negara Bagian Shan juga menjadi sasaran serangan Tatmadaw sejak 23 Mei. Serangan Tatmadaw dipicu penyerbuan kantor polisi di kota Moebye oleh Pasukan Pertahanan Rakyat Karenni.
Pertempuran dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah. Pejuang pertahanan sipil melakukan penyergapan yang ditargetkan dengan senjata rakitan, Tatmadaw menembakkan artileri dan senjata ke wilayah sipil dan menggusur 100.000 orang, yang sebagian besar sekarang mengungsi di hutan terdekat.
Gereja-gereja yang menjadi tempat berlindung warga berulang kali diserang, termasuk Gereja Hati Kudus di kota Loikaw Negara Bagian Kayah, yang ditembaki pada 24 Mei, menewaskan empat orang.
Pengiriman bantuan di Kayah dan Shan sulit dan berbahaya. Tatmadaw memblokir distribusi barang ke kota-kota yang terkena dampak konflik, membunuh dan menangkap relawan bantuan, dan membunuh dua orang pengungsi ketika mereka mencoba mengambil beras dari rumah mereka.
Seorang relawan bantuan di Pekon, Joseph Reh (nama samaran), mengatakan kepada Al Jazeera, awalnya kelompoknya menggunakan bendera putih ketika memberikan bantuan dengan harapan akan melindungi mereka, tetapi pasukan keamanan tetap menembaki mereka.
Kelompoknya menyimpan makanan dan barang-barang bantuan di sebuah sekolah. Awalnya bantuan tidak dapat disalurkan karena risiko penyerangan. Pada 8 Juni sore, ketika para relawan berusaha membawa karung beras ke orang-orang terlantar yang bersembunyi di pegunungan, pasukan keamanan menembaki mobil kelompoknya sehingga terpaksa berbalik arah.
“Karena itu, mereka mengetahui di mana kami menyimpan makanan dan perbekalan kami,” kata Joseph Reh.
“Mereka datang ke sekolah, membawa semua perbekalan kami ke ladang, dan membakarnya,” jelasnya.
Pembakaran dilakukan pada malam harinya dan 80 karung beras dimusnahkan, serta tumpukan bahan makanan kering lainnya, obat-obatan, ambulans, dan mobil.
“Mereka menghancurkan hal-hal yang tidak seharusnya mereka hancurkan dan yang tidak terkait dengan pasukan pertahanan rakyat yang mereka lawan,” kata Joseph Reh.
“Persediaan makanan yang mereka bakar murni untuk para pengungsi. Ambulans yang mereka bakar sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertempuran. Tertulis RESCUE dan memiliki logo palang merah.”
Dua hari berikutnya, kata Joseph Reh, pasukan keamanan menembaki pegunungan sehingga pengiriman bantuan semakin sulit.
Selain kekurangan makanan dan pasokan kebutuhan lainnya, tidak tersedia tempat tinggal dan perawatan medis yang memadai. Di kota kecil Mindat Negara Bagian Chin, Tatmadaw meluncurkan serangan senjata berat yang membuat lebih dari 20.000 orang mengungsi. Setidaknya enam pengungsi meninggal karena kurangnya akses medis, menurut Radio Free Asia.
“Semuanya berada di bawah kendali militer dan semua nyawa terancam,” kata kepala kelompok tanggap darurat relawan Mindat, Salai Shane (nama samara). Dia menyebutnya "kesulitan ekstrim" ketika mencoba mengakses orang-orang terlantar.
Pada 13 Juni, salah satu kendaraan kelompoknya disita dalam perjalanan dari Pakokku, wilayah Magway, ke Mindat, saat mengangkut makanan dan jas hujan. Sejak saat itu Salai Shane kehilangan kontak dengan pengemudi.
Pada 19 Juni, pasukan keamanan menangkap seorang anggota kelompok tersebut dan menyita sepeda motornya serta bantuan yang dia bawa ke orang-orang terlantar. Menurut pengakuan Shane, selama sepekan dalam tahanan, dia dipukuli dan diinterogasi.
Adanya relawan bantuan yang ditembak mati di Kayah, Shane mengatakan sangat takut menyalurkan bantuan dengan jalan kaki.
“Kadang-kadang tidak ada jalur untuk sepeda motor dan kami harus membawa barang sendiri selama beberapa kali perjalanan,” ujarnya.
“Jika kita berada di hutan atau rimba, kita bisa dibunuh dan tubuh kita hilang.”
Benci militer
Menurut peneliti independen Kim Jolliffe, Tatmadaw bersedia melakukan "hal-hal yang tidak terduga" kepada masyarakat umum untuk mempertahankan kendalinya.
Strategi “empat pemutusan” bisa jadi bertujuan agar publik menentang perlawanan bersenjata, namun menurut Naw Htoo Htoo, pendekatan itu kemungkinan akan menjadi bumerang.
“Dalam jangka pendek, mungkin ada beberapa dampak pada perlawanan bersenjata karena kekurangan makanan dan air dan akses terbatas ke sumber daya, tetapi untuk jangka panjang, (militer) tidak akan bisa memerintah di mana pun,” jelasnya.
“Semakin mereka menindas rakyat, semakin kuat warga sipil, karena ketika mereka dengan sengaja menyerang semua orang, rakyat semakin membenci mereka.”
Para korban kekerasan Tatmadaw sejak kudeta mengatakan kepada Al Jazeera, pengalaman tersebut memperkuat kebencian mereka terhadap pasukan keamanan dan membuat mereka semakin bertekad menjatuhkan mereka.
“Tidak akan pernah mungkin bagi kami untuk memandang militer secara positif,” kata Than Tun Aung dari desa Kinma kepada Al Jazeera.
“Kami hanya ingin terus hidup damai sebagai petani. Kami harus mengakhiri rezim militer ini atau kami akan menderita seumur hidup.”
Di Mindat, Salai Shane menyimpulkan hal yang sama.
“Jika pasukan pertahanan sipil dapat mengalahkan militer dan menyingkirkan mereka dari daerah itu, kami akan dapat dengan bebas melanjutkan kegiatan usaha dan pertanian dan menjalani kehidupan yang lebih baik,” paparnya.
“Kita tidak dapat memisahkan keduanya: kelompok perlawanan bersenjata terdiri dari warga sipil, karena kami semua membenci rezim militer dan ingin melenyapkannya. Membatasi bantuan kepada warga sipil hanya akan menunda gerakan perlawanan bersenjata, tetapi tidak dapat menghentikannya.”
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berakhirnya pemberontakan 8888 bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga meninggalkan jejak kelam dalam sejarah Myanmar.
Baca SelengkapnyaMahasiswa memaksa pengungsi naik ke truk yang telah disediakan. Semua barang milik pengungsi ikut diangkut
Baca SelengkapnyaPeran para wanita dibutuhkan dalam menambah personel untuk melawan junta militer Myanmar.
Baca SelengkapnyaTNI Polri akan bertindak tegas dengan penegakan hukum terhadap aksi KKB.
Baca Selengkapnya"Saya Tahu Apa yang Kami Lakukan di Gaza", Kisah Tentara Israel Menolak Kembali Bertempur
Baca SelengkapnyaKKB melakukan penyerangan dari arah pemukiman warga.
Baca SelengkapnyaKonflik Rohingya termasuk kejahatan genosida yang menelantarkan banyak orang.
Baca SelengkapnyaBerikut potret rumah yang ditembaki dan dibakar oleh KST Papua.
Baca SelengkapnyaMereka juga sengaja membakar dan menghancurkan rumah warga sipil agar tak bisa lagi dihuni.
Baca SelengkapnyaTiga senjata api hasil rampasan diamankan dari tangan kelimanya.
Baca SelengkapnyaKKB juga membakar bangunan pelayanan kesehatan dan tempat ibadah. Hal ini juga menambah rasa takut dan trauma warga Sugapa.
Baca SelengkapnyaKerusuhan itu terjadi akibat provokasi yang dilakukan sejumlah pihak saat mediasi berlangsung.
Baca Selengkapnya