Dari Dalam Hutan, Ini Cara Jenderal Soedirman Serukan Rakyat Berperang Lawan Belanda
Merdeka.com - Belanda memanfaatkan psikologis rakyat Indonesia dengan melancarkan perang propaganda. Terlebih pasca Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Belanda berhasil menduduki Yogyakarta dan menangkap Sukarno dan Hatta.
Penangkapan Sukarno dan Hatta sebagai simbol perjuangan tentu memengaruhi psikologis rakyat. Terjadi kebingungan, terutama di pulau Jawa. Kepada siapa rakyat harus memberikan dukungannya. Belanda memanfaatkan situasi ini untuk melakukan propaganda bahwa Republik dan TNI tidak ada lagi.
"Perdana Menteri Beel yang datang ke Jakarta mengundang tuan-tuan Soekarno, Hatta, untuk berbicara tentang RIS. Perdana Menteri Beel mengundang pribadi-pribadi Soekarno, Hatta, bukan lagi Presiden dan Wakil Presiden dari Republik. Karena Republik dan TNI-nya sudah tidak tegak lagi," cerita Nasution dalam buku Soedirman-Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan.
-
Mengapa Soedirman diburu Belanda? Keberadaan Soedirman memang menjadi momok bagi mereka, sehingga dirinya sangat diburu oleh Belanda.
-
Apa yang dilakukan Belanda? Pada praktiknya, tanah milik sultan itu kemudian disewakan kepada Belanda. Sementara itu, pemerintah kolonial memberikan konsesi kepada pemodal untuk mengolah hasil perkebunan tersebut. Mirisnya, rakyat yang ingin menggarap tanah harus memberikan konsesi kepada pemilik Afdeling.
-
Bagaimana cara Belanda mengendalikan Jawa? Selain membalas dendam atas kematian salah satu perwira VOC, pihak kolonial ingin mengontrol kekuasaan dan perpolitikan di tahan Jawa yang sebelumnya berada di tangan trah Suropati.
-
Apa pengaruh Belanda di timnas Indonesia? Kemajuan pesat Timnas Indonesia tidak terlepas dari upaya PSSI dalam program naturalisasi yang intensif. Kehadiran Thom Haye dan pemain berpengalaman lainnya yang terlatih di liga Belanda memberikan kontribusi signifikan bagi tim nasional.
-
Bagaimana Belanda menguasai wilayah? Sistem baru ini mengubah cara Belanda dalam menguasai daerah dengan menerapkan kolonialisme dan imperialisme dengan melakukan politik ekspansi.
-
Bagaimana cara Belanda menghalau Inggris di Jawa? Daendels mendapat tugas untuk mengamankan aset di Indonesia, dari kemungkinan serangan musuh.
Propaganda menjadi 'senjata ampun' yang lazim dimanfaatkan untuk kepentingan sipil dan militer di masa perang. Propaganda militer sangat efektif dalam peperangan, baik perang reguler maupun ireguer.
Nasution mengakui, propaganda menjadi titik terlemah yang menyerang Indonesia di masa lalu. Bahkan bisa menjadi kelemahan di masa mendatang karena kurang cerdasnya masyarakat Indonesia.
Wajar saja propaganda Belanda sangat efektif. Mengingat Indonesia sebagai bangsa terjajah yang pada masa itu pendidikan sangat terbatas untuk kalangan pribumi. Kurangnya kecerdasan dan tingginya angka buta huruf merupakan kelemahan Rakyat Indonesia waktu itu.
"Ada pemimpin Belanda dewasa itu yang mengatakan bahwa Republik dapat diruntuhkan dengan provokasi, sehingga kita akan saling fitnah-memfitnah, curiga-mencurigai, dan bunuh-membunuh. Surat-surat kaleng, selebaran-selebaran gelap, desas-desus, dokumentasi-dokumentasi rahasia ini semua mampu buat mengalahkan kita di sektor perang propaganda," ungkap Nasution dalam buku Pokok-Pokok Gerilya.
Cara Soedirman Lawan Propaganda Belanda
Jenderal Soedirman melihat situasi kebingungan rakyat Indonesia sebagai unsur utama perang gerilya (Perang Rakyat Semesta). Semangat rakyat harus dikembalikan.
Semangat juang rakyat Indonesia beralih. Melekat kepada sosok Jenderal Soedirman. Pada saat itu rakyat memandang Jenderal Soedirman sebagai rallying point (titik kumpul).
Saat itu, posisi Jenderal Soedirman berada di tengah hutan belantara. Menjalankan strategi perang gerilya. Panglima Besar memikirkan cara untuk menyerukan perlawanan rakyat kepada Belanda. Melalui propaganda yang bisa disebarluaskan dan didengar. Radio adalah jalan utamanya.
Radio merupakan sarana paling efektif dalam melakukan propaganda pada masa Revolusi selain Surat Kabar. Sebab, pada masa tersebut masih banyak rakyat Indonesia yang buta huruf, sehingga tidak bisa membaca pesan dalam surat kabar.
Pada masa Agresi Militer Belanda II, radio merupakan sarana penting yang manfaatnya sangat terasa bagi propaganda Republik. Khususnya setelah pembentukan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia).
Tidak salah radio digunakan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar APRI dan Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Territorium Jawa (PTTD) untuk menggaungkan perlawanan. Di Jawa, ada tiga pemancar radio yang kuat yaitu pemancar radio di Playen-Wonosari, di Kulonprogo dan di gunung Lawu.
Melalui radio rakyat dapat terus mengetahui perjuangan dari Jenderal Soedirman. Radio yang diterima kemudian juga disebarkan secara lisan dari mulut ke mulut maupun tulisan. Dengan begitu, kebingungan yang terjadi diantara rakyat Indonesia dapat teratasi.
Seruan Perlawanan dari Soedirman
Rencana Jenderal Spoor (Belanda) untuk melenyapkan Republik dapat dikatakan gagal. Apalagi setelah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Syafruddin Prawiranegara berdiri di Sumatera Barat pada tanggal 22 Desember 1948.
Melalui radio, Jenderal Soedirman memberi seruan agar rakyat Indonesia meneruskan perjuangannya dan Angkatan Perang telah bersatu dengan PDRI.
"Sikap seluruh TNI sebagai APRI – Pemerintah beserta rakyat meneruskan perjuangan.... pimpinan APRI telah bersatu dalam sikap dan tekad dengan PDRI ....," ucap Soedirman melalui radiogram dari Jawa untuk mengakui PDRI.
Semangat perlawanan digelorakan Jenderal Soedirman. Tak ada alasan tentara dan rakyat Indonesia melakukan gencatan senjata. Pesan ini terus disiarkan melalui radio. Sesaat sebelum RRI dipindahkan, mereka sempat menyiarkan keputusan Jenderal Soedirman untuk tetap bertahan sampai tetes darah terakhir.
"Tiap jengkal tanah harus kita pertahankan, maju terus pantang mundur," tegas Soedirman kepada Rakyat Indonesia.
Nasution bangga melihat pendirian Soedirman. Tak salah Nasution belajar banyak dari sosok Panglima Besar.
"Saya dapat mengenal Pak Dirman sebagai tokoh yang teguh pada pendiriannya, tapi dalam membelanya beliau amat bijaksana. Kalau beliau tak setuju dengan usul saya, maka beliau berkata, bahwa ia akan berpikir-pikir dulu. Lama kelamaan saya mengerti makna kata-kata beliau itu. Oleh beliau selalu dikedepankan kekompakan seluruh TNI dan kesejahteraan anak buah. Dalam penentuan siasat beliau memberikan keleluasaan penuh kepada saya baik saya soroti soal siasat itu sebentar," kata Nasution dalam buku Soedirman-Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan.
RI Tetap Berdiri Tegak
Radio sebagai corong propaganda Republik tetap ada di Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Pemancar kuat di Wonosari dan RRI di gunung Lawu dengan pimpinan Maladi sebagai Kepala Penerangan MBKD dapat diterima bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga dapat diterima delegasi RI, Menteri Luar Negeri Maramis.
Kabar mengenai perjuangan Indonesia berhasil disebarkan di Konferensi Asia (All Asian Kongress) di new Delhi, yang mana negara-negara Asia tetap mendukung RI.
"Pokoknya RI tetap bertegak, bahkan daerah-daerah Negara Pasundan, Negara Jawa Timur dan 'daerah Jawa Tengah' kita masuki kembali secara gerilya dengan long march Divisi Siliwangi, brigade Damar Wulan ke Basuki, dan lain-lain", jelas Nasution.
Berjuang Bukan Karena Sukarno Hatta
Jenderal Soedirman takkan menyerah pada Belanda. Perlawanan terus dilakukan hingga tetes darah terakhir. Untuk itu, Jenderal Soedirman harus dapat menjaga hawa atau moralitas yang dipegang teguh rakyat selama melakukan gerilya.
Di sisi lain, rakyat Indonesia terus-menerus digempur propaganda Belanda dengan mengatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia telah compang-camping. Belanda menawarkan kerja sama. Tapi semua itu tidak berhasil.
"Mereka tidak 'membaca' situasi dan kondisi yang sebenarnya. Rakyat berjuang bukan sekadar karena Soekarno-Hatta, atau pemerintah, dan TNI di masa itu bukanlah sekadar alat pemerintah, seperti tentara kuat Vietnam (Saigon) yang runtuh di tahun 1974, melainkan TNI di masa itu betul-betul suatu kekuatan rakyat, bukan sekadar alat pemerintah," jelas Nasution dalam buku Soedirman-Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan.
Soedirman mematahkan propaganda Belanda sekaligus meningkatkan moralitas rakyat. Membuktikan TNI masih menjadi kekuatan perlawanan. Serangan kejutan pada 1 Maret 1949 atau biasa dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret berhasil mengalahkan Belanda dan merebut kembali Yogyakarta.
Kabar ini sampai ke dunia internasional. Rakyat Indonesia sedang berjuang menegakkan kedaulatannya. Mereka tahu bahwa rakyat dan Tentara Nasional Indonesia masih utuh dan kuat.
Rakyat semakin percaya dengan TNI pasca Serangan Umum 1 Maret, tidak hanya di Yogyakarta tetapi juga diseluruh wilayah RI. Rakyat aktif menyediakan suplai makanan untuk pasukan TNI.
Keberhasilan menduduki Yogyakarta membuktikan kekuatan RI dan kesanggupan TNI untuk terus melakukan perlawanan. Pada segi militer, Serangan Umum 1 Maret membuat moril, semangat dan kepercayaan diri pasukan RI meningkat drastis. Serangan-serangan gerilya yang dilakukan menjadi lebih teratur.
Reporter Magang: Muhamad Fachri Rifki (mdk/noe)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah sebuah upaya besar dalam perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Baca SelengkapnyaWalaupun masing-masing punya cara yang berbeda, mereka punya peran besar bagi perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah
Baca SelengkapnyaProses masuknya Jepang ke Indonesia berawal pada masa Perang Dunia II pada tahun 1942.
Baca SelengkapnyaGedung itu menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Boja dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia
Baca SelengkapnyaSebuah video memperlihatkan para pejuang tanah air pada masa revolusi yang tertangkap oleh tentara Belanda.
Baca SelengkapnyaIndonesia pernah memiliki seorang Panglima TNI termuda yang menjabat saat masih berusia 19 tahun, ia adalah Jenderal besar TNI (Anumerta) Raden Soedirman.
Baca SelengkapnyaSerangan yang berlangsung selama 4 hari berturut-turut di Solo ini berhasil menyatukan seluruh elemen masyarakat melawan gempuran pasukan penjajah.
Baca SelengkapnyaTentara Pembela Tanah Air (PETA) merupakan pasukan militer yang aktif selama Perang Dunia II di Indonesia.
Baca SelengkapnyaIni kesaksian Soeharto saat revolusi terjadi. Apa yang sedang dikerjakannya?
Baca SelengkapnyaRencana penculikan sudah disusun secara matang di salah satu gedung, Jalan Menteng Raya 31, Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat.
Baca SelengkapnyaPria panglima perang ini dianggap penjajah Belanda sangat berbahaya dan kuat dibandingkan dengan pemimpinnya sendiri.
Baca SelengkapnyaSeorang perwira berdarah Belanda totok ini diangkat menjadi Gubernur Hindia Belanda karena keterlibatannya dalam menyudahi Perang Aceh yang berkepanjangan.
Baca Selengkapnya