Dewan Pers Usul UU Medsos untuk Bedakan Produk Jurnalisme dan Media Sosial
Merdeka.com - Pemerintah gelisah informasi hasil konten media sosial berdampak terhadap media arus utama, pers. Media arus utama berlomba kecepatan informasi dengan kaidah jurnalistik dengan media sosial yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah sedang mencari payung hukum yang sesuai untuk membedakan konsekuensi hukum antara produk jurnalistik dengan media sosial.
Pers, adalah sebuah produk entitas yang bekerja berjenjang dari lapangan ke ruang redaksi. Pers memiliki standar etik yang terjaga, terakurasi terverifikasi. Sebaliknya, media sosial sebagai sarana berinteraksi, kekinian menjadi ruang penyebaran konten yang kerap terjadi disinformasi.
-
Apa yang bikin stres karena media sosial? Meskipun media sosial memiliki manfaatnya, kebiasaan yang tidak sehat dalam penggunaannya dapat menyebabkan perasaan terputus, kesepian, dan stres.
-
Apa yang bisa menyebabkan stres akibat media sosial? Pencapaian, prestasi, kekayaan atau hal-hal glamor lainnya yang kamu lihat di media sosial bisa jadi hal sensitif yang membuatmu membandingkan diri. Nggak jarang hal ini bikin minder.
-
Mengapa penghindaran berita meningkat? Para penulis laporan ini memperkirakan kenaikan angka ini disebabkan oleh berita perang di Ukraina dan Timur Tengah. Saat ini, penghindaran berita berada pada tingkat rekor tertinggi.
-
Informasi apa yang disebarluaskan? Diseminasi adalah proses penyebaran informasi, temuan, atau inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan dikelola agar dapat dimanfaatkan oleh kelompok target atau individu.
-
Apa yang diukur dari *Media Online*? Data in menunjukkan peringkat performa publisher group dalam industri digital berdasarkan total Unique Visitor yang diraih.
-
Bagaimana orang mengakses berita? Di Inggris, hampir tiga perempat orang (73%) mengatakan mereka mendapatkan berita secara daring, dibandingkan dengan 50% untuk TV dan hanya 14% untuk media cetak.
"Sampai sekarang masih cari baju hukumnya, apakah Undang-Undang Penyiaran, ITE atau Pers atau rancangan Undang-Undang sendiri, kalau sendiri RUU tentang apa? Ini kami sedang cari bajunya," kata Mahfud.
Banyak manfaat dari media sosial, tapi di lain sisi tatanan kehidupan juga dapat mengalami kehancuran melalui media sosial. Saling tuding, fitnah, merendahkan martabat, kerap menjadi ruh media sosial. Kondisi itu kemudian merembet kepada kepercayaan publik atas produk jurnalistik.
Anggota Dewan Pers, Ahmad Djauhari menilai, payung hukum yang tepat menjadi pembeda antara produk jurnalistik media arus utama dengan media sosial adalah dibentuknya undang-undang baru.
"Undang-Undang medsos itu seharusnya sudah saatnya (dibentuk sebagai pembeda produk jurnalistik dengan media sosial)," kata Djauhar kepada merdeka.com, Selasa (8/2).
Sebenarnya, rancangan Undang-Undang tentang Media Sosial pernah diusulkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Namun pembahasan itu mandek. Djauhar mengkritik, pembahasan rancangan Undang-Undang tidak subtantif kepada hajat banyak orang justru dipercepat.
"Kenapa kalau untuk Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang IKN (ibu kota negara) bisa cepat? Sementara undang-undang yang untuk memenuhi hajat hidup orang banyak kenapa lamban banget," kritik Djauhar.
Namun, Djauhar mengingatkan, rancangan Undang-Undang tentang Media Sosial bukan sebagai alat dengan tujuan meringkus masyarakat. Dia mencontohkan, penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam penanganan perkara yang melibatkan media sosial.
Padahal, menurut Djauhar, secara pokok undang-undang tersebut dibentuk untuk kepentingan perdagangan. Undang-Undang tersebut juga bahkan kerap berdampak terhadap produk jurnalistik.
"Undang-Undang ITE itu sebenarnya untuk sistem perdagangan, informasi transaksi dan elektronik, tetapi kemudian melebar ke mana-mana diterapkan secara serampangan sehingga informasi jurnalistik kadang disasar dengan Undang-Undang ITE," kata dia.
Pakem adanya Undang-Undang ITE adalah mewadahi masyarakat menyampaikan ekspresi, kritik, saran dan pemikiran yang dapat membangun satu sistem pemerintahan atau sosial. Di media sosial, masyarakat bebas 'bersyarat' saat menyampaikan ekspresi.
Disebut bersyarat karena kebebasan berbicara bukan tanpa 'tendeng aling-aling'.
"Di sinilah letak seninya. Bebas berbicara seperti apa? Orang berbicara itu kalau memungkinkan harus kompeten, seseorang ngomong A, B, C, dia harus kompeten. Tidak setiap orang langsung ngomong ngaco, sok tahu begitu. Dia harus memiliki semacam kompetensi, seperti wartawan nulis itu kan harus memiliki kompetensi," ungkapnya.
"Kalau orang ini asal ngomong kemudian tidak tahu persoalannya, itu yang berbahaya bisa menyesatkan publik bisa adu domba jadi hate speech dan seterusnya," imbuh Djauhar.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Anggota Dewan Pers Yadi Hendriana menyebut, ada perbedaan mendasar antara KPI dengan Dewan Pers
Baca SelengkapnyaMenurut dia, revisi UU Penyiaran merupakan sebuah kewajiban
Baca SelengkapnyaNinik menegaskan mandat penyelesaian karya jurnalistik itu seharunya ada di Dewan Pers.
Baca SelengkapnyaBeberapa Pasal dikabarkan tumpang tindih hingga membatasi kewenangan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa jurnalistik.
Baca SelengkapnyaDraf RUU Nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran menuai beragam polemik.
Baca SelengkapnyaMedia saat ini harus bisa menyesuaikan diri terhadap perkembangan zaman untuk terus dapat eksis.
Baca SelengkapnyaTanpa adanya regulasi yang jelas, media siber cenderung tidak mendapatkan insentif dari berita atau konten yang diambil oleh platform digital.
Baca SelengkapnyaDia menjelaskan, Perpres ini bahkan tidak mengatur konten yang disebut jurnalisme berkualitas. Definisi konten berkualitas akan ditentukan oleh perusahaan pers.
Baca SelengkapnyaSejumlah pasal dalam RUU Penyiaran berpotensi menjadi pasal karet
Baca SelengkapnyaSebagian isi draft RUU Penyiaran bertentangan dengan UU Pers
Baca SelengkapnyaPerpres Publisher Right tidak bermaksud untuk mengurangi kebebasan pers.
Baca SelengkapnyaRevisi UU Penyiaran: Sengketa Produk Jurnalistik Tidak Lagi Melalui Dewan Pers
Baca Selengkapnya