Kisah Inspiratif Mangku Sitepoe, Dokter Bertarif Rp10 Ribu yang Layak Dicontoh
Merdeka.com - Kisah inspirasi hadir dari seorang dokter bernama Mangku Sitepoe. Jika kebanyakan dokter dibayar tinggi untuk mengobati pasien, hal berbeda justru terjadi pada dr Mangku. Dia dengan suka rela bekerja tanpa menerima imbalan sama sekali.
Dr Mangku berpraktik di klinik Santo Yohanes Penginjil di Jalan Sambas, Kebayoran Baru. Selama 24 tahun, dia bekerja tidak digaji dari uang pasien.
Apa yang dilakukan dr Mangku bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Karena dia mengobati pasiennya tanpa mengharapkan keuntungan sama sekali. Berikut ini kisah inspirasi dan kesederhanaan dr Mangku yang layak dicontoh:
-
Bagaimana dr. Soetomo membantu pasien yang tidak mampu? Soetomo dikenal sebagai dokter yang berjiwa sosial. Ia tidak menetapkan tarif khusus kepada para pasiennya. Caranya dengan meletakkan kotak untuk pembayaran sukarela. Sementara itu, pasien yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran. Bahkan, dokter Soetomo memberi mereka uang untuk membeli obat.
-
Kenapa dr. Soetomo mengobati gratis? Saat itu, dr. Soetomo meminta masyarakat pribumi yang tidak mampu membayar biaya pengobatan di Rumah Sakit Umum Simpang/Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (sekarang Delta Plaza), menuju kliniknya di Simpang Dukuh 12 untuk mendapatkan pengobatan gratis.
-
Gimana cara ngasih apresiasi ke dokter? Salah satu caranya yakni dengan membagikan ucapan Hari Dokter Nasional 2024.
-
Bagaimana doktor menghadapi pengangguran? Ganai mengatakan dia bahkan mencoba mencari pekerjaan melalui program pemerintah seperti Undang-Undang Jaminan Pekerjaan Pedesaan Nasional Mahatma Gandhi atau MGNREGA, undang-undang penting tahun 2005 yang menjamin 100 hari kerja bagi setiap warga India.
-
Kenapa Padmosantjojo melakukan operasi secara gratis? Menariknya, Padmosantjojo tidak menarik biaya sepeser pun kepada kedua orang tua sang bayi atas keberhasilan operasi pemisahan kepala yang ia lakukan bersama timnya.
-
Mengapa Unang Bagito membuka jasa pengobatan? 'Saat saya sakit saya memaknai Allah masih sayang sama saya. Dalam sakit saya diberikan satu kelebihan dan kemampuan di bidang pengobatan non medis,' katanya.
Memberi Pengobatan Gratis
Dokter Mangku Sitepoe bercerita awal mula berdirinya Klinik Pratama Bhakti Sosial Kesehatan Santo Tarsisius. Berawal dari tahun 1995, dia bersama empat rekannya, Iwan Darmansyah seorang farmakolog lulusan Universitas Indonesia, Pastor Bertens Guru Besar fakultas kedokteran Atmajaya Jakarta, Gunawan pengusaha dari Semarang, Wijanarko bekas Staf Pribadi Presiden Soekarno, melakukan kegiatan sosial berupa pengobatan gratis.
Dalam rapat evaluasi, satu rekan Mangku bernama Iwan Darmansyah menilai kegiatan sosial akan terasa jika dilakukan secara berkesinambungan. Sementara kegiatan pengobatan gratis yang dilakukan mereka dirasa tidak seperti yang dia harapkan.
"Kalau berobat gratis sekadar kasih obat. Bagaimana seterusnya, orang yang sakit saat kita tidak lakukan kegiatan (tidak bisa berobat)?" kata Mangku.
Yayasan gereja tempat Mangku dan empat kawannya kemudian memfasilitasi bangunan untuk dijadikan klinik di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. September, 1995, klinik pertama pun beroperasi. Mangku mengatakan tidak ada tarif kepada pasien saat klinik pertama beroperasi. Segala keperluan klinik mulai dari obat-obatan, kursi, meja, dibeli dengan uang pribadi mereka dan para donatur.
Saat itu, Mangku mengingat, sedikitnya ratusan pasien datang ke klinik. Jumlah itu membuat Mangku dan beberapa rekannya kewalahan. Namun, mereka tak mau lelah karena kembali ingat tujuan mendirikan klinik.
Memasang Tarif Rp 10.000
Setelah melakukan pengobatan gratis, kemudian pada tahun 2003 diberlakukan tarif sebesar Rp2.500 bagi pasien yang ingin berobat. Kebijakan ini dikeluarkan karena adanya informasi bahwa sejumlah pasien nakal menjual kembali obat-obatan dari hasil berobat mereka di klinik.
"Uang Rp2.500 itu sama sekali bukan untuk kami," kata dr Mangku Sitepoe.
Tahun berjalan, jumlah pasien pasang surut. Jika per tahun Mangku menangani ratusan pasien setiap kali praktik, belakangan jumlah pasien terus menurun. Tepatnya saat BPJS dilakukan secara nasional.
"Rata-rata tinggal 75 pasien per praktik," kata Mangku sembari menerka.
Perubahan jumlah pasien juga berlaku dengan perubahan tarif. Selama 2003 hingga 2015, mengambil kebijakan menaikkan tarif bagi pasien yakni Rp10.000. Kalaupun pasien tak sanggup membayar, tak apa. Toh, berapa pun tarifnya mereka tidak digaji dari uang tersebut.
Tidak Mengambil Keuntungan
Selama praktik dr Mangku bersama kawan-kawannya memang sengaja tidak mengambil keuntungan apa pun dari praktik mereka demi rasa sosial, alturism.
Lagi pula, finansial dr Mangku dan rekan-rekannya tidak akan kekurangan karena tetap punya penghasilan di luar praktik klinik yang saat ini sudah berkembang menjadi St Yohanes Penginjil dan Tarsisius. Selain itu, ia dan rekan-rekannya tidak setiap hari praktik di klinik.
Dia pun bertekad tidak akan 'pensiun' berpraktik membantu mengobati masyarakat tidak mampu meski hanya tersisa ia dan satu rekannya, Pastor Bertens yang masih hidup.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ia punya prinsip hidup jadi dokter bukan jalan untuk kaya raya.
Baca SelengkapnyaSelama menjadi dokter, ia sering menyisihkan uang pribadinya untuk biaya berobat pasien yang tidak mampu.
Baca SelengkapnyaKabar Duka, Dokter Dermawan Lo Siaw Ging Meninggal Dunia
Baca SelengkapnyaJenazah Lo Siaw Ging, Dokter Dermawan asal Solo Dimakamkan di Delingan Karanganyar Besok
Baca SelengkapnyaPenyakit pes pernah melanda Jawa pada awal abad ke-20, dr Cipto Mangunkusumo adalah pahlawan karena mengobati pribumi yang terjangkit penyakit pes.
Baca SelengkapnyaPemilik akun @mukhlis_142 menceritakan kisah seorang bapak penderita stroke yang ia temui secara random.
Baca SelengkapnyaDokter Lie rela tinggal berminggu-minggu di tengah hutan belantara Papua demi melayani pasien.
Baca SelengkapnyaTelah berusia lanjut, sang dokter diketahui punya sederet cerita mengagumkan.
Baca SelengkapnyaYusuf Mannagalli Parawansa jadi dokter demi mewujudkan cita-cita sang ibu
Baca SelengkapnyaSemasa hidupnya, dokter ini menaruh perhatian penuh pada masalah-masalah sosial masyarakat
Baca SelengkapnyaPerempuan 60 tahun ini mengaku akan terus membantu orang lain selama ia mampu.
Baca SelengkapnyaNamanya dianggap terlalu Jawa hingga tidak diizinkan sekolah di institusi pendidikan milik Belanda
Baca Selengkapnya