Pandemi Covid-19 Berisiko Menaikkan Kasus Kekerasan Pada Anak
Merdeka.com - Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kaltim Noryani Sorayalita mengatakan, pandemi Covid-19 berisiko menyebabkan naiknya kasus kekerasan terhadap anak. Dia mencatat ada lima risiko yang rentan dialami anak akibat pandemi Covid-19.
“Pertama adalah risiko meningkatnya kekerasan terhadap anak," katanya di Samarinda, Sabtu (26/6).
Untuk risiko kekerasan terhadap anak, lanjutnya, kerentanan terjadi karena di masa pandemi, hampir seluruh aktivitas anak dilakukan di rumah. Sementara tidak semua anggota keluarga siap dengan kondisi ini.
-
Kenapa broken home bisa berdampak pada kesehatan mental anak? Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam memahami dan mengatasi perasaan mereka tentang perceraian orang tua.Mereka juga mungkin mengalami rasa kehilangan, ketidakamanan, dan kebingungan tentang kedua orang tua mereka.
-
Apa dampak kekerasan pada anak? Menurut American Psychological Association (APA), anak-anak yang mengalami kekerasan lebih rentan terhadap depresi, kecemasan, agresi, dan perilaku antisosial di kemudian hari.
-
Kenapa kekerasan bisa merugikan anak? Mereka berisiko mengalami masalah fisik dan mental, penyalahgunaan narkoba, serta penurunan kualitas hidup yang dapat berlangsung hingga dewasa, bahkan seumur hidup.
-
Mengapa anak korban kekerasan rentan panik? Kekerasan yang dialami anak tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga dapat menimbulkan trauma yang mendalam pada aspek psikologis mereka. Trauma ini berpotensi menyebabkan masalah mental, seperti serangan panik dan depresi, yang dapat mengganggu kehidupan sehari-hari anak.
-
Apa saja dampak trauma pada anak? Trauma dapat menyebabkan anak mengalami berbagai masalah, seperti kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan kesulitan berkonsentrasi.
-
Dampak apa yang dirasakan anak dari broken home? Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mengatasi emosi, kehilangan rasa percaya diri, atau kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan.
Hal itu terjadi karena ada anggota keluarga yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tekanan ekonomi. Sehingga pelampiasannya kemudian ke anak atau anak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Risiko kedua adalah berhubungan dengan psikososial anak. Yakni banyak anak yang mengalami gangguan psikososial dan kesehatan mental, akibat dari mereka tidak bisa bermain baik di sekolah maupun di lingkungan rumah.
"Ini terjadi karena adanya pengkondisian belajar dari rumah menggunakan handphone (HP) yang kemudiannya anak terbiasa menggunakan HP. Jika peran orang tua lemah ketika belajar secara daring, maka akan memperburuk kondisi," jelasnya seperti dilansir dari Antara.
Ketiga adalah risiko hilangnya pengasuhan. Akibat dari kebiasaan tatanan kehidupan berubah, maka tidak semua pribadi siap menjalani, sehingga peran pengasuhan oleh orang tua juga mengalami perubahan.
Dalam hal ini, ada sebagian orang tua membiarkan aktivitas setelah melihat anak diam, padahal belum tentu diamnya anak itu baik, bisa jadi diamnya anak karena kecanduan game online, terpapar pornografi atau lainnya.
Keempat adalah risiko meningkatnya tantangan untuk mengakses layanan bagi anak, khususnya aksesibilitas layanan kesehatan dan pendidikan, karena saat ini angka capaian imunisasi menurun akibat kebijakan PPKM.
"Kelima adalah risiko stigmatisasi pada anak terdampak dan keluarganya, yakni terjadi stigmatisasi pada anak jika dirinya atau anggota keluarganya ada yang terpapar COVID-19 sehingga anak kemudian dikucilkan," tutup Noryani. (mdk/fik)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kondisi stres yang dialami oleh anak dan remaja cenderung disebabkan oleh sejumlah hal yang perlu diektahui orangtua.
Baca SelengkapnyaKDRT merupakan masalah yang masih terus terjadi hingga saat ini. Ketahui sejumlah dampak dan bahayanya.
Baca SelengkapnyaDengan memahami penyebab stres dan cara mengatasinya, orang tua dan pendidik dapat membantu anak-anak mereka menghadapi tantangan dengan lebih baik.
Baca SelengkapnyaAnak zaman sekarang cenderung lebih mudah mengalami kecemasan dibanding di masa lalu karena sejumlah hal.
Baca SelengkapnyaKetika anak menyaksikan orangtua melakukan KDRT terutama berulang, hal ini bisa timbulkan dampak psikologis pada mereka.
Baca SelengkapnyaKetua DPR RI Puan Maharani berharap ada program-program dari Pemerintah yang dapat mencegah terjadinya KDRT.
Baca SelengkapnyaPeran keluarga sangat vital dalam menjaga kestabilan kondisi mental anak-anak.
Baca SelengkapnyaJudi online atau daring kini menjamur di tengah masyarakat Indonesia.
Baca SelengkapnyaDilakukannya kekerasan pada anak dalam pengasuhan di masa lalu tidak akan berhasil jika diterapkan di masa sekarang.
Baca SelengkapnyaPada era digital ini, anak perlu dilindungi dari permasalahan digital yang muncul akibat gawai.
Baca SelengkapnyaKemen PPPA pada 2021 menunjukkan bahwa empat dari 100 anak usia dini pernah mendapatkan pengasuhan tidak layak.
Baca SelengkapnyaRumah adalah fondasi yang kokoh, tempat di mana anak belajar, tumbuh, dan menciptakan kenangan yang tak terlupakan. Namun, sayangnya, tidak semua seperti itu.
Baca Selengkapnya