Peternak Sapi Perah di Pasuruan Jatim Hancur-hancuran akibat PMK
Merdeka.com - Para peternak sapi perah di Dusun Kumbo, Desa Telogosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur mengeluhkan mahalnya obat untuk penyakit mulut dan Kuku (PMK). Mereka pun memilih opsi memakai obat herbal yang ternyata juga tidak murah dan sulit didapat.
Salah satu dusun di Pasuruan ini merupakan wilayah yang terdampak penyakit PMK. Salah satu peternak, Jafar Sodiq bercerita ke Wakil Ketua DPRD Jatim, Anwar Sadad (Gus Sadad) saat meninjau kandang peternakan sapi perah tersebut.
Pada Gus Sadad, dia mengaku kesulitan membeli obat herbal untuk sapi perah miliknya yang terpapar PMK.
-
Kenapa petani di Tanah Karo kesulitan dengan pupuk? 'Sekarang petani mengeluh harga pupuk mahal. Itu sebabnya yang memicu petani mengeluh. Harganya tidak sesuai dengan barang yang diproduksi,' ucap Joy di kanal Youtube CapCapung.
-
Apa masalah yang dihadapi petani? Oh, selamat pagi juga. Masalah saya adalah bahwa ladang ini selalu banjir setiap musim hujan.
-
Kenapa harga pupuk mahal? Beberapa waktu belakangan ini, harga pupuk mahal dan keberadaannya kian langka. Secara umum kelangkaan pupuk terjadi karena dampak dari perang antara Rusia-Ukraina.
-
Apa yang terjadi pada para petani? Mereka masih selamat meski mengalami luka bakar.
-
Mengapa daging sapi Polmard dihargai sangat mahal? Menariknya, semakin lama proses pengasapan berlangsung, semakin tinggi kualitas dan harga daging tersebut. Satu kilogram daging sapi bagian rusuk yang diasapi selama 15 tahun dapat dihargai hingga USD 3.200 atau sekitar Rp51,7 juta.
-
Kenapa petani tembakau mengalami masa sulit? Aan mengakui untuk saat ini para petani tembakau sedang mengalami masa sulit. Apalagi harga cukai tengah naik. Apabila cukai naik, pabrik tidak akan membeli tembakau yang mahal. Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi petani.
"Dia punya 24 sapi perah, semuanya terpapar PMK. Satu mati, dua potong paksa dan dijual murah hanya Rp3 juta. Mereka mengaku sudah hancur-hancuran mengeluarkan uang untuk membeli obat herbal, sedangkan pemerintah hanya memberi bantuan antibiotik dan vitamin yang sebenarnya tidak optimal, bahkan sekarang juga sudah tidak memberi," kata Gus Sadad menirukan keluhan Jafar, Senin (4/7).
Informasi yang diterimanya dari Jafar menjelaskan, antibiotik dan vitamin tidak optimal untuk penyembuhan hewan ternak yang terpapar PMK. Menurutnya, obat herbal menjadi opsi peternak untuk mengatasi PMK.
"Kemarin beli obat herbal itu satu harganya Rp250 ribu satu ekor, kadang ada yang butuh 3 obat herbalnya untuk satu ekor jadi Rp750 ribu. Itu bagi mereka cukup berat, ketambahan untuk pemulihan hewan ternak, kita butuh beli konsentrat sapi per hari dua karung yang harganya Rp210 ribu per karung," bebernya.
Ia mengungkapkan, akibat puluhan sapi perah milik para peternak itu terpapar PMK, menyebabkan tidak ada produksi susu. Kalaupun ada, pabrik tidak mau menerima. Biasanya, dulu 24 sapi perah milik mereka bisa produksi 200 liter susu.
"Karena ada sapi yang pulih, namun susunya keluar tapi ada kandungan antibiotik, itu ditolak oleh pabrik. Otomatis ya banyak susu sapi dibuang karena mengandung antibiotik, kan bahaya untuk anak-anak," bebernya.
"Sudah tidak dapat pemasukan produksi susu selama 20 hari. Dan mereka tetap kasih makanan konsentrat, itu berat buat mereka. Kalau tidak ada konsentrat hanya ijoan, sapinya ambruk karena itu karbohidrat," sambungnya.
Ia menambahkan, menyikapi persoalan tersebut pihaknya akan mendesak Pemprov Jatim lebih serius dalam menangani PMK. Sebab PMK menyebabkan banyak peternak kehilangan pemasukan.
"Kami akan komunikasi dengan Plt Gubernur Jatim Mas Emil dan Dinas Peternakan. Saya kira Pemprov perlu datang dan melihat langsung, agar tahu formulanya. Apalagi ini sudah pandemi, ini penting agar tidak semakin buruk. Kalau bisa duduk bareng dengan peternak, agar ketemu solusinya," tegas Gus Sadad.
Ketua DPD Gerindra Jatim menyebut, Pemprov Jatim harus memberikan terobosan dalam menangani PMK. Karena masuk kategori bencana, maka bisa menggunakan biaya tidak terduga (BTT).
"Sama kayak Corona kan pakai itu, PMK juga masuk kategori PMK. Dinas Peternakan sejauh ini tidak memiliki antisipasi ini. Karena sesuai SK Gubernur masuk bencana, ya harus berani menerapkan BTT. Ini berpacu waktu, daya tahan peternak juga mengatasi ini kan dari uang pribadi mereka, kalau utang apa enggak berbunga, kan kasian," jelasnya.
Diketahui, hingga 3 Juli 2022, ada sebanyak 136.153 hewan ternak yang terpapar PMK di Jatim. Dari jumlah itu, sebanyak 106.663 ekor masih sakit. Sebanyak 27.721 ekor sembuh, 811 ekor mati dan 988 ekor dipotong paksa.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) pada hewan ternak menjadi ancaman bagi para peternak. Rupanya, penyakit itu bisa diobati dengan tanaman kangkung.
Baca SelengkapnyaTotal ada 13 sapi milik warga yang mati secara mendadak.
Baca SelengkapnyaDi panen ini, mereka hanya menerima nominal amat kecil yakni Rp700 per kilogram. Ini jauh dari pendapatan saat harga normal, di kisaran Rp4.000 per kilogram
Baca SelengkapnyaBeredar di media sosial video peternak sapi perah di Pasuruan yang membuang 500.000 liter susu.
Baca SelengkapnyaKambing-kambing ini ditemukan sudah tak bernyawa dengan kondisi mata tercongkel dan kaki terpotong.
Baca SelengkapnyaMeski sudah berulang kali menjadi sorotan, masih ada saja sapi-sapi yang digembalakan di Tempat Pembuangan Akhir Putri Cempo Solo.
Baca SelengkapnyaPernyataan Zulhas disampaikan setelah mendengarkan keluhan Pramono, pemilik UD Pramono dan sejumlah peternak sapi perah yang hadir.
Baca SelengkapnyaBerbagai tantangan mereka hadapi, mulai dari proyek penambangan hingga serangan hama tikus
Baca SelengkapnyaMenggunakan setelan kopiah dan berbaju hem lengan panjang bergulung, Ganjar menyapa para pedagang pasar.
Baca SelengkapnyaPara petani cabai di Jember tak bisa menikmati hasil panen seutuhnya
Baca SelengkapnyaBanyak lahan persawahan menguning karena diserang hama wereng dan tikus.
Baca SelengkapnyaDua petani tersebut marah karena harga wortel mereka turun drastis di pasaran.
Baca Selengkapnya