Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Rizal Ramli Beberkan Awal Mula Pemerintah Kucurkan BLBI

Rizal Ramli Beberkan Awal Mula Pemerintah Kucurkan BLBI Rizal Ramli diperiksa KPK. ©2019 Merdeka.com/Dwi Narwoko

Merdeka.com - Mantan Menteri Koordinator bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) sekaligus eks Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Rizal Ramli, membeberkan awal mula munculnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)‎.

Dia mengatakan, pada saat krisis moneter tahun 1998 terjadi, pihak swasta kala itu memiliki utang yang banyak.

"Bahkan ada satu grup, Sinarmas pada waktu itu sangat ekspansif terbitkan bon USD 8 miliar, ternyata enggak mampu bayar kuponnya," ujar Rizal di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (19/7).

Orang lain juga bertanya?

Lantaran utang membengkak, pihak swasta mendapatkan pinjaman dari bank yang berada di grup-grup perusahaan swasta itu sendiri. Menurut Rizal, jumlah pinjaman yang diberikan sangat besar. Saat itu, kata Rizal belum ada regulasi batasan jumlah pinjaman pada internal grup perusahaan swasta.

Selain itu, International Monetary Fund (IMF) juga memaksa pemerintah Indonesia menaikkan bunga bank.‎

"Kemudian IMF menaikkan tingkat bunga Bank Indonesia. Menaikan dari 18 persen ke 80 persen. Begitu itu terjadi (justru) banyak perusahaan-perusahaan enggak mampu bayar kan," kata Rizal.

Menurut Rizal, saat bunga bank naik dan pihak swasta tak mampu membayar bunga bank, kemudian bank tersebut akangoyang. Saat itulah menurut Rizal, pemerintah dengan terpaksa mengucurkan BLBI kepada bank yang hampir bangkrut.

"Nah saat itu suntikan dana itu sampai, saya lupa sekitar USD 80 miliar. Kalau per-Dollar-nya saat itu Rp 10 ribu, berapa tuh," kata dia.

Rizal mengatakan, semua bank yang mendapat suntikan dana BLBI harus membayar utangnya secara tunai. Tetapi saat era BJ Habibie, ada aturan pembayaran dapat menggunakan aset.‎"Esensinya utang ini harusnya tunai, tapi pada masa pemerintahan Pak Habibie, Menteri Keuangan Bambang Subianto sama Kepala BPPN, waktu itu Glenn Yusuf, dilobi supaya enggak usah bayar tunai, tapi bayar aset," kata Rizal.

Namun kebijakan tersebut rupanya dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang nakal. Ada pihak perusahaan membayar dengan aset bodong.

"Dibilangnya aset ini bagus, padahal belum, atau aset busuk atau setengah busuk, atau belum clean and clear. Misalnya tanah, padahal surat-suratnya belum jelas, tapi dimasukan sebagai aset," kata Rizal.

Ketika itu, sambung Rizal, BPPN meminta tolong Lehman Brothers, Bank investasi raksasa asal Amerika, melakukan valuasi. Namun kata Rizal, valuasi yang dilakukan Lehman Brothers cenderung sembrono.

"Lehman Brothers juga sembrono. Masa dalam waktu satu bulan dia sudah bisa lakukan penilaian terhadap nilai aset dari ratusan perusahaan, sehingga banyak kasus-kasus di mana mengaku sudah serahkan aset segini, kenyataannya tidak segitu," Rizal mengungkapkan.

Rizal mengatakan, bila BLBI tetap dianggap sebagai utang tunai, diprediksi pemerintah tak akan rugi karena jika tidak dibayar akan terus ada bunga. "Tapi karena dibayar dengan‎ aset, bisa masalah seperti sekarang," kata Rizal.

Rizal mengatakan, saat tahun 2000 ketika dirinya diangkat menjadi Menko Ekuin, dia langsung mempelajari kasus BLBI. Tetapi ternyata saat itu posisi pemerintah Indonesia lemah sekali secara hukum.

Karena itu, dirinya membuat kebijakan agar semua konglomerat yang memiliki utang dengan pemerintah, dalam konteks BLBI harus menyerahkan personal guarantee.‎

"Artinya tanggung jawab terhadap utang itu tidak hanya berhenti dia, sampai cucu sampai anaknya sama cucunya enggak bisa lolos. Agar bargaining pemerintah Indonesia kuat," kata Rizal.‎Rizal mengakui saat itu banyak pengusaha yang menolak aturan itu, tapi tetap diberlakukan olehnya. Namun setelah Gus Dur tidak lagi jadi presiden, aturan tersebut kembali lagi seperti sebelumnya.

"Pemerintah Gus Dur jatuh diganti sama pemerintahan berikutnya, eh dibalikin lagi itu (soal) personal guarantee. Pemerintah Indonesia posisinya jadi lemah lagi, jadi kalau ada perdebatan hari ini tentang misrepresentasi dan lain-lain itu masalahnya itu tadi," kata Rizal.

"Pertama karena utang diubah dengan pembayaran aset, yang kedua posisi bargaining yang Indonesia dibikin lemah," dia menambahkan.

Untuk itu, Rizal menyerahkan penuh penanganan kasus SKL BLBI ini kepada KPK. Rizal harap KPK segera tuntasi kasus korupsi dengan jumlah kerugian negara yang besar itu.‎‎"Kasus BLBI ini kan sudah pulang tahun, kasus Century sudah berapa tahun? seperti buah di pohon harusnya sudah matang, dibikin mengkal terus dibikin macam-macam lah. Karena mungkin ya kasus-kasus kayak begini kan yang kena yang terlibat tuh yang kuasa-kuasa ya," kata dia.

Dalam kasus ini, KPK menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI pada BDNI.

Penetapan ini merupakan pengembangan dari perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang divonis 15 tahun penjara. Syafruddin kini divonis bebas oleh MA.

Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim sebagai obligor BDNI sebesar Rp 4.58 triliun.

Sjamsul dan Itjih sendiri diketahui menetap di Singapura. Meski demikian, aset dan bisnis Sjamsul menjalar di Tanah Air. Salah satunya, PT Gajah Tunggal Tbk yang memiliki anak usaha seperti PT Softex Indonesia, PT Filamendo Sakti, dan PT Dipasena Citra Darmadja.

Selain itu, Sjamsul juga menguasai saham Polychem Indonesia yang sebelumnya bernama GT Petrochem. Sjamsul juga memiliki sejumlah usaha ritel yang menaungi sejumlah merek ternama seperti Sogo, Zara, Sport Station, Starbucks, hingga Burger King

Reporter: Fachrur RozieSumber: Liputan6.com

(mdk/lia)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
OJK Ungkap Jumlah Utang Sritex, Ternyata Capai Rp14 Triliun ke 27 Bank dan 3 Perusahaan Pembiayaan
OJK Ungkap Jumlah Utang Sritex, Ternyata Capai Rp14 Triliun ke 27 Bank dan 3 Perusahaan Pembiayaan

Dian Ediana Rae merincikan utang Sritex kepada bank mencapai Rp14,42 triliun, sementara kepada perusahaan pembiayaan tercatat sebesar Rp0,22 triliun.

Baca Selengkapnya
Diduga Korupsi Rp46 Miliar, Eks Pimpinan BNI Bengkalis Dijebloskan ke Penjara
Diduga Korupsi Rp46 Miliar, Eks Pimpinan BNI Bengkalis Dijebloskan ke Penjara

Tersangka diduga melakukan pencairan kredit pada 450 debitur perorangan di Bank BNI OBO Bengkalis dilakukan pada 2020 sampai 2022.

Baca Selengkapnya
Aset Kelolaan Bank Kustodian Tembus Rp1.000 Triliun, BRI Tunjukkan Pertumbuhannya yang Impresif dari Tahun ke Tahun
Aset Kelolaan Bank Kustodian Tembus Rp1.000 Triliun, BRI Tunjukkan Pertumbuhannya yang Impresif dari Tahun ke Tahun

Aset kelolaan Bank Kustodian BRI telah menembus Rp1.000 triliun.

Baca Selengkapnya
Pemerintah Pernah Ngutang ke Rakyat untuk Pembangunan Usai Merdeka
Pemerintah Pernah Ngutang ke Rakyat untuk Pembangunan Usai Merdeka

Dewan Pertimbangan pusat bagian ekonomi pada masa Jepang, mengusulkan agar pemerintah menarik dana dari masyarakat.

Baca Selengkapnya
Utang Jatuh Tempo RI Capai Rp800 Triliun pada 2025
Utang Jatuh Tempo RI Capai Rp800 Triliun pada 2025

Kepercayaan diri dalam mengelola pasar, tergantung dengan kepercayaan pasar.

Baca Selengkapnya
Banyak Negara Terancam Bangkrut Akibat Jebakan Utang China, Ada Indonesia?
Banyak Negara Terancam Bangkrut Akibat Jebakan Utang China, Ada Indonesia?

Negara miskin menghadapi ketidakstabilan ekonomi dan bahkan kebangkrutan akibat beban pinjaman luar negeri.

Baca Selengkapnya