Anggota DPD Kritik Isi RUU KUHP: Pejabat Hina Rakyatnya Bisa Dipidana?
Merdeka.com - Anggota Komite I DPD RI, Abdul Rachman Thaha menolak pasal penghinaan terhadap lembaga negara yang termuat dalam RUU KUHP. Rachman mempertanyakan, jika ada pasal penghinaan terhadap lembaga negara, maka apakah jika seorang pejabat menghina rakyat dapat juga dipidana.
Sebab, jika mengacu pada asas hukum bahwa kedudukan semua pihak di hadapan hukum adalah sama. Maka pejabat pun mestinya bisa dipidana jika melakukan hal sama terhadap rakyat.
"Dengan asas seperti itu, ketika warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, apakah pejabat lembaga negara juga bisa dipidana?" katanya dalam keterangan tulis, Rabu (9/6).
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Siapa yang DPR minta tindak tegas? Polisi diminta menindak tegas orang tua yang kedapatan mengizinkan anak di bawah umur membawa kendaraan.
-
Bagaimana DPR menilai proses hukum Kejagung? Semuanya berlangsung cepat, transparan, tidak gaduh, dan tidak ada upaya beking-membeking sama sekali, luar biasa.
-
Siapa yang diperiksa Komnas HAM? Komnas HAM memeriksa mantan anggota Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, Usman Hamid untuk menyelidiki kasus pembunuhan Munir yang terjadi 20 tahun lalu.
-
Mengapa DPR RI minta pelaku dihukum berat? 'Setelah ini, saya minta polisi langsung berikan pendampingan psikologis terhadap korban serta ibu korban. Juga pastikan agar pelaku menerima hukuman berat yang setimpal. Lihat pelaku murni sebagai seorang pelaku kejahatan, bukan sebagai seorang ayah korban. Karena tidak ada ayah yang tega melakukan itu kepada anaknya,' ujar Sahroni dalam keterangan, Kamis (4/4).
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
Misalnya ketika pejabat yang saking emosionalnya sampai mengeluarkan hinaan terhadap warga.
"Jika tidak berlaku dua arah, maka azas kesamaan di hadapan hukum sudah dinihilkan. Pasti, ini bukan konstruksi hukum yang benar," tegasnya.
Di samping itu, Rachman Thaha juga mempertanyakan keberadaan upaya mediasi antara warga yang menghina lembaga negara dengan pejabat. Karena, ketika sesama anggota masyarakat bertikai dan menghina satu sama lain, otoritas penegakan hukum sering melakukan mediasi antarkeduanya.
"Akankah otoritas penegakan hukum juga memediasi keduanya? Adakah kesanggupan dari otoritas terkait untuk menjadi mediator ketika pihak pelapor adalah mitranya sendiri sebagai sesama lembaga negara?" tanya dia.
Menurut Rachman Thaha, apabila mediasi hanya dikenakan pada konflik antaranggota masyarakat, namun otoritas penegakan hukum mengalami kecanggungan (bahkan meniadakan) untuk memediasi lembaga negara dan masyarakat, maka pantas dikhawatirkan bahwa instrumen hukum itu memang diadakan sebagai alat pengaman diri oleh pemegang kekuasaan.
Rachman Thaha menjabarkan ada tiga alasan pasal tersebut layak ditolak.
Semisal terkait niat jahat atau mens rea yang dipakai dalam pasal itu, Rachman Thaha menyatakan bahwa mens rea perlu dibagi lagi menjadi intent dan motive.
Menurut Rachman Thaha, keduanya berbeda dan mesti diperlakukan beda pula. Ia mencontohkan dua orang si A dan si B sama-sama dengan sengaja menghina presiden.
Rachman Thaha menerangkan, karena ada kesengajaan, maka terdapat intent di dalam perbuatan mereka. Polisi dan jaksa harus membuktikan keberadaan intent itu, tapi tidak cukup sampai di situ. Kedua lembaga tersebut juga harus buktikan motive.
Singkatnya setelah didalami, ternyata si A menghina presiden sebagai ekspresi kekesalannya atas kegagalan bertubi-tubi presiden dalam memimpin negara. Penghinaan dianggap si A sebagai kecaman keras agar kondisi negara bisa berlangsung lebih baik.
Sebaliknya, si B menghina presiden sebagai pelampiasan karena ia diceraikan oleh suaminya yang merupakan pendukung presiden. Penghinaan dilakukannya semata-mata untuk melegakan hati.
"Dari contoh itu bisa dilihat bahwa dalam perbuatan yang disengaja, intent bisa sama, namun motif antarmanusia bisa berbeda. Hukum, sekali lagi, tidak boleh memukul rata. Dalam contoh di atas, si A bisa dipahami sebagai orang yang sesungguhnya beritikad baik dan peduli terhadap kondisi bangsanya. Penghinaan bukan sesuatu yang ada dalam konteks relasi personal," paparnya.
Sementara si B, sebaliknya, tidak punya itikad positif di balik penghinaannya itu. Penghinaannya adalah ekspresi pribadinya terhadap pribadi orang lain.
"Hukuman pidana, jika pasal dimaksud jadi disahkan, hanya patut dikenakan kepada si B," tekan dia.
Seperti diketahui, draf RKUHP terbaru menerangkan adanya pasal penghinaan terhadap lembaga negara. Berikut isinya:
BAB IX TINDAK PIDANA TERHADAP KEKUASAAN UMUM DAN LEMBAGA NEGARA
Bagian Kesatu
Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara
Pasal 353 (1): Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
(3) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Pasal 354: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Reporter: Yopi Makdori
Sumber: Liputan6.com
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, DPR semestinya mengedepankan kebenaran, kebaikan, dan kepentingan negara dan rakyat.
Baca SelengkapnyaPenceramah kondang Dasad Latif sentil anggota DPR yang terkadang bersikap lebih hebat.
Baca SelengkapnyaPuan mengatakan, surat keputusan pemecatan Tia dikeluarkan sebelum kritik tersebut dilayangkan kepada Nurul Ghufron.
Baca SelengkapnyaMajelis hakim panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonannya.
Baca SelengkapnyaWakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron disemprot oleh anggota DPR terpilih dari partai PDIP, Tia Rahmania.
Baca SelengkapnyaSaat menyampaikan orasi, Habiburokhman mengumumkan, tidak ada pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.
Baca SelengkapnyaMahfud menilai adanya riak-riak setelah pengesahaan RUU menjadi UU merupakan hal yang lumrah. Dia menyebut akan ada pihak yang setuju dan tidak.
Baca Selengkapnyaomarudin menjelaskan, kasus pemecatan terjadi tak hanya kepada mereka berdua. Akan tetapi, terjadi pula di berbagai wilayah kabupaten/kota.
Baca SelengkapnyaApa yang dilakukan Masinton hanya demi kepentingan politik semata.
Baca SelengkapnyaKomaruddin mengatakan mahkamah partai tidak hanya memecat Tia Rahmania, tetapi juga Rahmad Handoyo.
Baca SelengkapnyaDewan Guru Besar UI menilai revisi UU Pilkada dapat menimbulkan sengketa antarlembaga tinggi, seperti MK versus DPR, yang akan merusak kehidupan bernegara.
Baca SelengkapnyaTia merasa sangat kecewa dengan keputusan KPU RI yang mengakomodir Putusan Mahkamah Partai PDIP yang secara sepihak menuduhnya melakukan penggelembungan suara.
Baca Selengkapnya