Pasal-pasal perdebatan dalam revisi UU Terorisme
Merdeka.com - Revisi UU Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme tak kunjung selesai dibahas DPR dan pemerintah. Sejak 2016, pasca kejadian bom Thamrin awal tahun itu, pemerintah mengajukan draf revisi. Tujuannya, agar polisi punya payung hukum menindak para pihak yang terindikasi terlibat jaringan teror.
Belum adanya payung hukum, sehingga polisi atau Densus 88 baru bisa bertindak ketika aksi teror tersebut telah dilakukan. Polisi tak mampu berbuat banyak jika para pelaku teror itu baru berencana. Begitu juga polisi tak bisa menangkap para terduga yang baru pulang dari Suriah, meski sangat yakin mereka terlibat jaringan terorisme.
Sempat tenggelam, wacana revisi UU ini kembali 'meledak' seiring ultimatum yang diberikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin mengeluarkan Perppu, jika revisi tersebut tak kunjung selesai. Ultimatum Jokowi itu pasca terjadinya ledakan bom bunuh diri di tiga gereja kota Surabaya Minggu (13/5) lalu.
-
Apa definisi terorisme menurut UU 5/2018? Sementara, menurut pasal 1 angka 2 perpu 1/2002 UU 5/2018, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas serta menimbulkan korban yang bersifat massal.
-
Bagaimana proses revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Ada sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
-
Kenapa revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Badan Legislasi DPR bersama Menpan RB Abdullah Azwar Anas, Menkum HAM Supratman Andi Agtas melakukan rapat pembahasan terkait revisi UU Kementerian Negara.
-
Kapan UU MD3 akan direvisi? 'Kalau terbaru kita akan lihat urgensinya setelah penetapan pimpinan dan lain-lainnya,' ucap dia.
-
Mengapa UU Pemilu terbaru diterbitkan? Penerbitan Undang-Undang baru ini sebagai langkah signifikan dalam reformasi sistem Pemilu di Indonesia.
-
Kenapa UU MD3 tidak direvisi? 'Setelah saya cek barusan pada Ketua Baleg bahwa itu karena existing saja. Sehingga bisa dilakukan mayoritas kita sepakat partai di parlemen untuk tidak melakukan revisi UU MD3 sampai dengan akhir periode jabatan anggota DPR saat ini,' kata Dasco, saat diwawancarai di Gedung Nusantara III DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (4/4).
Catatan merdeka.com, Kamis (17/5) setidaknya ada sejumlah pasal yang menjadi perdebatan hingga saat ini dalam proses pembahasan revisi UU tersebut.
1. Definisi Terorisme
DPR dan Pemerintah berdebat panjang tentang frasa terorisme itu sendiri di dalam revisi UU tersebut. Definisi itu termaktub dalam Pasal 1 angka 1 draf Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini.
Bunyi pasal tersebut saat diajukan yakni: 'Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini'.
DPR ingin definisi terorisme memasukkan unsur politik. Artinya, seorang pelaku kejahatan bisa dikategorikan sebagai terorisme jika merusak obyek vital strategis, menimbulkan ketakutan yang massif, untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik.
Pelaku juga harus dibuktikan memiliki atau terlibat dalam suatu jaringan kelompok teroris. Pemerintah menilai, tak perlu ada unsur politik dalam definisi terorisme itu sendiri.
2. Pelibatan TNI
Pasal tentang pelibatan TNI ini juga sempat menjadi perdebatan panjang di dalam Panja RUU Antiterorisme. Pasal tentang pelibatan TNI dalam draf revisi UU itu diatur dalam pasal 43B ayat (1) dan (2).
Bunyinya:
(1) Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.
(2) Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Judul UU 'Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme' bahkan sempat diusulkan diganti untuk mewadahi pelibatan TNI.
Sebab, jika judul UU memakai kata 'tindak pidana', secara terminologi maka hal itu sudah tentu kewenangan Polri, sementara TNI tugasnya adalah menjaga kedaulatan negara. Kecuali, UU tersebut diberi judul Penanggulangan tindak pidana terorisme, seperti yang diusulkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Namun, usulan itu ditolak oleh Menkum HAM Yasonna Laoly. Sebab, perubahan judul akan kembali memakan waktu. Acuan Yasonna adalah Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur penanggulangan terorisme.
Pada Senin 14 Mei lalu, Menko Polhukam Wiranto mengumpulkan para pimpinan partai politik untuk membahas perihal revisi UU Antiterorisme tersebut. Wiranto mengklaim, pemerintah dan DPR sudah sepakat untuk segera mengesahkan revisi UU ini.
"Ada dua hal yang krusial belum selesai. Pertama definisi kedua pelibatan TNI gimana (dalam pemberantasan terorisme)," ungkap Wiranto kepada wartawan di rumah dinas menteri, Jalan Denpasar, Jakarta Selatan, Senin (14/5).
Meski demikian, Wiranto klaim pembahasan tersebut kini sudah rampung. Ditargetkan, revisi UU itu sudah diketok pada Juni bulan depan atau setelah Lebaran.
"Sudah selesai. Juga demikian tidak ada yang perlu diperdebatkan akan kita jelaskan saat revisi itu muncul," sambungnya.
Menengok perjalanan ke belakang
Januari 2016
Merujuk aksi teror di Sarinah-Thamrin, yang belakangan diketahui didalangi oleh Aman Abdurrahman, pemerintah menyerahkan naskah rancangan tersebut kepada DPR secara terbatas. Akhirnya revisi Undang-Undang itu disepakati masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas atau Prolegnas 2016 sebagai inisiatif pemerintah.
Dikutip dari laman resmi Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), kesepakatan ini diambil dalam konsinyering antara Badan Legislasi DPR, DPD, dan pemerintah di Wisma DPR, Kopo, Jawa Barat pada Rabu 20 Januari 2016.
April 2016
DPR merespon penyerahan naskah akademik dan RUU Terorisme dengan membentuk Pansus RUU Terorisme melalui mekanisme Rapat Paripurna. Rapat Paripurna DPR RI yang dilaksanakan pada hari Selasa 12 April 2016, telah mengesahkan Susunan dan Keanggotaan Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ketua Pansus yang ditunjuk adalah Muhammad Syafii dari Fraksi Partai Gerindra. Dalam Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2015-2016 akhirnya Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang Pemberantasan tindak pidana terorisme menggelar Rapat Kerja (Raker) perdana pada hari Rabu 27 April 2016 dalam rangka persetujuan Fraksi terhadap RUU Anti Terorisme.
Oktober 2016
Pansus melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), dan Rapat Dengar Pendapat (RDP). Sejak 31 Mei 2016 hingga 13 Oktober 2016. RDPU dan RDP telah dilaksanakan sebanyak 11 kali. Yakni 6 kali di Masa Persidangan V Tahun Sidang 2015-2016, yaitu pada tanggal 31 Mei, 1, 8, 9, 15, dan 16 Juni 2016, dan 5 kali Masa Persidangan I Tahun Sidang 2016-2017, yaitu pada tanggal 31 Agustus, 8 dan 15 September, 13 dan 20 Oktober 2016.
Mei 2018
Namun hingga Mei 2018, revisi UU Terorisme ini belum juga rampung. Salah satu kendala yakni tentang definisi terorisme dan keterlibatan TNI dalam ikut memberantas aksi teror. Hingga akhirnya, revisi ini kembali menyeruak seiring terjadinya rentetan teror di Surabaya, Sidoarjo dan Pekanbaru. Aksi ini menimbulkan korban jiwa puluhan orang.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
RUU Kementerian Negara, RUU TNI dan RUU Polri Resmi jadi Inisiatif DPR
Baca SelengkapnyaPadahal RUU tersebut tidak masuk dalam prolegnas prioritas.
Baca SelengkapnyaBadan Legislasi DPR menyatakan akan berupaya untuk menyusun RUU Keimigrasian sedemikian rupa.
Baca SelengkapnyaSembilan fraksi telah menyampaikan pendapatnya masing-masing atas keempat RUU.
Baca SelengkapnyaDPR menampung usulan pembentukan undang-undang (UU) sapu jagat atau Omnibus Law Politik.
Baca SelengkapnyaAnggota Baleg Fraksi PDIP Sturman Panjaitan, mengatakan terdapat lima hingga enam RUU yang belum turun daftar inventarisasi masalah (DIM)
Baca SelengkapnyaKendati demikian, pemerintah menilai beberapa daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan saat itu sudah tidak relevan.
Baca SelengkapnyaProses pembahasan yang cepat juga berpeluang terjadi jika pemerintah tak keberatan dengan perubahan tersebut.
Baca SelengkapnyaHabiburokhman berharap pembahasan proses revisi UU KUHAP bisa mulai akhir tahun 2024.
Baca SelengkapnyaBambang mengaku, belum mengetahui apakah revisi UU Polri akan dibahas di Komisi III DPR RI atau tidak.
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi III Ini Mengaku Tak Dapat Undangan Rapat saat DPR-Pemerintah Putuskan Revisi UU MK
Baca SelengkapnyaDasco menyatakan, aturan berkaku soal Pilkada tetap mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Pilkada 2024.
Baca Selengkapnya