Saiful Mujani: Pemilu dan Pilkada Diserentakkan Menumpuk Konflik serta Berisiko
Merdeka.com - Pilkada serentak 2024 diperdebatkan. Dalam RUU Pemilu Pilkada kembali dinormalisasi agar digelar pada tahun 2022 dan 2023. Namun, ada sejumlah fraksi, yang sebagian pendukung pemerintah, meminta Pilkada tetap serentak dengan Pemilu nasional tahun 2024.
Pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saiful Mujani menilai, Pemilu nasional dan Pilkada digelar secara serentak merupakan penumpukan konflik dan beresiko. Ia mengatakan, seharusnya konflik itu didistribusikan agar bisa dikelola.
"Konflik politik karena perbedaan kepentingan adalah normal. Yang harus dilakukan adalah mengelolanya supaya tidak menjadi kekerasan. Demokrasi adalah satu cara untuk tujuan itu. Pemilu/pilkada dilakukan serempak adalah bentuk penumpukan konflik dan beresiko," katanya dalam keterangannya dikutip Senin (1/2).
-
Apa itu Sengketa Pemilu? Sengketa Pemilu adalah konsekuensi yang mungkin terjadi dalam sistem penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu). Walaupun sistem sudah dirancang sebaik mungkin, kemungkinan pelanggaran yang bisa mencederai kualitas Pemilu masih bisa terjadi.
-
Apa itu Pilkada Serentak? Pilkada Serentak merujuk pada pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara bersamaan di seluruh wilayah Indonesia, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.
-
Kenapa Pilkada DIY rawan konflik? Di beberapa daerah, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) rawan terjadi konflik, tak terkecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
-
Kenapa Pilkada Serentak dilakukan? Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pemilihan, serta mengurangi biaya penyelenggaraan.
-
Apa itu Pemilu? Pemilu adalah sarana penyelenggaraan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
"Sebaiknya konflik dikelola dengan mendistribusikannya menurut tempat dan waktu sehingga resiko bahaya dapat ditekan dan lebih managable sesuai dengan kemampuan kita," jelasnya.
Dia menilai, Pilkada dan Pemilu jika dipisahkan akan mudah dikelola. Contohnya adalah penyelenggaraan Pilkada 2020 yang dianggap sukses meski digelar saat pandemi.
"Pilkada dan pemilu yang tersebar menurut waktu dan tempat, resiko tak terkelolanya lebih rendah seperti pengalaman kita selama ini. Contoh mutakhir adalah pilkada 2020 yang sukses besar: damai, voter turn out tinggi meski di tengah pandemi," ujarnya.
Namun, berkaca pada 2019, saat Pemilu diserentakan lima surat suara, dari Pilpres, legislatif DPR, DPD RI hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota, penyelenggaraannya kurang terkelola. Hasilnya, banyak korban berjatuhan.
"Pemilu dan pilpres 2019 adalah pelajaran mahal bagi kita. Kurang terkelola dengan baik. Banyak korban berjatuhan. Ini pelajaran penting. Jangan diulang," jelasnya.
Lebih lanjut, Saiful mengungkapkan, uji materi di Mahkamah Konstitusi menyatukan Pemilu dan Pilpres dikabulkan karena alasan politik praktis daripada pengelolaan demokrasi. Menurutnya, hal itu tidak didasarkan pada naskah akademik yang memadai.
Kepentingan politik praktisnya adalah agar Pemilu legislatif tidak menentukan Pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat ambang batas kursi di parlemen.
"Kepentingan politik praktisnya adalah agar hasil pemilu legislatif tidak menentukan pilpres. Partai kecil bisa mengajukan calon tanpa syarat perolehan suara partai karena kedua pemilunya dilakukan serempak," terangnya.
Namun tujuan tersebut tidak tercapai lantaran DPR tetap membuat UU Pemilu dengan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan hasil Pemilu sebelumnya.
"Tujuan ini tak tercapai. DPR tetap membuat UU agar capres didasarkan pada perolehan suara partai dari pemilu sebelumnya. Tresholdnya juga tetap tinggi sehingga hanya koalisi partai yang secara umum bisa mencalonkan," ungkapnya.
"Argumen bahwa presidensialisme tak bergantung terhadap partai dan DPR tak sepenuhnya benar. Terbukti omong kosong," tutup Saiful.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pelaksanaan Pilkada secara serentak nanti memiliki kerawanan yang lebih besar dibandingkan Pilpres maupun Pileg.
Baca SelengkapnyaKemenko Polhukam melakukan pemetaan untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial tersebut.
Baca SelengkapnyaMahfud mengingatkan anggota Polri mempersiapkan diri sejak ini mengantisipasi gangguan Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya"Jangan mengambil rIsiko terlalu tinggi," kata Mendagri Tito.
Baca SelengkapnyaJika pemerintah daerah tidak memasilitasi maka pilkada serentak pasti akan terganggu.
Baca SelengkapnyaPenting untuk menjaga toleransi dan kerukunan selama pemilu.
Baca SelengkapnyaMendagri Tito kemudian menyinggung ketidak harmonisan antara Gubernur dengan Wali Kota dan Bupati karena unsur politis
Baca SelengkapnyaDewan Ketahanan Nasional (Wantannas) mengungkap potensi kerawanan konflik di daerah yang menggelar Pilkada serentak 2024.
Baca SelengkapnyaMenurut Mahfud, penyakit itu mulai dari politik uang hingga hoaks
Baca SelengkapnyaPesan itu disampaikan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto saat Rapat Koordinasi Penyelenggara Pilkada Serentak 2024.
Baca SelengkapnyaListyo mengatakan, pemilu kali ini berbeda dari sebelumnya, juga memiliki kompleksitas tersendiri karena dilaksanakan secara serentak.
Baca SelengkapnyaKonflik menjadi salah satu aspek yang tidak dapat lepas dalam kontestasi pemilihan umum.
Baca Selengkapnya