UU MD3, penegak hukum periksa anggota DPR harus persetujuan MKD dan presiden
Merdeka.com - DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR dan DPD dan DPRD (UU MD3). Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 245 mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD.
Pasal itu menyebutkan pertimbangan MKD akan diserahkan kepada presiden untuk pemberian izin pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum. Namun, peran MKD hanya sebatas memberikan pertimbangan.
Namun, pertimbangan itu tidak berlaku jika anggota DPR itu terkena operasi tangkap tangan, melakukan tindak pidana khusus seperti korupsi dan diancam hukuman pidana atau seumur hidup. Padahal Pasal 245 telah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2015. Saat itu, Pasal 245 berisi pemeriksaan anggota DPR harus izin MKD. Namun, MK memutuskan mengganti 'izin MKD' dengan 'izin presiden'.
-
Apa yang dibahas UU MD3? Revisi UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2024.
-
Siapa yang membahas UU MD3? Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi alias Awiek merespons kabar revisi UU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2024.
-
Apa yang diminta DPR untuk KPK dan Polri? Lebih lanjut, Sahroni tidak mau kerja sama ini tidak hanya sebatas formalitas belaka. Justru dirinya ingin segera ada tindakan konkret terkait pemberantasan korupsi 'Tapi jangan sampai ini jadi sekedar formalitas belaka, ya. Dari kolaborasi ini, harus segera ada agenda besar pemberantasan korupsi. Harus ada tindakan konkret. Tunjukkan bahwa KPK-Polri benar-benar bersinergi berantas korupsi,' tambah Sahroni.
-
Mengapa DPR meminta audit PMN? 'Komisi XI DPR RI akan meminta BPK RI melakukan Audit Kinerja LPEI dan bisnis model yang baru guna memastikan keberlanjutan kinerja LPEI,' ujarnya.
-
Apa yang DPR minta KPK usut? 'Komisi III mendukung penuh KPK untuk segera membongkar indikasi ini. Karena kalau sampai benar, berarti selama ini ada pihak yang secara sengaja merintangi dan menghambat agenda pemberantasan korupsi.'
-
Bagaimana DPR menilai proses hukum Kejagung? Semuanya berlangsung cepat, transparan, tidak gaduh, dan tidak ada upaya beking-membeking sama sekali, luar biasa.
Pada 22 September 2015 Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 76/PUU XII/2014 ada tiga hal yang menjadi pertimbangan hukum mengapa MK menetapkan pemeriksaan anggota DPR perlu mendapat izin Presiden.
Pertama, sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945, anggota DPR mempunyai hak interpelasi, angket, menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta imunitas. Pelaksanaan fungsi dan hak konstitusional anggota DPR harus diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai dan proporsional sehingga anggota DPR tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusionalnya.
Hal itu juga merupakan politik hukum (legal policy) pembentuk undang-undang yang mengonstruksikan upaya perlindungan bagi pejabat negara agar tidak mudah dikriminalisasi. Ada beberapa jabatan yang mensyaratkan persetujuan tertulis Presiden, seperti hakim Mahkamah Agung, hakim Mahkamah Konstitusi, pimpinan dan anggota BPK, serta pimpinan dan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Hal ini berbeda dengan jabatan kepala daerah yang sudah tidak memerlukan persetujuan tertulis Presiden pada tahap penyelidikan dan penyidikan karena, meski tindakan hukum ini mungkin mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, tidak ada halangan bagi yang bersangkutan untuk menjalankan tugas. Namun, jika kepala daerah akan ditahan, persetujuan tertulis dari Presiden diperlukan.
Memang dalam amar putusan Nomor 73/PUU-IX/2011, MK membatalkan Pasal 36 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemda yang mengatur persetujuan tertulis Presiden bagi kepala daerah. Namun, dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan masih perlu persetujuan tertulis Presiden untuk proses penahanan karena tindakan hukum itu akan mengganggu dan menghambat tugas menjalankan pemerintahan daerah.
Dengan demikian, sejatinya persetujuan tertulis dari Presiden dalam pemeriksaan kepala daerah masih diperlukan jika ada penahanan.
Kedua, persyaratan persetujuan tertulis dari MKD dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.
Lagi pula, hal ini dipandang tidak tepat karena MKD, meskipun disebut 'mahkamah' sesungguhnya adalah alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik dan tidak memiliki hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana.
Proses pengisian anggota MKD yang bersifat dari dan oleh anggota DPR akan menimbulkan konflik kepentingan. Oleh karena itu, menurut MK, proses persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang akan disidik harus dikeluarkan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan oleh MKD
Oleh karena itu, putusan MK yang merekonstruksi izin anggota DPR-semula kewenangan MKD menjadi kewenangan Presiden-sudah tepat.
Ketiga, dalam upaya menegakkan mekanisme checks and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dan pemegang kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, MK berpendapat bahwa izin tertulis a quo seharusnya berasal dari Presiden dan bukan dari MKD.
Adanya persyaratan izin atau persetujuan tertulis dari Presiden dalam hal anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam konteks adanya dugaan tindak pidana diharapkan, di satu pihak, tetap dapat melaksanakan fungsi dan kewenangannya sebagai anggota DPR. Di lain pihak, tetap menjamin kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin UUD 1945.
Meski demikian, tindakan penyidikan yang dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 245 UU MD3 yang memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut harus diterbitkan dalam waktu yang singkat. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan proses hukum yang berkeadilan, efektif, efisien, serta menjamin kepastian hukum.
Rekonstruksi yang dilakukan MK untuk memosisikan persetujuan tertulis yang semula merupakan kewenangan MKD menjadi kewenangan Presiden tak diperlukan jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Atau disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, dan disangka melakukan tindak pidana khusus, termasuk korupsi.
(mdk/eko)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pemakzulan presiden sendiri harus diusulkan satu per tiga dari jumlah anggota DPR
Baca SelengkapnyaWakil Ketua DPR Sufmi Dasco menyebut, pengesahan RUU bisa digelar di masa sidang ini.
Baca SelengkapnyaAnggota Komisi III Ini Mengaku Tak Dapat Undangan Rapat saat DPR-Pemerintah Putuskan Revisi UU MK
Baca SelengkapnyaMenurut Mahfud, KPU maupun Bawaslu tidak bisa dilakukan angket.
Baca SelengkapnyaPengajuan usulan revisi UU MD3 saat itu disampaikan terkait dengan kewenangan keuangan DPR RI yang perlu dijabarkan lebih lanjut.
Baca SelengkapnyaMahfud menyebut jika DPR tetap ngotot mengajukan hak angket, butuh improvisasi siapa yang akan diangket.
Baca SelengkapnyaSaid menilai tidak memahami pernyataan seseorang atau tokoh secara utuh dapat menyesatkan publik yang kemudian menjurus kepada kegaduhan.
Baca SelengkapnyaWakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengklaim DPR dan pemerintah justru telah mengadopsi sebagian putusan MK
Baca SelengkapnyaMK: DPR Tak Boleh Lepas Tangan soal Masalah Pemilu, Harus Jalankan Fungsi Konstitusional seperti Hak Angket
Baca SelengkapnyaDjarot khawatir RUU tersebut bisa menyingkirkan hakim-hakim MK.
Baca SelengkapnyaIsi pasal 15 Undang-Undang Kementerian Negara diusulkan diubah
Baca SelengkapnyaBadan legislatif (Baleg) DPR RI sepakat, Revisi Undang-undang (UU) Pilkada dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan menjadi UU
Baca Selengkapnya