Profil
A. F. Lasut
Arie Frederik Lasut lahir di desa Kapataran, Minahasa, Sulawesi Utara, 6 Juli 1918, sebagai putra tertua dari 8 bersaudara, anak pasangan Darius Lasut dan Ingkan Supit. Dia adalah tokoh perintis dalam ilmu pertambangan dan geologi di Indonesia pada masa perang kemerdekaan. A. F. Lasut mulai mendalami ilmu geologi saat dia mengikuti Asistent Geologen Cursus di Bandung yang diselenggarakan oleh Dienst van den Mijnbouw pada tahun ajaran 1939-1941. Kursus Asisten Geologi tersebut adalah kursus dengan angkatan pertama yang diselenggarakan menjelang meletusnya Perang Dunia II pada tahun 1939-1945. Lasut bersama dengan beberapa tokoh lainnya yakni R. Sunu Soemosoesastro, J.van Gorkom dan Meinecke menyelesaikan kursus dan mulai kariernya sebagai geologiwan pada 12 Pebruari 1940.
Kemampuannya sebagai geologiwan dalam kariernya telah ditunjukkan dari laporan-laporannya yang berturut-turut tahun 1941, 1943, 1944 dan 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945, A.F. Lasut bersama dengan R. Sunu Somosoesastro dan rekan-rekan sejawat lainnya berjuang untuk mengambilalih kantor Sangyobu Chishitsuchosacho yang kala itu dikuasai oleh Jepang. Pada waktu itu, aksi perlawanan untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Jepang terjadi di mana-mana mulai dari kawasan pertambangan, kantor pusat Sangyobu Chishitsuchosacho di Bandung hingga ke kawasan pertambangan yang tersebar di daerah-daerah.
Seiring dengan berjalannya perang, Lasut dan rekannya kemudian mendirikan pusat Djawatan Tambang dan Geologi dengan kantor yang sama. Pengelolaan Pusat Djawatan yang semula dipimpin oleh R. Ali Tirtosoewirjo dan kemudian oleh digantikan oleh R. Sunu Soemosoesastro. A.F. Lasut sendiri menjadi salah satu dari 7 orang anggota Dewan Pimpinan dan merangkap sebagai Kepala Laboratorium. Ketika R. Sunu Soemosoesastro menjabat sebagai Ketua Dewan Buruh, A.F. Lasut dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Buruh merangkap Wakil Kepala Pusat. Tidak lama kemudian, A. F. Lasut ditarik untuk menjabat sebagai Kepala Pusat sekaligus menjadi Kepala Bagian Perusahaan sebelum akhirnya dia ditugaskan untuk menjabat sebagai Kepala Bagian Geologi.
Selama Perang Kemerdekaan 1945-1949 melawan tentara Belanda yang didukung oleh pasukan sekutu, A.F. Lasut memimpin Pusat Djawatan mengungsi dari satu tempat ke tempat yang lain selama 4 tahun dari rentang bulan Desember 1945 hingga Desember 1949. Karena tekanan dari pasukan tentara Belanda yang terus-menerus, maka Kantor Pusat Djawatan berturut-turut diungsikan dari Bandung ke Tasikmalaya dan ke Solo (Maret 1946), ke Magelang (September 1946), kemudian tercerai-berai ke beberapa desa (Borobudur, Muntilan, Dukun, Serumbung) pada Oktober 1947, dan akhirnya yang berakhir di Yogyakarta pada November 1947. Sebagai pejuang yang gigih, A.F. Lasut bersama rekan sejawatnya berhasil merebut dan mempertahankan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi. Tidak hanya merebut Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, dia juga menyelamatkan dan mengembangkannya. Ketika memimpin Djawatan Tambang dan Geologi, Lasut membuat suatu aturan yang mengatur bahwa semua perusahaan pertambangan harus berada di bawah pengawasan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, hal ini diumumkannya pada bulan Oktober 1945. Untuk mengembangkan Pusat Djawatan Tambang dan Geologi, Lasut bersama dengan R. Sunu Soemosoesastro membuka Sekolah Pertambangan dan Geologi Tinggi pada tahun 1946 di Magelang dan Yogyakarta, dan membuka cabang kantor Pusat Djawatan di Bukit Tinggi, Sumatera. Di sela-sela kesibukannya seperti itu, A.F. Lasut masih sempat melakukan penyelidikan geologi di beberapa tempat. Hal ini terlihat di dalam karya tulisnya yang terakhir pada tahun 1948, tentang Berita Tahunan 1945-1947, yang ditulis pada tahun 1948 tetapi baru terbit pada tahun 1962.
Karena kepintarannya dalam hal ilmu pertambangan dan geologi, Lasut menjadi incaran bangsa Belanda. Lasut tetap bersikeras untuk menolak bekerjasama dengan Belanda hingga akhir hayatnya. Ketika berusia 30 tahun, Lasut diculik dari rumahnya dan ditembak mati oleh Belanda pada 7 Mei 1949 di daerah Pakem (sekitar 7 kilometer di utara Yogyakarta). Jenazah Lasut kemudian dimakamkan di Kintelan Yogyakarta, di sebelah makam istrinya, Nieke Maramis, yang telah lebih dulu meninggal pada Desember 1947. Atas jasa-jasanya, A.F. Lasut kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969.
Riset dan Analisa: Fathimatuz Zahroh