Ada 51 Juta Sampah Plastik di AS, Hanya 5 Persen yang Didaur Ulang
Greenpeace mengungkap masalah plastik bukan hanya menunjukkan sifat konsumerisme dan kemalasan warga AS, tetapi juga menunjukkan kalau setiap rumah tangga tidak dapat memilah sampah-sampah plastik untuk didaur ulang.
Berdasarkan laporan yang diterbitkan Greenpeace, Amerika Serikat (AS) hanya mendaur ulang lima persen dari 51 juta ton sampah pembungkus, botol, dan tas plastik dihasilkannya pada 2021.
Laporan itu menjelaskan sampah-sampah yang tidak didaur ulang kini berada di tempat pembuangan sampah, lautan atau tersebar di udara dalam bentuk partikel kecil beracun.
-
Bagaimana cara pemerintah menangani sampah plastik? Pemerintah pusat maupun daerah melakukan berbagai upaya untuk dapat mengurangi dampak negatif sampah plastik.
-
Dimana sampah plastik ditemukan mengapung? Sampah plastik mengapung di Sungai Ciliwung, Kanal Banjir Barat, Jakarta, Rabu (20/12/2023).
-
Kenapa pencemaran lingkungan oleh sampah plastik menjadi masalah serius bagi Indonesia? Selain dampak buruknya yang mampu mencemari lingkungan, permasalahan ini pun tentunya dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya karena dinilai sangat tidak higienis. Bukan hanya itu saja, tumpukan sampah ini juga mampu menciptakan ledakan gas metana yang berbahaya bagi keselamatan manusia.
-
Dimana sampah plastik yang dibakar dapat mencemari lingkungan? Partikel mikroplastik, logam berat, dan zat kimia beracun yang terlepas dari pembakaran sampah plastik dapat terbawa oleh angin atau air hujan dan mencemari sumber air, seperti sungai, danau, laut, dan air tanah.
-
Bagaimana Monumen Antroposen memanfaatkan sampah plastik? Bahan baku material pembuatan dinding monumen dibuat dari sampah plastik yang dipanaskan, lalu dipress dan dibentuk menyerupai batu bata. Setiap batu bata plastic dibuat dari 6 kg sampah plastik.
-
Kenapa membakar sampah plastik berbahaya bagi kesehatan? Membakar sampah plastik dapat mencemari udara dengan zat-zat berbahaya, seperti karbon monoksida, dioksin, furan, dan volatil. Zat-zat ini dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, seperti pusing, sakit kepala, gangguan penglihatan, penurunan kesadaran, kanker, kecacatan janin, gangguan hormon, dan gangguan pernapasan.
Greenpeace mengungkap masalah plastik bukan hanya menunjukkan sifat konsumerisme dan kemalasan warga AS, tetapi juga menunjukkan kalau setiap rumah tangga tidak dapat memilah sampah-sampah plastik untuk didaur ulang.
Bahkan laporan itu menemukan tidak ada satu pun kemasan plastik di AS yang memenuhi persyaratan daur ulang yang digunakan oleh Komisi Perdagangan Federal atau inisiatif plastik dari Yayasan Ellen MacArthur.
Plastik-plastik yang selama ini dianggap dapat didaur ulang pun, seperti botol-botol dan jug (tempat air besar) plastik tidak mencapai tingkat daur ulang sebesar 30 persen untuk memenuhi kriteria definisi daur ulang oleh Yayasan Ellen MacArthur.
Plastik-plastik yang digunakan untuk membungkus barang-barang yang dibeli daring atau digunakan untuk membungkus makanan di AS juga ditemukan hanya didaur ulang sebesar lima persen saja.
“Perusahaan seperti Coca-Cola, PepsiCo, Nestle, dan Unilever telah bekerja dengan kelompok industri untuk mempromosikan daur ulang plastik sebagai solusi sampah plastik selama beberapa dekade. Tetapi datanya jelas: secara praktis, sebagian besar plastik tidak dapat didaur ulang. Solusi sebenarnya adalah beralih ke sistem penggunaan kembali dan isi ulang,” ujar Lisa Ramsden, juru kampanye plastik senior Greenpeace USA, seperti dilansir The Guardian, Senin (24/10).
Bahkan dalam laporan lain berjudul Circular Claims Fall Flat yang diterbitkan pada 2020, menunjukkan 370 tempat daur ulang menemukan sebagian besar sampah plastik yang mereka terima tidak dapat didaur ulang.
Penurunan tingkat daur ulang plastik di AS telah terjadi beberapa tahun ke belakang, seperti pada 2014, tingkat daur ulang plastik berada di angka 9.5 persen. Tetapi pada 2018, angka daur ulang plastik jatuh ke 8.7 persen.
AS pun menjadi salah satu negara produsen plastik terbesar di dunia. Negara itu bahkan mengekspor plastik-plastiknya ke negara lain, seperti China. Namun pada 2018, China berhenti menerima plastik-plastik itu karena pada dasarnya plastik-plastik kiriman itu hanyalah sampah dan terlalu kotor untuk didaur ulang.
Penggunaan plastik pun tiap tahunnya selalu meningkat dibandingkan tingkat daur ulangnya.
Tindakan mengirim sampah plastik ke tempat atau negara lain bukanlah solusi yang tepat untuk menanggulangi masalah limbah plastik. Jika terus dilakukan, maka plastik dapat tersebar ke berbagai tempat dan pengumpulan serta daur ulangnya pun menjadi sulit dilakukan.
Lingkungan pun menjadi semakin rusak karena plastik umumnya mengandung bahan-bahan beracun. Namun kertas, kardus, besi, dan gelas tidak menciptakan masalah lingkungan, maka itu tingkat daur ulang benda-benda itu lebih tinggi dibanding plastik.
Ramsden menjelaskan, industri-industri besar harus mendukung Perjanjian Plastik Global sehingga dapat menghentikan penggunaan plastik secara besar-besaran.
Perjanjian itu kini sedang disusun setelah lebih dari 170 negara pada Maret lalu mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengakhiri polusi plastik. Negara-negara pun yakin kalau pada 2024 nanti, perjanjian itu dapat mengikat secara hukum internasional.
Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengungkap kalau perjanjian itu tidak disetujui, maka jumlah limbah plastik akan bertambah tiga kali lipat dan akan mencapai puncaknya pada 2060 nanti.
Reporter Magang: Theofilus Jose Setiawan
(mdk/pan)