AS anggap berita media Indonesia soal status Yerusalem meleset
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R. Donovan, berdalih keterangan resmi dalam bahasa Indonesia soal Yerusalem dari pihaknya juga keliru. Dia menyatakan kawasan Tembok Ratapan dan sisa-sisa Kuil Sulaiman, serta kompleks Masjid Al-Aqsa tetap tidak boleh dikuasai siapapun (status quo).
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Joseph R. Donovan, menuding pemberitaan dilansir media massa dalam negeri tentang pernyataan Presiden AS, Donald Trump, soal Kota Yerusalem yang diakui sebagai Ibu Kota Israel banyak yang keliru. Sebab menurut dia, keterangan resmi yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia juga meleset.
Donovan beralasan Trump tetap menyatakan kawasan Tembok Ratapan dan sisa-sisa Kuil Sulaiman, serta kompleks Masjid Al-Aqsa tetap tidak boleh dikuasai siapapun (status quo).
"Ketika Presiden Trump mengumumkan bahwa Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan kota pemerintahannya, Presiden Trump menegaskan kembali bahwa AS mendukung status quo situs suci bukit kuil dan Al Aqsa. Inilah pernyataan dalam bahasa Inggris yang saya keluarkan pada awal hari ini, dan saya salahkan bahwa dalam terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah salah," kata Donovan di Tangerang, Kamis (7/12).
Donovan menambahkan, AS berkomitmen tetap pada kesepakatan damai antara Palestina dan Israel, serta mendukung solusi dua negara, bila disetujui kedua belah pihak.
Presiden Trump, kata Donovan, menegaskan Yerusalem kini dan harus terus menjadi tempat yang bebas bagi tiga umat beragama. Yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
"Presiden percaya bahwa langkah yang tepat adalah mengakui fakta bahwa institusi Israel terletak di Yerusalem," kata Donovan.
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi, menyatakan oleh pemerintah sejak awal sudah menyampaikan posisi yang sangat jelas soal kemelut status Yerusalem.
"Kita sudah menyampaikan pesan yang sangat keras, dan kita meminta pada AS untuk membatalkan. Karena apabila hal tersebut dilakukan, maka akan membahayakan proses perdamaian itu sendiri." kata Retno.