Kisah TKI ilegal di Malaysia, pulang malu tak pulang rindu
"Kita saudara dan keluarga masih banyak di Indonesia, tapi mau pulang malu karena kita punya tabungan belum banyak."
Tangannya kekar dengan otot-otot menyembul di lengan. Raut mukanya terlihat keras dan tampak lebih tua dari usianya. Badannya yang agak bungkuk namun terlihat kekar menjadi bukti kerja dan hidup keras yang dialaminya.
"Saya Nursalim, dari Bugis, Indonesia," ujar pria 49 tahun ini memperkenalkan diri kepada reporter merdeka.com, Hery H Winarno, di kawasan perkebunan kelapa sawit di Kinabatangan, sekitar 100 Km dari Lahad Datu, Sabah, Malaysia, Kamis (14/3).
Nursalim sudah hampir 15 tahun hidup dan bekerja di ladang sawit. Pria yang telah dikaruniai dua anak ini bekerja sebagai penombak sawit. Sawit-sawit yang siap panen, ditombak hingga jatuh ke tanah untuk kemudian diangkut ke pabrik dengan truk besar dan diolah jadi minyak. Tiap hari pohon sawit ribuan hektar ditombaknya.
Salim, begitu dia sapa, mengaku tidak memiliki paspor dan KTP Indonesia. Salim adalah salah satu potret imigran gelap Indonesia di Negeri Jiran.
"KTP pun sudah lama mati, sudah lama tak pulang ke Indonesia, jadi tak bisa perpanjang KTP," terangnya.
Salim awalnya mengaku bekerja serabutan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Lalu dia ditawari calo untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Dia diiming-imingi gaji besar, tiga kali lipat dibanding bekerja di perkebunan sejenis di Kalimantan atau Sumatera.
"Katanya mau dikasih paspor, tapi sampai sekarang tak ada. Sudah tanya kepada manajer ladang tapi tidak ada terus," terangnya.
Nursalim tinggal bersama istri dan dua anaknya di perumahan di tengah-tengah ribuan hektar hutan sawit. Jarak perumahan pekerja ladang atau biasa disebut estat ke jalan utama sekitar 2 jam perjalanan dengan truk besar.
"Kalau ke Lahad Datu dari estat sekitar 3 jam. Dari estat keluar jalan besar 2 jam, jalannya tanah belum aspal, sampai jalan besar baru aspal, dari jalan aspal ke Lahad satu jam," terangnya.
Menurutnya, janji calo yang menawarinya kerja tidak sepenuhnya salah. Nursalim diupah antara 800-1.000 ringgit (Rp 2,5 hingga 3 juta lebih) perbulan. Istrinya yang bekerja sebagai pemungut sawit diupah 600 hingga 800 ringgit.
"Di Kalimantan mungkin satu jutaan, tapi di sini apa-apa mahal. Uang pun habis buat makan saja. Beras, sayur, telor mahal," terangnya.
Namun untuk pulang ke Indonesia, Nursalim pun ragu. Di Indonesia, suami Nurfajriah ini tak yakin mendapat kerja.
"Macam mana yah, di sana kerja pun kadang sulit. Di sini kita kerja, walaupun begini kita tetap bisa cari makan, di sini pun tenang dan aman," ujarnya.
Meski demikian, Nursalim tetap merasa rindu kepada kampung halamannya. Apalagi kedua anaknya yang baru berumur 8 dan 5 tahun belum pernah diajaknya ke Indonesia.
"Kita saudara dan keluarga masih banyak di Indonesia, tapi mau pulang pun malu karena kita punya tabungan belum banyak. Orang merantau ke sini pulang biasanya bawa duit banyak, tetapi kita juga rindu kita punya keluarga, ingin berjumpa, ingin berkumpul. Macam bahasa orang Melayu yang pergi merantau, pulang malu tak pulang rindu," terangnya.
Keduanya sendiri bersekolah di estat. Ada guru yang didatangkan dari Indonesia yang menjadi guru di estat mereka.
"Kami bekerja di ladang, kadang di blok sini, kadang di blok lain. Kita cari saja mana lokasi sawit yang bisa ditombak. Anak-anak sekolah di estat, ada cikgu (guru) dari Indonesia," terangnya.
Terkait perang di wilayah Tandou dan sekitarnya, hal itu tidak terlalu berpengaruh untuk perkebunan tempat Salim dan seratusan TKI lainnya. Lokasi perkebunan mereka tergolong jauh, dari lokasi konflik.
"Di estat kami ada seratusan orang Indonesia, ada yang punya paspor ada juga yang tidak macam kami ini. Tapi di sini bos tidak masalah kita punya paspor atau tidak, yang penting kami bisa kerja. Kalau kerja bagus, sawit ditombak banyak gaji bagus, kalau kerja malas, sawit dikit gaji kecil," paparnya.
Dalam hati kecilnya, Salim pun ingin segera kembali ke tanah air. Namun dengan kondisi saat ini, Salim belum bisa memastikan kapan dia bisa membawa pulang keluarganya ke Indonesia.
"Tak tahulah kapan. Mungkin nanti kalau uang sudah banyak dikit kita pulang, saya ingin buka usaha di kampung saja," imbuhnya.