Myanmar tolak gencatan senjata dengan militan Rohingya
Juru Bicara Kantor Penasihat Negara Myanmar, Zaw Htay, menyatakan tidak bakal melakukan gencatan senjata. "Kami tidak akan bernegosiasi dengan teroris," kata anak buah Aung San Suu Kyi itu.
Pemerintah Myanmar menolak gencatan senjata diajukan oleh kelompok militan di Negara Bagian Rakhine, Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA). Myanmar menyatakan mereka tidak bakal bernegosiasi dengan ARSA dianggap sebagai teroris.
Sabtu pekan lalu, ARSA mengajukan gencatan senjata sepihak selama satu bulan. Hal itu dilakukan dengan maksud buat memberi jalan pengiriman bantuan kepada korban konflik di Negara Bagian Rakhine. Mereka juga meminta pasukan Myanmar (Tatmadaw) sementara meletakkan senjata.
Juru Bicara Kantor Penasihat Negara Myanmar, Zaw Htay, menyatakan tidak bakal melakukan gencatan senjata. "Kami tidak akan bernegosiasi dengan teroris," kata Zaw Htay, seperti dilansir dari laman CNN, Senin (11/9).
Hampir 300 ribu etnis muslim minoritas Rohingya di Negara Bagian Rakhine memilih mengungsi ke Bangladesh. Menurut Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait hak asasi manusia untuk Myanmar, Yanghe Lee, menyatakan sekitar seribu orang tewas dalam kekerasan di Rakhine. Namun, dia menyatakan itu cuma perkiraan karena sulit memastikan jumlah pasti lantaran militer Myanmar membatasi akses bagi siapapun ke Rakhine. Sedangkan versi pemerintah Myanmar, korban tewas mencapai 421 orang.
Etnis Rohingya dianggap sebagai kaum mengalami persekusi paling parah di dunia. Pemerintah dan penduduk Myanmar mayoritas Buddha menolak mengakui mereka sebagai warga negara lantaran dianggap sebagai pendatang gelap dari Bangladesh. Namun, Bangladesh menyatakan Rohingya adalah warga Myanmar. Maka dari itu, orang Rohingya adalah manusia tak punya negara.
Kekerasan belakangan terjadi di Rakhine dipicu serangan ARSA ke pos penjagaan perbatasan pada 25 Agustus. Dalam insiden itu, 12 orang tewas.
Pemerintah Myanmar bereaksi dengan mengirim ribuan pasukan bersenjata lengkap dengan dalih operasi militer memburu teroris. Namun, menurut laporan relawan, tentara Myanmar diduga melakukan pembantaian dan pengusiran etnis Rohingya. Seluruh perkampungan orang Rohingya yang ada dijarah dan dibakar.
Di sisi lain, sikap diam mantan pejuang kemanusiaan dan demokrasi kini didapuk menjadi Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi, terhadap etnis Rohingya juga dikritik. Padahal di masa lalu, Suu Kyi begitu lantang menyuarakan perlawanan terhadap rezim militer, hingga dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991. Melihat sikapnya yang seperti mengabaikan orang Rohingya, sudah 405 ribu orang mendesak supaya penghargaan itu ditarik kembali dari Suu Kyi.