Orang-Orang Uighur yang Dideportasi dan Menghilang dari Negara Muslim
Seorang aktivis Uighur yang berbasis di Oslo, Abduweli Ayup mengatakan dia telah mendokumentasikan dan mengonfirmasi sedikitnya 28 warga Uighur dideportasi dari tiga negara mayoritas Muslim antara 2017 dan 2019: 21 dari Mesir, lima dari Arab Saudi, dan dua, termasuk Ahmad Talip, dari UEA.
Amannisa Abdullah dan suaminya, Ahmad Talip, sedang di jalan untuk berbelanja pakaian bayi di Dubai, ketika pesan yang mengubah hidup keduanya datang. Ahmad membacanya dan segera mengubah rencana: Dia harus melapor ke kantor polisi segera.
Ahmad mengantar istrinya ke rumah seorang kawan hari itu pada Februari 2018, berjanji untuk menjemputnya nanti. Dia tak pernah kembali.
-
Mengapa warga Uighur merasa diperlakukan tidak adil di China? Abdul mengatakan, saat ini terdapat ratusan tempat pengungsian konsentrasi yang mengelilingi pemukiman warga Uighur. Kamp konsentrasi ini diperkenalkan kepada dunia internasional sebagai pusat pendidikan. Namun kenyataannya kamp konsentrasi tersebut ditujukan untuk menghapuskan identitas agama dan bangsa Uighur serta membuat mereka lupa seorang muslim."Penerintah komunis China mengkriminalisasi praktek Islam yang normal," kata Abdul.
-
Apa yang terjadi pada warga Uighur di China yang membuat mereka terpisah dari keluarga? Abdul mengaku mendapat telepon dari kerabat di Shanghai pada September 2017. Menurut Abdul, kerabatnya itu mengabarkan bahwa adiknya diambil dari kamp konsentrasi warga Uighur di China. "Dan kemudian mereka tidak tahu tentang orang tuaku. Itu terakhir kali aku mendengar kabar dari mereka," ujar Abdul ketika menjadi narasumber pada agenda konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' diselenggarakan oleh OIC Youth Indonesia di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Siapa yang menganggap pelanggaran HAM di China terhadap warga Uighur sebagai tindakan pelanggaran HAM? Presiden Organization of Islamic Conference (OIC) Youth Indonesia, Astrid Nadya Rizqita menilai banyak dugaan pelanggaran HAM dalam persoalan warga Uighur."Kalau merujuk pada HAM, kebebasan beragama, itu banyak sekali hal-hal yang melanggar HAM," kata Astrid saat menyampaikan pidato pembukaan di konferensi pers dan dialog publik bertemakan 'Plight of Uyghur and Current Updates' di Marrakesh Inn Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (19/12).
-
Bagaimana cara Indonesia bisa membantu warga Uighur di China? Menurutnya, Indonesia sebagai negara yang menganut prinsip non-intervensi juga bukan berarti hanya bisa diam, tetapi dapat menerapkan mekanisme dialog ataupun diplomasi untuk ikut bersuara dalam permasalahan dunia. "Ini bukan berarti kita diam atau memalingkan kepala. Namun, bukan berarti indonesia juga langsung lantas berangkat ke sana, tapi kita dapat menggunakan mekanisme dialog dan diskusi," ujar Astrid.
-
Apa yang ditemukan di China selatan? Sebuah fosil buaya yang telah punah ditemukan dengan kondisi terpenggal di China selatan.
-
Apa yang menjadi ciri khas dari Masjid Agung Al Munada Darussalam Baiturrahman di Tebet? Bangunan menyerupai perahu inilah yang kemudian menjadi ikon dari masjid tersebut. Tak sedikit juga jemaah yang mengabadikan gambar di sekitar area perahu.
Di apartemennya di Dubai, Ammanisa yang tidak bisa tidur berdoa dan menangis sepanjang malam, melihat jam demi jam berganti saat dia terus berulang kali menghubungi Ahmad namun tidak pernah dijawab.
Pada pagi harinya, perempuan 29 tahun yang sedang hamil tua itu terhuyung-huyung keluar pintu, memeluk putranya yang berusia lima tahun. Mereka naik taksi ke kantor polisi di mana dia berusaha menjelaskan kesulitannya kepada seorang petugas polisi.
Saat dia berbicara, anaknya menyeret tangannya. Diam-diam, putranya menunjuk ke dalam sel di mana Ahmad sedang duduk.
Selama 13 hari, Amannisa bolak balik antara rumah dan penjara, memohon pada penegak hukum agar membebaskan Ahmad.
Dalam setiap kunjungannya, suaminya terlihat semakin murung. Dia mengungkapkan keyakinannya kepada istrinya bahwa China telah memburu keluarga Uyghur di Uni Emirat Arab.
“Tidak aman di sini. Kamu harus bawa anak kita dan (pergi) ke Turki,” ujarnya kepada Amannisa dalam percakapan terakhirnya.
“Jika anak bayi kita perempuan, tolong namankan dia Amina. Jika laki-laki, namakan dia Abdullah.”
Sepekan kemudian, Ahmad dikirim ke ibu kota Uni Emirat Arab, Abu Dhabi. Lima hari kemudian, pihak berwenang Abu Dhabi mengatakan kepada Amannisa suaminya telah diekstradisi ke China.
Putri mereka, Amina, lahir sebulan kemudian di Turki. Dia tidak pernah bertemu ayahnya.
Pengakuan Amannisa adalah salah satu dari belasan kesaksian yang dikumpulkan CNN, merinci dugaan penangkapan dan deportasi warga Uighur atas permintaan China di tiga negara Arab: Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi.
CNN telah berulang kali meminta konfirmasi dari pemerintah Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi terkait ekstradisi ini namun tidak ada tanggapan. Pemerintah juga tidak menanggapi permintaan komentar dari CNN.
Di Mesir, kelompok HAM telah mendokumentasikan ratusan penangkapan dan sedikitnya 20 deportasi warga Uighur pada 2017, mayoritas merupakan mahasiswa Universitas Al-Azhar. Di Arab Saudi antara 2018 dan 2020, sedikitnya satu orang Muslim Uighur diduga ditangkap dan dideportasi setelah melakukan ibadah umrah di Makkah.
Laporan Human Rights Watch yang dirilis pada April mengungkapkan China melacak ratusan warga Uighur di seluruh dunia, memaksa mereka untuk kembali ke China dan menghadapi persekusi. Dalam banyak kasus, laporan tersebut mengatakan “mustahil mengetahui apa yang terjadi” pada mereka.
Bagi beberapa orang Uighur, ekstradisi dari negara-negara Muslim akan sangat menyakitkan, menghancurkan gagasan solidaritas Islam dan memperdalam perasaan terisolasi di panggung dunia di mana kekuatan China telah berkembang pesat.
CNN telah melihat sebuah dokumen yang diterbitkan kejaksaan Dubai pada 20 Februari 2018, delapan hari setelah Ahmad Talip ditangkap, mengonfirmasi permintaan ekstradisi China atasnya, terdaftar dalam dokumen itu atas nama Chinanya, Aihemaiti Talifu.
Dokumen tersebut mengatakan pihak berwenang Dubai pada awalnya memutuskan untuk membebaskan Ahmad karena kurangnya bukti dia harus diekstradisi. Kantor kejaksaan Dubai menginstruksikan polisi “berhenti mencari orang yang disebutkan di atas dan cabut semua pembatasan terhadapnya, kecuali dia diburu untuk alasan lain.”
Tapi pada 25 Februari 2018, Amannisa diberitahu bahwa Ahmad telah dideportasi. Pihak berwenang di Uni Emirat Arab tidak pernah menjelaskan apa yang dituduhkan terhadap suaminya. Tiga tahun kemudian, dia masih belum mendapatkan jawaban.
“Jika suami saya (melakukan) kejahatan, mengapa mereka tidak mengatakan kepada saya? Mengapa China tidak menyampaikan ke saya?" ujarnya kepada CNN, dikutip Kamis (10/6).
“Saya tidak tahu apakah suami saya masih hidup atau tidak,” ujarnya.
“Saya tidak mendapat kabar tentangnya dari China, dari UEA. Keduanya bungkam. Mereka bungkam, benar-benar bungkam.”
“Mengapa kalian tidak mematuhi dokumen pengadilan kalian sendiri? Kalian bilang kalian negara Muslim. Dan saya tidak pernah percaya lagi sejak ini terjadi, saya tidak pernah mempercayai kalian.”
Pihak berwenang Dubai dan Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab tidak menanggapi permintaan konfirmasi berulang kali dari CNN terkait kasus Ahmad Talip ini.
Deportasi dari negara Muslim
Sekitar 2 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya diduga ditahan dalam kamp-kamp penahanan di Xinjiang, berdasarkan data Departemen Luar Negeri AS. China berdalih kamp penahanan ini sebagai pusat pelatihan keterampilan untuk memerangi ekstremisme.
Namun para mantan tahanan dan aktivis menyebut kamp ini sebagai “kamp konsetrasi” di mana China melakukan indoktrinasi, dipaksa belajar bahasa Mandarin, dan menyebarkan propaganda partai Komunis. Bahkan banyak juga pengakuan penyiksaan dan KB paksa yang dialami para tahanan.
Departemen Luar Negeri AS menuduh China melakukan ‘genosida’ terhadap warga Uighur.
Selama bertahun-tahun, orang Uighur di luar negeri mengungkapkan keluarga mereka yang hilang di Xinjiang. Keluarga-keluarga dipisahkan, dan banyak anak-anak tumbuh sebagai yatim, tanpa kontak dari orang tua mereka.
Seorang aktivis Uighur yang berbasis di Oslo, Abduweli Ayup mengatakan dia telah mendokumentasikan dan mengonfirmasi sedikitnya 28 warga Uighur dideportasi dari tiga negara mayoritas Muslim antara 2017 dan 2019: 21 dari Mesir, lima dari Arab Saudi, dan dua, termasuk Ahmad Talip, dari UEA.
Tapi Ayup takut ini hanyalah puncak gunung es. Sangat sering, ujarnya, anggota keluarga takut mengumumkan soal deportasi jika itu membahayakan keselamatan orang-orang tercinta mereka yang telah lama hilang, serta anggota keluarga lainnya di Xinjiang.
China memiliki hubungan yang semakin kuat dengan Arab Saudi dan Iran. Negara-negara Timur Tengah yang mengalami kesulitan keuangan, seperti Libanon, mungkin akan sulit menolak tawaran dari China. Demikian pula, negara-negara Teluk Arab yang kaya minyak yang menghadapi kemerosotan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi juga memandang China sebagai kemungkinan penyelamat keuangan.
Dalam surat terbuka 2019, belasan negara mayoritas Muslim – termasuk UEA, Iran, Mesir, dan Arab Saudi – secara terbuka mendukung kebijakan China di Xinjiang. Mereka termasuk di antara 37 penandatangan yang menanggapi kritik Barat terhadap China di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Setelah kunjungan ke Xinjiang pada 2020, duta besar UEA untuk Beijing secara terbuka memuji kebijakan China di provinsi tersebut. Dalam sebuah wawancara dengan media pemerintah China Februari ini, Ali al-Dhaheri mengatakan hal yang membuatnya terkesan selama kunjungan itu adalah "rencana dan visi positif untuk Xinjiang -- China ingin kawasan itu berperan aktif dalam Ekonomi China, memberikan stabilitas, meningkatkan standar hidup, dan meningkatkan kehidupan masyarakat di kawasan itu."
Bagi Maya Wang, peneliti senior China di Human Rights Watch, dugaan perlakuan pemerintah UEA, Arab Saudi, dan Mesir terhadap warga Uighur tidak mengejutkan -- meskipun negara-negara tersebut menandatangani Konvensi PBB Menentang Penyiksaan.
"Banyak dari pemerintah ini tidak peduli dengan hak asasi manusia," katanya kepada CNN.
Menghilang di Mesir
Maryam Muhammad (29) merahasiakan keberadaan suaminya dari anak-anaknya. Dia menceritakan kepada anak-anaknya bahwa ayah mereka, Muhtar Rozi, bekerja di luar negeri. Muhtar telah menghilang hampir empat tahun.
Dua putranya, Salaheddiin dan Alaeddin jarang menanyakan ayahnya. Mereka baru berusia 18 bulan dan lima bulan ketika ayahnya menghilang.
Maryam terakhir kali mendengar kabar suaminya pada 16 Juli 2017, ketika dia mengirim SMS mengabarkan dia ditangkap. Muhtar merupakan satu dari puluhan Uighur yang ditangkap pasukan keamanan Mesir yang diyakini atas perintah pemerintah China.
Menurut Human Rights Watch, sedikitnya 62 warga Uighur ditanhkap dalam serangkaian penggerebekan pada Juli 2017 di restoran dan supermarket yang terkenal dengan kelompok etnis tersebut, termasuk di rumah-rumah mereka. Banyak dari mereka yang ditangkap merupakan mahasiswa Universitas Al-Azhar.
“Saya capek berusaha menjadi kuat,” kata Maryam, menyeka air matanya.
“Saya tahu saya harus berusaha kuat karena anak-anak saya, karena suami saya.”
China dan Mesir belum mengakui secara resmi dugaan deportasi itu, yang terjadi kurang dari setahun setelah kedua negara menandatangani perjanjian kerjasama keamanan dan kurang dari tiga pekan setelah Kementerian Dalam Negeri Mesir dan Kementerian Keamanan Publik China menandatangani “dokumen kerjasama teknis”.
Baik pemerintah China maupun Mesir tidak menanggapi permintaan komentar CNN terkait hal ini.
Sebelumnya pada tahun 2017 itu, China telah meminta semua mahasiswa Uighur yang belajar di luar negeri kembali ke negaranya, menurut Human Rights Watch.
Maryam mengatakan keluarganya memiliki semua dokumen untuk membuktikan legalitas status mereka di Mesir.
“Kami punya paspor. Kami punya kartu residensi (Mesir) dan kami juga punya izin dari Kedutaan Besar China di Mesir untuk masuk universitas,” ujarnya.
Dia menunjukkan dokumen-dokumen tersebut kepada CNN, mengonfirmasi status legal keluarganya dan surat nikah yang diterbitkan Kedutaan China di Kairo.
Saat kabar penggeberakan menyebar pada Juli 2017, keluarga Maryam bersembunyi, menentukan rencana untuk keluar dari Mesir. Maryam dan anak-anaknya akan terbang ke Istanbul, tapi karena mereka yakin Muhtar lebih mungkin untuk ditangkap, dia akan menggunakan kapal ke Yordania, berharap bisa menjauh dari pengawasan negara.
Tapi dalam SMS terakhir ke istrinya, Muhtar mengabarkan dia ditangkap di pelabuhan Nuwaiba, Mesir.
Dia mencari suaminya dengan putus asa, bahkan terbang kembali ke Mesir dan menyewa seorang pengacara. Tapi polisi mengatakan mereka tidak memiliki catatan terkait suaminya.
“Sepertinya suami saya telah menjadi udara,” ujarnya.
Menghilang saat umrah
Sekelompok kecil warga Uighur berdiri bungkam di tengah salju di luar konsulat Arab Saudi di Istanbum. Nuriman Veli memimpin kelompok itu. Dia memegang plakat berisi pesan kepada otoritas Saudi: “Jangan deportasi ayahku ke China, kirim dia ke Turki di mana dia seorang warga,”
Ayahnya, Hamdullah Abduweli, ditangkap di Saudi saat umrah di Makkah dan Madinah. Hamdullah belum dideportasi, dan Nuriman dan saudara perempuannya berpacu dengan waktu, takut kehilangan orang tuanya lagi.
Lebih dari empat tahun lalu, mereka kehilangan kontak dengan ibu mereka di Xinjiang.
“Jika kami kehilangan ayah kami, itu akan menghancurkan kami,” ujarnya.
Pandemi membuat Saudi menutup bandaranya saat Hamdullah sedang melaksanakan umrah, membuatnya terjebak di negara kerajaan itu.
Pada Oktober, dia menceritakan kepada keluarganya dia curiga dia diburu oleh “agen China”. Sebulan kemudian, Hamdullah dan teman sekamarnya yang juga warga Uighur ditangkap otoritas Saudi. Walaupun seruan pembebasannya disampaikan Human Rights Watch dan lainnya, kabar keduanya belum terdengar sejak saat itu.
Hamdullah adalah orang Uighur kedua yang dilaporkan ditangkap saat melaksanakan umrah di Makkah. Pada Juli 2018, Osman Ahmed juga diduga ditangkap otoritas Saudi saat umrah. Setelah tiga bulan mencari keberadaan Osman Ahmed, keluarganya di Turki diberi kabar oleh seorang kerabat di Saudi bahwa dia menerima kabar keberadaan Osman dari otoritas Saudi.
“Mereka mengatakan kepadanya: ‘Kami mengirimnya kembali ke mana pun dia berasal,’” kata putri Osman Ahmad, Ilminur Osman kepada CNN.
Keluarga itu belum bisa mengonfirmasi nasib Osman, tapi mereka mendengar dari orang di Xinjiang, Osman terlihat di salah satu kamp interniran di wilayah itu.
CNN telah menghubungi pemerintah Saudi untuk dimintai komentar terkait dua kasus ini tapi tidak ada tanggapan.
“Arab Saudi memalukan. Jika mereka tidak ingin orang Uighur datang untuk umrah tinggal kayakan: ‘Kami tidak ingin kalian di sini,’” kata aktivis Ayup kepada CNN.
“Jangan lakukan ini saat orang datang untuk beribadah.”
“Negara-negara ini membanggakan diri mereka karena menjadi pemimpin dunia Islam, tapi mereka tidak menutup mata ketika mengembalikan orang-orang untuk dipersekusi karena menjadi Muslim,” kata Wang.
"Ini cukup keterlaluan dan saya pikir itu munafik, tapi itu menggambarkan realitas geopolitik."
Hubungan China-Turki
Bahkan di negara-negara Muslim yang secara tradisional dipandang sebagai tempat aman bagi Muslim Uighur, keadaannya mulai bergeser.
Selama dekade terakhir, ribuan orang Uighur tmenetap di Turki, dengan lingkungan dan sekolah Uighur bermunculan di kota-kota besar negara itu.
Selain berbagi agama dengan mayoritas penduduk Turki, Uighur — kelompok etnis Turki — juga berbicara dalam bahasa yang sama.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan - yang pernah memperjuangkan hak-hak Uighur - telah mengurangi kritiknya terhadap kebijakan Xinjiang China, dalam upaya nyata untuk meningkatkan hubungan dengan Beijing.
Sebuah perjanjian ekstradisi antara kedua negara, yang diratifikasi akhir tahun lalu oleh China dan sekarang menunggu persetujuan Parlemen Turki, memperburuk kekhawatiran. Pejabat Turki berusaha meyakinkan warga Uighur, serta masyarakat Turki, bahwa mereka tidak akan mengekstradisi warga Uighur kembali ke China.
“Tidak benar menafsirkan ini Turki akan menyerahkan orang-orang Turki Uighur ke China,” kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu Desember lalu, menambahkan Beijing telah mengajukan permintaan di masa lalu, tetapi Turki tidak memenuhinya.
Tetapi setidaknya empat orang Uighur, termasuk seorang ibu dan dua anaknya, dideportasi Turki ke Tajikistan tahun lalu, menurut aktivis Abduweli Ayup. Dia mengatakan banyak kesaksian menunjukkan mereka akhirnya berakhir di China.
September lalu, Direktorat Jenderal Manajemen Migrasi Turki membantah bahwa Turki telah mengekstradisi warga Uighur ke China.
"Kami tidak secara langsung, atau melalui negara ketiga, mendeportasi orang Turki Uighur ke China dan Turki tidak dan tidak akan pernah memiliki kebijakan seperti itu," kata direktorat itu dalam sebuah pernyataan tertulis.
Tetapi pernyataan resmi seperti ini tidak cukup meredakan kekhawatiran warga Uighur.
Sebuah apartemen kecil di Istanbul adalah satu-satunya rumah yang pernah dikenal oleh Amina, putri Amannisa yang berusia 3 tahun. Saat dia mengikuti perkembangan di Turki, Amannisa sangat mengkhawatirkan keadaannya dan anak-anaknya.
Beberapa pekan setelah dia tiba di Istanbul, dia berjalan kaki melintasi kota, menanyakan arah menuju laut kepada orang yang lewat. Dia mengatakan ingin membawa anak-anaknya untuk menikmati pemandangan, tetapi niat sebenarnya mengungkapkan dalamnya putus asa yang dia rasakan.
"Yang ingin saya lakukan adalah saya ingin masuk ke dalam, dengan anak saya, karena saya tidak bisa berenang," kata Amannisa.
"Saya tidak punya hak untuk hidup (di) dunia ini. Mungkin dunia ini tidak cukup besar untuk membiarkan saya hidup seperti orang lain."
(mdk/pan)