Pesawatnya Jatuh di Hutan Amazon, 36 Hari Dia Belajar Bertahan Hidup dari Monyet
Dia hanya punya waktu lima menit, menurut perhitungannya, sebelum pesawatnya menghantam tanah dengan muatan kargo yang mudah terbakar: 160 galon bahan bakar solar.
Pilot pesawat itu berada di ketinggian 3.000 kaki di atas belantara Amazon. Pesawat yang dipilotinya hanya sebuah kapal terbang kecil berbaling-baling dan bermesin tunggal. Dia hendak menjalankan tugas pertamanya menuju kedalaman hutan belantara tempat penambangan liar ketika mesin pesawatnya mati.
Sang pilot menarik napas dalam-dalam dan mengamati hamparan hijau pohon-pohon di bawahnya. Dia hanya punya waktu lima menit, menurut perhitungannya, sebelum pesawatnya menghantam tanah dengan muatan kargo yang mudah terbakar: 160 galon bahan bakar solar.
-
Dimana balap liar ini terjadi? Aksi pembubaran balap liar ini terjadi di Jalan Sudirman, Kudus, Jawa Tengah.
-
Bagaimana Pohon Pelawan menjadi penghasil madu liar? Selain dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas manusia, pohon ini rupanya juga menjadi rumah atau sarang lebah liar sehingga menjadi penghasil madu lebah liar yang memiliki cita rasa pahit.
-
Mengapa warga Sampangan panik dengan kucing liar? Warga menduga bahwa kucing liar itu terkena rabies.
-
Di mana henbane hitam ditemukan tumbuh liar? Sisa-sisanya umum ditemukan di situs arkeologi di Eropa Barat Laut karena tumbuh liar di dekat pemukiman manusia, sehingga sulit untuk menentukan apakah itu sengaja digunakan.
-
Bagaimana cara mengatasi gigitan kucing liar? Jika Anda tiba-tiba digigit kucing liar yang kemudian timbul luka, pertolongan pertama yang perlu dlakukan adalah menghentikan pendarahan. Setelah perdarahan berhenti keluar di area gigitan, selanjutnya bersihkan luka dengan sabun dan air, serta oleskan salep antibiotik dan perban pada gigitan. Setelah melakukan pertolongan pertama, Anda bisa mengecek kondisi ke dokter untuk mengetahui apakah luka tersebut berisiko menimbulkan komplikasi lain.
-
Bagaimana cara warga Sampangan mengatasi kucing liar? Warga yang khawatir kemudian menghubungi Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) untuk membantu mengevakuasi hewan tersebut.
Si pilot melaporkan kondisinya lewat radio kepada siapa pun di luar sana yang mungkin mendengar sinyalnya. Dia baru separuh perjalanan menuju lokasi tambang yang dikenal dengan nama California.
Ketika pesawatnya mulai menurun, Antonio Sena memperhatikan sebuah lembah landai dipenuhi pohon palem.
"Itu dia!" teriaknya dalam hati. "Pohon palem berarti di sana ada air, mungkin sungai."
Sejak menjadi pilot sembilan tahun lalu, Sena sudah sering mendengar cerita tentang pesawat jatuh. Tapi ketika pesawatnya kian menurun dan menghantam pepohonan sampai terhempas jatuh ke tanah, Sena menyadari satu hal yang melegakan: dia masih hidup.
Sena lantas meraih pisau sakunya, sebuah senter, dan korek api serta sebuah ponsel yang baterainya mulai soak. Dengan susah payah dia meninggalkan lokasi tempat dia jatuh. Selanjutnya dia mencari tempat yang menurutnya aman untuk menunggu bantuan datang. Yang ditunggu rupanya tak pernah datang.
Dia makin lama menunggu.
Wawancara kerja sepekan lalu lewat sambungan telepon masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dia lalu berkemah di dekat pesawatnya yang jatuh, Cessna 210L berusia 48 tahun, dengan harapan agar dia mudah ditemukan tim penyelamat. Dan sejumlah pesawat kemudian memang mencarinya selama beberapa hari.
"Mereka terbang berputar-putar di atas saya, tapi mereka tidak melihat saya," kenang Sena.
Dia sudah melambai-melambai dan berteriak sekuat tenaga tapi sia-sia.
Putus asa dengan peluang untuk diselamatkan, Sena akhirnya berangkat melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 27 kilometer melewati belantara gelap, rumah bagi beragam harimau jaguar, serangga mematikan dan anaconda.
Pertolongan tidak datang dari langit
Tiga puluh enam hari kemudian, pada 6 Maret, dia muncul ke publik dan menceritakan pengalamannya. Sebuah kisah inspiratif yang mengangkat harapan rakyat Brasil di tengah hantaman pandemi Covid-19.
Kisahnya juga menyoroti permasalahan industri tambang ilegal di Brasil yang kian meluas dalam beberapa dasawarsa terakhir di wilayah suku asli Amazon dan kawasan lain yang juga harusnya jadi hutan lindung.
Penambangan ilegal yang dia tuju berada di daerah cagar alam Maicuru, tempat aktivitas manusia dilarang kecuali kegiatan untuk melindungi habitat flora dan fauna.
Musibah bagi Sena berawal dari 28 Januari di Negara Bagian Para ketika dia ditugaskan mengantarkan bahan bakar solar bagi para penambang di daerah pedalaman tempat mereka membuat landasan pacu sementara.
Itu hanya pekerjaan sampingan, kata Sena. Terbang di masa pandemi menjadi semakin menakutkan dan bar kecil yang dia kelola di kota asalnya, Santarem, hanya memberi pemasukan kecil.
"Saya harus mengabaikan standar saya sendiri untuk melalui masa yang sulit ini," kata dia seraya mengakui kondisi kerjanya yang sebetulnya tidak aman.
"Saya tidak mau terbang untuk penambangan liar lagi."
Ketika pesawatnya sudah jatuh, Sena baru menyadari, pertolongan tidak akan datang dari langit. Pria 36 tahun itu pun mulai berjalan kaki.
Dia menyalakan ponselnya yang sekarat buat terakhir kalinya dan membuka aplikasi penentu lokasi untuk melihat peta dan akhirnya memutuskan berjalan ke arah Sungai Paru, sekitar 96 kilometer jauhnya. Itu adalah lokasi terdekat yang dia tahu berpenghuni.
Berhari-hari Sena berjalan hanya di pagi hari, mengandalkan posisi matahari menuju timur ke arah sungai. Setelah menyibak kerimbunan hutan, menerobos rawa dan dedaunan besar berjam-jam, dia berhenti di sore hari untuk membuat tempat berkemah menggunakan daun palem dan ranting-ranting pohon agar bisa berteduh dari hujan.
Sena tahu hewan predator biasanya berburu mangsa di dekat air, tempat biasa hewan buruan berkumpul. Jadi dia bermalam di perbukitan. Tapi dia kerap dikepung oleh segerombol monyet laba-laba, jenis monyet Amerika Selatan berekor panjang, yang ingin menghancurkan kemah kecilnya.
"Mereka sangat serakah," kata Sena. "Saya tidak mau lagi ketemu mereka."
Tapi monyet-monyet itu rupanya jadi berkah: setelah melihat mereka makan buah kecil berwarna pink bernama breu, Sena menganggap buah itu aman untuk dimakan manusia dan dari buah itulah Sena mampu bertahan hidup. Selain buah itu, Sena hanya makan tiga butir telur berwarna biru dari burung inambu, lain tidak.
Gergaji mesin
Suatu sore setelah empat minggu dari pesawatnya jatuh, Sena sudah tiga hari tidak makan, dia berjalan lemah dan tiba-tiba suara berisik membuat dia berhenti: gergaji mesin!
Sena girang bukan kepalang, dia hampir histeris, katanya, tapi dia memutuskan lebih baik bermalam dulu. Dia khawatir akan tersesat jika mencoba mencari tahu lokasi gergaji mesin itu saat langit mulai gelap.
"Oh Tuhan, tolong bunyikan lagi suara gergaji mesin itu," kata dia dalam doanya sebelum tidur.
Keesokan paginya dia mendengar suara itu lagi tapi hanya sebentar. Sena terus berjalan ke arah timur, menuju sungai. Sore itu dia melihat ada kain terpal dan seorang pria sedang menumbuk kacang di samping terpal itu.
Sena menemukan lokasi perkemahan para pencari kacang di Brasil.
Kelompok pencari kacang itu dipimpin oleh Maria Jorge dos Santos Tavares, 67 tahun. Dia dan teman-temannya sudah tiga tahun tidak mencari kacang di bagian hutan itu.
Suami Santos Tavares meninggal karena pandemi dan di saat keluarganya berduka, utang mereka menumpuk. Akibat tekanan ekonomi mereka mulai kembali masuk hutan lebih dalam mencari kacang.
Ketika Santos Tavares bertemu dengan Sena, Sena terlihat kurus dengan berat hanya 24 kilogram. Sena kemudian ditolong oleh Santos Tavares. Sebelum Sena bisa menelepon putrinya, Mirian, dia diberi makan dan tempat berteduh oleh Santos Tavares.
©Antonio Sena
Awalnya Mirian mengatakan dia kesulitan meyakinkan keluarga bahwa Sena masih hidup. Mirian menceritakan bagaimana kondisi keluarganya.
"Kami kehilangan anggota keluarga lalu mendapatkannya lagi," kata Mirian kepada keluarganya. "Mungkin begitulah rahasia Tuhan."
Setelah mengantarkan Sena berangkat naik helikopter polisi, Santos Tavares kembali masuk hutan dan akan menghabiskan waktu sebulan ke depan untuk mengumpulkan kacang.
Sena mengenang pengalamannya dan merasakan dirinya makin menghargai hutan Amazon yang kini setiap hari dijarah oleh para penambang liar.
"Kalau saja saya jatuh di perkebunan yang terlantar, saya tidak akan mendapatkan air, tempat berteduh atau sesuatu untuk dimakan," kata Sena. "Amazon sungguh sangat kaya."
(mdk/pan)