TPF Uni Eropa anggap Malta tak serius usut pembunuhan pewarta
Dari fakta didapat di lapangan seluruh lembaga penegak hukum seolah enggan membongkar kasus pembunuhan Galizia, dan pelakunya tak bisa diseret ke meja hijau (impunitas).
Konflik kepentingan nampaknya sangat terasa dalam pengusutan pembunuhan pewarta perempuan asal Malta, Daphne Caruana Galizia. Bahkan, menurut tim pencari fakta dari Parlemen Uni Eropa, aparat penegak hukum di Malta seperti ogah-ogahan menyelidiki perkara itu dan terkesan hendak menutupi.
Hal itu terungkap dari pengakuan sejumlah anggota tim pencari fakta diutus oleh Parlemen Eropa ke Malta. Menurut mereka, dari fakta didapat di lapangan seluruh lembaga penegak hukum seolah enggan membongkar kasus pembunuhan Galizia, dan pelakunya tak bisa diseret ke meja hijau (impunitas).
Ada dua anggota Parlemen Uni Eropa dari negara berbeda diutus sebagai tim pencari fakta ke Malta. Mereka adalah Ana Gomes dari Portugal, dan Sven Giegold dari Jerman. Keduanya mengaku seperti berhadapan dengan tembok, ketika berurusan dengan lembaga eksekutif dan yudikatif Malta buat mencari tahu sejauh mana penyelidikan kasus pembunuhan Galizia berjalan.
Menurut Ana, sejumlah pejabat pemerintah Malta yang dia wawancara seputar kasus Galizia menolak menjawab pertanyaan diajukan. Malah, lanjut dia, Perdana Menteri Malta, Joseph Muscat, melalui juru bicaranya, Keith Schembri, cuma menanggapi pertanyaannya dengan secarik pernyataan pers. Sejumlah petinggi negara lainnya malah tidak mau ditemui.
Sedangkan bagi Giegold, setelah dia berdiskusi dengan pejabat Malta, anggota dewan, hingga para pewarta dan pegiat hak asasi, dia mencapai kesimpulan tidak ada niat baik dari kepolisian dan kejaksaan di negara itu buat membongkar kasus pembunuhan Galizia, atau pun dugaan korupsi serta pencucian uang dilakukan para petinggi yang diulas oleh mendiang dalam sejumlah tulisannya.
"Terlihat kalau akar permasalahan sistem hukum di Malta ada di undang-undang," kata Giegold.
Menurut Giegold, penyebab mandulnya penegakan hukum di Malta adalah kentalnya konflik kepentingan penguasa. Sebab, perdana menteri berhak memilih seluruh pejabat tinggi, termasuk lembaga yudikatif, mengakibatkan ada ketergantungan dan kecenderungan buat saling melindungi dan menutupi.
Karena geram dengan temuan itu, Ana dan Giegold mencantumkan dalam laporannya kalau Uni Eropa harus mengaudit sistem hukum anggotanya, termasuk Malta.
Beberapa waktu lalu, keluarga mendiang menggugat Kepala Kepolisian Malta karena dianggap tidak serius menyelidiki perkara itu, dan tercium ada campur tangan penguasa buat menghambat pengusutan.
Menurut kuasa hukum keluarga mendiang Caruana Galizia, gugatan itu dilayangkan karena mengetahui kalau Wakil Komisioner Kepolisian Malta, Silvio Valetta, ikut campur dalam proses penyelidikan. Mereka sudah meminta supaya dia diberi tugas lain dalam jangka waktu tiga hari. Karena tidak digubris, mereka lantas mendaftarkan gugatan ke pengadilan setempat.
Yang menjadi kekhawatiran keluarga mendiang adalah adanya intervensi dari penguasa dalam proses penyelidikan pembunuhan Caruana Galizia. Sebab, Valetta adalah suami dari salah satu menteri di Pulau Gozo, Justyne Caruana. Justyne ditunjuk langsung Perdana Menteri Joseph Muscat buat mengisi jabatan itu. Sedangkan Joseph adalah orang yang menjadi obyek dalam artikel ditulis mendiang Caruana Galizia, karena dia dan istrinya, Michelle, diduga menyembunyikan kekayaan di Panama melalui perusahaan cangkang. Nama istrinya muncul dalam Dokumen Panama (Panama Papers) yang turut diulas oleh Caruana Galizia sebelum meninggal.
"Keterlibatan Wakil Komisioner Polisi Silvio Valetta melanggar prinsip independensi dan imparsialitas dalam penyelidikan," demikian pernyataan disampaikan oleh keluarga mendiang Caruana Galizia dalam memori gugatan, seperti dilansir dari laman The Guardian, beberapa waktu lalu.
Keluarga mendiang Caruana Galizia juga menuding kepolisian selalu menyembunyikan perkembangan penyelidikan. Mereka melihat kerja polisi terlalu bertumpu kepada bukti-bukti forensik, ketimbang laporan transaksi keuangan para pejabat yang kemungkinan besar bisa memberi petunjuk siapa otak di balik pembunuhan itu. Ada juga dugaan kalau polisi bisa mengancam saksi kunci hendak memberikan kesaksian penting. Sebab menurut kabar, polisi berhasil menemukan ponsel Caruana Galizia dari tempat kejadian perkara.
Selama 20 tahun menjadi polisi, Valetta bertugas di sejumlah unit berbeda. Mulai dari penyidik kriminal umum, narkoba, antiteror, hingga tindak pidana ekonomi khusus. Dia juga menjadi anggota dewan Unit Intelijen dan Analisa Keuangan (FIAU) Malta. Namun, lembaga didirikan buat memerangi pencucian uang dianggap tumpul dan juga sempat menjadi obyek dalam tulisan Caruana Galizia.
Pada 2003, Valetta menikah dengan Justyne yang saat itu masih menjadi anggota parlemen. Justyne menyangkal kalau dia mempengaruhi suaminya buat ikut campur apalgi mengaburkan proses penyelidikan pembunuhan Caruana Galizia. Dia mengklaim kalau mereka memisahkan urusan pekerjaan dari persoalan pribadi dan rumah tangga.
"Suami saya bekerja di lembaga berbeda, dan dia setia kepada kepolisian dan negara," kata Justyne.
Pemerintah Malta beberapa waktu lalu sempat menggelar sayembara dengan imbalan EUR 1 juta (sekitar hampir Rp 16 miliar) bagi siapapun mengetahui pembunuh Caruana Galizia. Meski demikian, hingga saat ini belum ada kemajuan dalam proses penyelidikan.
Dalam satu dasawarsa terakhir sudah terjadi 15 aksi pemboman diduga dilakukan oleh kelompok kejahatan mafia di Malta. Dari semuanya, belum ada satu pun yang terpecahkan hingga detik ini. Hal ini menimbulkan tanda tanya apakah pemerintah setempat serius buat mengungkap pembunuhan terhadap Galizia atau sekedar janji buat melegakan hati keluarga mendiang.
Keluarga mendiang Galizia juga menolak menerima uang santunan sebesar EUR 1 juta (sekitar Rp 16 miliar) dari negara. Mereka menuntut supaya aparat keamanan setempat membongkar siapa dalang di balik insiden itu.
Tiga anak Galizia, yaitu Andrew, Matthew, dan Paul, mendesak supaya Joseph Muscat mundur dari jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab politik. Mereka mengaku merasa dipaksa negara menerima uang santunan itu.
Caruana Galizia tewas dalam ledakan bom dipasang di mobil disewa, tidak jauh dari rumahnya di Bidnija, Mosta, pada 16 Oktober lalu.
Menurut sumber di Kepolisian Malta, diduga kuat pelaku memasang bom plastik Semtex buatan Israel di mobil Galizia. Namun, sampai saat ini belum diketahui siapa pelakunya.
Menurut salah satu anak Galizia, Matthew Caruana Galizia, dia melihat mobil ibunya meledak dan melintir di udara, kemudian jatuh. Matthew langsung berlari ke arah mobil ibunya yang masih terbakar dan klaksonnya menyalak, kemudian berusaha membuka pintunya. Dia meminta bantuan kepada dua polisi yang datang tidak lama kemudian buat memadamkan api.
"Mereka memandang saya dan mengatakan, 'tidak ada yang bisa kami lakukan'. Saya lalu melihat sekeliling, dan bagian tubuh ibu saya berserakan," kata Matthew yang mengikuti jejak sang ibu menjadi pewarta.
Matthew meyakini ibunya dibunuh karena pendiriannya teguh memerangi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Apalagi menurut dia ibunya tidak memihak kepada kelompok politik manapun. Dia menuding pejabat dan penegak hukum Malta menyuburkan budaya kebal hukum. Sebab, dugaan korupsi membelit para petinggi negara seolah mudah menguap. Apalagi lembaga keuangan Malta dikenal abai soal asal-usul uang simpanan dan menjadi surga bagi penggelap pajak dan pencucian uang. Dia berharap dengan kejadian ini membikin mata rakyat Malta terbuka dan membawa perubahan.
"Jika seluruh lembaga bekerja, maka tidak perlu ada kasus pembunuhan yang diusut. Dan saya beserta adik masih mempunyai ibu," ujar Matthew.
Galizia membikin Malta terkejut setelah tahun lalu dia menulis laporan investigasi tentang daftar orang-orang menyembunyikan kekayaan mereka melalui perusahaan fiktif di Panama, dikenal dengan Panama Papers. Isinya menyebut istri Perdana Menteri Joseph Muscat diduga memiliki perusahaan cangkang di Panama, Egrant, buat menampung uang kiriman dari anak perempuan Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev. Azerbaijan memang terikat kontrak memasok gas ke Malta.
Muscat dan istrinya membantah memiliki perusahaan cangkang. Mereka juga menggugat Galizia karena tulisannya. Muscat menyangkal kalau negaranya dianggap sebagai surga pencucian uang dan penggelapan pajak. Namun, Muscat mengakui kalau dia menganggap Galizia adalah musuh besarnya karena hasil laporannya soal Panama Papers.
Bisnis gim daring dan jasa keuangan belakangan ini sedang naik daun di Malta. Hal itu justru menarik perhatian organisasi kejahatan Italia, Mafia. Menurut kejaksaan Italia, mereka sudah memperingatkan Malta kalau sindikat mafia mencuci duit mereka menggunakan jasa keuangan di Malta. Bahkan, kelompok mafia Camorra beroperasi di Naples disebut sudah merambah bisnis gim daring di Italia dan sejumlah negara lain, termasuk Malta.