Benarkah Ada Harta Karun Tentara Jepang di Gunung Semeru?
Kematian seorang tokoh aktivis mahasiswa 1966 di sebuah puncak gunung, dikaitkan dengan keberadaan harta terpendam berjumlah triliunan rupiah.
Kematian seorang tokoh aktivis mahasiswa 1966 di sebuah puncak gunung, dikaitkan dengan keberadaan harta terpendam berjumlah triliunan rupiah.
Penulis: Hendi Jo
-
Di mana Soe Hok Gie meninggal? Detik-detik meninggalnya Soe Hok Gie terjadi pada tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur.
-
Bagaimana Soe Hok Gie memperlihatkan minatnya di bidang sastra dan sejarah? Di sana, ia mulai menunjukkan minatnya pada bidang sastra dan sejarah, serta mengembangkan sikap kritis dan oposisional terhadap pemerintahan Soekarno.
-
Mengapa Soe Hok Gie sangat kritis terhadap pemerintahan Soekarno? Ia dikenal sebagai orang yang paling vokal mengkritik kinerja pemerintahan era Soekarno, yang menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin yang dianggap sebagai kemunafikan dan kepicikan.
-
Kapan Soe Hok Gie meninggal dunia? Detik-detik meninggalnya Soe Hok Gie terjadi pada tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru, Jawa Timur.
-
Bagaimana Soeharto menghadapi serangan hoaks? Soeharto menganggap, pemberitaan hoaks yang menyerang dirinya dan keluarganya sebagai ujian. "Tapi tidak apa-apa, ini saya gunakan sebagai suatu ujian sampai di mana menghadapi semua isu-isu yang negatif tersebut. Sampai suatu isu tersebut sebetulnya sudah merupakan penfitnahan," ungkap Soeharto. Meski sering diserang hoaks, Presiden Soeharto memilih berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ditambah dengan senyum dan canda tawa.
-
Apa yang Soeharto katakan tentang berita hoaks yang mengarah ke Tapos? Memberitakan dengan tujuan negatif, karena mereka tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dari Tapos ini," jelas Soeharto dikutip dari akun Instagram @jejaksoeharto. Karena memikirkan ini peternakan dari Presiden, padahal bukan peternakan Presiden, ini sebenarnya punya anak-anak saya yang saya mbonceng untuk mengadakan riset dan penelitian," kata Soeharto menambahkan.
Syahdan, ketika gugur di Puncak Mahameru bersama koleganya Idan Lubis pada 16 Desember 1969, Soe Hok Gie tengah memegang sebuah peta misterius yang mengarah ke sebuah gua. Disebutkan gua tersebut menyimpan harta karun peninggalan tentara Jepang. Jika dikalkulasikan ke dalam rupiah, berjumlah puluhan triliun.
Diam-diam peta yang dikatakan didapat Soe saat berkunjung ke Jepang itu diambil oleh pimpinan SAR penyelamatan jenazah Soe dan Idan. Entah bagaimana kelanjutan ceritanya, yang jelas peta tersebut kemudian jatuh ke tangan sekelompok orang.
Kisah di atas, sejatinya sudah didengar oleh Rudy Badil sejak lama. Namun jurnalis senior Kompas dan sekaligus kawan akrab Soe Hok Gie itu hanya menganggapnya omong kosong semata. Dia tahu, sahabat karibnya itu orang terkenal yang tak akan lepas dari isu dan rumor.
"Ya jelas gue kagak percaya. Sejak kapan si Soe pergi ke Jepang?" ungkapnya dalam sebuah obrolan di tahun 2018, setahun sebelum dia meninggal dunia.
Harta Karun Rp82 Triliun
Badil terkejut ketika pada suatu hari di bulan Agustus 2000, seseorang dari Jawa Timur menelepon dirinya. Dia memperkenalkan diri sebagai wakil dari sebuah perusahaan ternama di Surabaya. Dia menawari Badil sebuah pekerjaan besar. Proyek pencarian harta karun peninggalan tentara Jepang senilai Rp82,62 triliun.
"Mereka bilang memerlukan gue sebagai konsultan. Kerjanya cuma masuk hutan sesuai arahan peta, lalu menafsirkan isi kalimat proposal dan meriset data kepustakaan guna mendukung mega proyek itu," kenang Badil.
Selidik punya selidik, proyek tersebut ternyata tersangku paut dengan rumor yang melanda sahabatnya. Menurut cerita sang empu pekerjaan, peta yang dibuat oleh seorang komandan tentara Jepang bernama Watanabe itu sudah ada di tangannya.
"Gue lihat sendiri proposalnya yang berjudul 'Mencari Potensi Alam dalam Rangka Menyongsong Otonomi Daerah Melalui Penggalian dan Pemanfaatan Peninggalan Jepang' tertanggal 23 Agustus 2000," ujar penulis sekaligus fotografer itu.
Disebutkan dalam proposal tersebut, berita itu bukanlah sekadar rumor belaka. Ada beberapa nama saksi di sana yang dijelaskan merupakan mantan pekerja romusha dan pegawai di era revolusi. Tentu saja tak ketinggalan Dokumen Watanabe yang katanya telah diterjemahkan oleh Soe Hok Gie menjadi data-data penguat keberadaan harta karun itu.
"Mereka juga bilang, bukti di lapangan juga sudah ada yakni seringnya orang-orang datang ke lokasi untuk melakukan pencarian harta karun dengan cara menggali secara manual," tutur Badil.
Ada Alat Perang
Situasi semakin 'seru' manakala Pemda Provinsi Jawa Timur pada 24 Maret 2000 menyurati jajarannya agar meneliti dan mengecek soal harta karun itu. Mereka rupanya juga mendengar isi harta karun itu yang (katanya) terdiri dari perhiasan emas, emas lantakan, berlian, mutiara dan emas putih yang konon ditempatkan dalam sebuah gua rahasia. Disebutkan pula adanya alat-alat perang (seperti senjata, tank, ranpur dan granat) yang masih tertinggal di sana.
"Makanya kata mereka, bawanya harus hati-hati dan melibatkan militer, karena gua itu juga penuh dengan jebakan berupa ranjau darat dan gas beracun yang dialirkan melalui pipa. Pokoknya kayak di film-film deh," kata Badil sambil tertawa.
Secara pribadi, Badil sendiri tak pernah menganggap serius cerita itu. Selain banyak bohongnya (misalnya soal Soe yang pernah ke Jepang), dia juga tahu pasti bahwa pimpinan SAR yang disebut-sebut sebagai awal dari munculnya cerita itu tak lain adalah Herman O. Lantang, sahabat Badil dan Soe. Ketika Badil memperlihatkan salinan proposal itu kepada Herman, sesepuh Mapala UI itu hanya terbahak.
"Orang banyak yang aneh-aneh saja ya. Pimpinan SAR yang tak pernah ada itu pintar menjual sensasi dan informasi tipu-tipu," ujar Herman seperti dikutip Badil dalam buku Soe Hok Gie Sekali Lagi.