Bung Karno Takut Ditangkap Inggris, Diungsikan ke Cianjur
Dituduh sebagai penjahat perang, Presiden Sukarno sempat menghindar ke pedalaman Cianjur.
Dituduh sebagai penjahat perang, Presiden Sukarno sempat menghindar ke pedalaman Cianjur.
Penulis: Hendi Jo
-
Siapa yang bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta.
-
Bagaimana reaksi Soekarno saat bertemu Kartika? Bung Karno yang mengetahui kedatangan istri dan putrinya, seketika mengulurkan tangan dan seolah-olah ingin mencapai tangan Kartika.
-
Dimana Soekarno diasingkan? Penganan Pelite rupanya juga menjadi kue favorit Bung Karno saat berada dipengasingan di Kota Muntok sekitar tahun 1949.
-
Bagaimana Soekarno mempelajari bahasa Sunda? Inggit didapuk jadi penerjemah Bahasa Sunda masyarakat, dan membantu Soekarno saat kesulitan mengucap Bahasa Sunda.
-
Kapan Ir. Soekarno dan tokoh nasional lainnya diasingkan ke Pesanggrahan Menumbing? Tepat tanggal 22 Desember 1948, Ir. Soekarno, Haji Agus Salim, dan Sutan Syharir dibawa ke Berastagi dan diamankan di Parapat. Sementara itu, Dr. Moh. Hatta, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Moh. Roem dan beberapa tokoh lainnya diamankan di Pesanggrahan Menumbing.
-
Apa yang menjadi alasan perceraian Soekarno dan Oetari? Saat pernikahan mereka berusia sekitar dua tahun, Soekarno pulang ke Surabaya untuk menyatakan keinginannya menceraikan Oetari. Selama pernikahan, Soekarno dan Oetari tidak pernah melakukan hubungan seksual.
Ketika militer Jepang berkuasa di Indonesia (1942-1945), Sukarno sangat terlihat keberpihakannya kepada bala tentara Dai Nippon. Bukan hanya menjalankan kerja sama, dia juga menyuarakan permusuhan kepada pihak Sekutu. Jargon "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis" begitu terkenal dan banyak dikutip media massa.
Situasi itu diam-diam sempat direkam oleh intelijen Sekutu. Bahkan lebih jauh, Belanda yang merupakan bagian dari kekuatan Sekutu pun sangat bernafsu menyingkirkan Sukarno karena dianggap penyemai bibit pemberontakan di Hindia Belanda.
"Pada waktu itu tidak ada yang mengetahui, apakah pengadilan penjahat perang mungkin melibatkan pemimpin utama Indonesia. Dalam hal ini, Sukarno dan Hatta jelas dalam bahaya…" ungkap sejarawan Rudolf Mrazek dalam Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia.
Sukarno sadar akan situasi itu. Dalam otobiografinya yang disusun oleh Cindy Adams, Bung Karno Pejambung Lidah Rakjat Indonesia, dia menyebut suasana Jakarta kala itu penuh dengan bahaya untuk dirinya. Kawan-kawan Sukarno bahkan berpikir ada kemungkinan sang Presiden akan meringkuk lagi di penjara, minimal selama belasan tahun.
"Orang-orang Inggris berusaha berkali-kali menangkapku, dengan demikian mereka bisa memaksaku untuk diadili sebagai penjahat perang. Dan (orang-orang) Belanda berusaha berkali-kali langsung membunuhku," ungkap Sukarno.
Kecemasan tersebut sangat beralasan mengingat Sukarno pernah beberapa kali akan dihabisi oleh pasukan KNIL. Terakhir mobil yang biasa ditumpangi olehnya ditabrak oleh sebuah truk militer sehingga menyebabkan sopir pribadinya terluka parah.
"Mereka mengira aku berada di dalam mobil…" ujar Sukarno.
Tidak kuat dengan teror yang terus mendera dirinya dan keluarga kecilnya, Sukarno memutuskan mengungsi ke suatu tempat di luar kota yang jaraknya dari Jakarta memakan waktu berjam-jam. Mereka menghindar ke rumah seorang ahli kebatinan yang dikenal baik dan dipercaya oleh Sukarno. Di manakah itu? Dalam otobiografi-nya, Sukarno tak menyebut secara jelas nama tempat tersebut.
Tempat itu baru disebut jelas dalam buku otobiografi Hasjim Ning yang disusun oleh A.A. Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang. Menurut salah satu pengusaha sekaligus tokoh pemuda Cianjur itu, tempat yang dimaksud tak lain adalah Sukanagara (sekarang Kecamatan Sukanagara), suatu desa berhawa sejuk yang terletak di selatan Cianjur.
Hasjim bercerita pada suatu hari di awal Oktober 1945, dirinya mendapat telepon dari Bupati Cianjur Mohammad Jasin. Dia diminta secepatnya datang ke pendopo kabupaten untuk menemui Menteri Dalam Negeri R.A.A. Wiranatakusumah.
Wiranatakusumah menyampaikan situasi Jakarta yang tidak menentu. Banyak desas-desus yang sulit dilacak kebenarannya, termasuk rumor yang mengatakan bahwa pihak Sekutu akan menangkap Presiden Sukarno dengan alasan dia penjahat perang.
Rapat kabinet lantas memutuskan agar Bung Karno diungsingkan sementara waktu hingga kabinet mendapat kepastian soal status hukum Sukarno di mata Inggris. Maka dipilihlah Cianjur sebagai tempat pengungsian itu.
"Apakah orang-orang Cianjur dapat menjamin keamanan Bung Karno?" tanya Wiranatakusumah. Hasjim Ning langsung menjawab: bisa.
Bung Karno dan keluarganya disepakati akan ditempatkan di Pesantren Al Basyariah di Kampung Cikiruh, Sukanagara yang berjarak 46 km dari Cianjur. Sejatinya, pilihan tempat itu datang dari Sukarno sendiri karena secara pribadi sang presiden sudah lama mengenal baik Ajengan Achmad Basyari, pimpinan pesantren tersebut.
Singkat cerita, dengan diantar Hasjim, pada suatu malam sesudah maghrib, sampailah Bung Karno, Fatmawati dan Guntur di Pesantren Al Basyariah. Mereka ditempatkan di suatu rumah tersendiri dengan dijaga oleh Muntoyo, sopir sekaligus anggota Polisi Istimewa yang menjadi pengawal Bung Karno.
"Sebelum saya kembali ke Cianjur, saya serahkan sepucuk senapan mesin ringan kepada Muntoyo sekaligus secara kilat mengajarkan penggunaannya," ujar Hasjim.
Sedangkan kepada Ajengan Achmad, Hasjim menyerahkan sejumlah uang untuk bekal hidup Bung Karno sekeluarga selama di Sukanagara. Kendati awalnya ditolak, namun Hasjim tak urung bisa menyampaikan uang itu lewat istri Sang Ajengan.
"Uang ini untuk persiapan saja. Siapa tahu Bung Karno akan lama di sini dan akan banyak tamu yang datang," kata Hasjim.
"Baiklah, Nak. Terimakasih," jawab istri Ajengan Basyari.
Waktu berlalu. Beberapa hari kemudian Hasjim Ning ditelepon oleh pamannya, Wakil Presiden Mohammad Hatta. Kepadanya, Hatta mengatakan jika Perdana Menteri Sutan Sjahrir sudah bisa meyakinkan Inggris untuk tidak menangkap Sukarno. Karena itu Hatta berpesan agar segera membawa Sukarno sekeluarga ke Istana Bogor.
Maka berangkatlah Sukarno sekeluarga ke Istana Bogor. Di sana Presiden Sukarno bertemu Hatta dan dua utusan Sutan Sjahrir yakni Soedjatmoko dan Soedarpo Sastrosatomo. Mereka meyakinkan Bung Karno jika situasi sudah kondusif dan Bung Karno tidak perlu lagi menghindari Jakarta lagi.
(mdk/noe)