Kisah Kedekatan Panglima Besar Soedirman dengan Anak Buah
Dalam sejarah Indonesia, Jenderal Soedirman tercatat sebagai seorang panglima besar TNI yang memiliki hubungan dekat dengan para bawahannya.
Dalam sejarah Indonesia, Jenderal Soedirman tercatat sebagai seorang panglima besar TNI yang memiliki hubungan dekat dengan para bawahannya.
Penulis: Hendi Jo
-
Siapa yang meneliti sejarah Sidoarjo? Mengutip artikel berjudul Di Balik Nama Sidoarjo karya Nur Indah Safira (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, 2000), Kabupaten Sidoarjo terkenal dengan sebutan Kota Delta yang merujuk pada sejarah daerah ini yang dulunya dikelilingi lautan.
-
Apa yang dilakukan seniman AI itu pada tokoh-tokoh sejarah? Gambar-gambar tersebut menunjukkan Mahatma Gandhi dalam avatar berotot, Albert Einstein dengan tubuh kekar, dan Rabindranath Tagore memamerkan fisik berototnya.
-
Bagaimana Asisi Suharianto menyajikan kisah-kisah sejarah? Asisi dan sang istri pun mendapatkan pengalaman luar biasa selama keliling dunia. Keduanya bertemu dengan saksi mata maupun para korban perang masa lalu di beberapa negara.
-
Kapan Bendungan Jenderal Soedirman diresmikan? Pada tahun 1989, Bendungan Jenderal Soedirman, juga dikenal sebagai Waduk Mrica, diresmikan oleh Presiden Soeharto.
-
Apa yang pernah dititipkan Soeharto kepada Sudjono Humardani? Ceritanya pada tahun 1967, Sudjono pernah diberi tugas oleh Soeharto untuk meminjam topeng Gadjah Mada yang disimpan di Pura Penopengan Belah Batu Bali.
-
Di mana sejarah terasi dapat ditelusuri? Sejarah terasi di kawasan Cirebon dapat ditelusuri hingga masa kekuasaan Pangeran Cakrabuana, yang memainkan peran penting dalam perkembangan kawasan tersebut.
Panglima Besar Soedirman dikenal sebagai sosok pemimpin kharismatik yang memiliki sikap tegas dan nyaris tak mengenal jalan kompromi. Ketika Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengambil jalan perundingan dalam menghadapi Belanda, Soedirman tetap dengan keyakinannya bahwa Indonesia harus merdeka seratus persen.
“Pak Dirman melihat dalam perjalanan sejarah, Belanda tak pernah memiliki niat baik terhadap kita. Jadi pikirnya, mengapa kita harus berunding dengan pihak yang sebenarnya tak menginginkan Republik Indonesia ada?” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein.
Sikap tersebut tidak hanya diperlihatkan kepada para politisi semata. Kepada anak buah-nya pun, dia selalu memberikan kepastian bahwa dirinya tak akan pernah meninggalkan mereka.
Menurut Tjokropranolo dalam bukunya Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia (Kisah Seorang Pengawal), salah satu faktor Soedirman tak mau mengikuti saran Presiden Sukarno untuk tetap tinggal di Yogyakarta saat terjadi penyerangan militer Belanda, adalah karena solidaritas dia terhadap anak buahnya yang tetap memilih bergerilya di hutan dan gunung.
“Berjuanglah terus! Saya tetap memimpin kamu sekalian. Insya Allah, Tuhan melindungi perjuangan suci,” ujar Soedirman dalam sebuah amanatnya kepada para komandan kesatuan.
Mayor Jenderal (Purn) Rachwono memiliki kenangan tersendiri dengan sikap Soedirman. Syahdan, saat dirinya masih seorang kadet di Sekolah Tentara Divisi VII Untung Suropati Malang pada Maret 1948, dia mendengar Soedirman tengah berada di Kediri. Dia lantas berbicara dengan dua rekannya, Kadet Soeprapto dan Kadet Abdulkadir.
“Bagaimana kalau kita menghadap?!” ujar Rachwono.
“Ayo! Ayo” sambut kedua kawannya hampir serempak.
Soedirman dan Anak Buah Bicara Politik
Dengan hati tidak yakin (karena mereka hanya sekadar kadet) ketiganya lantas melangkah ke kediaman Komandan Resimen Kediri, di mana Soedirman menginap. Di luar dugaan mereka, sore itu Soedirman tidak ada jadwal untuk berkegiatan dan bersedia menerima Rachwono dan kawan-kawannya.
Tanpa merasa diri lebih tinggi pangkatnya, Soedirman lantas berbicara dan diskusi berbagai masalah politik-militer dengan ketiga kadet itu.
Dia juga tanpa tedeng aling-aling menyatakan rasa ketidaksetujuannya jika para pemimpin Republik banyak memberikan konsesi-konsesi politik kepada Belanda.
Soedirman Kesal pada Jenderal Belanda
Salah satu yang dia sebut “konyol” adalah usul Panglima KNIL Letnan Jenderal S.H. Spoor yang menawarkan dibentuknya “gendarmeri” (pasukan gabungan pihak Belanda dan Indonesia) dengan KNIL sebagai pemegang kendalinya.
“Itu sama saja dengan hendak membubarkan TNI dan kalau para politikus menerimanya, apa boleh buat...” kata Soedirman sambil mengeluarkan batang-batang korek api dari dus-nya lalu tangan kanannya memperagakan gerakan menangkapi batang-batang korek api tersebut.
“Siap! Kami mendukung, Pak!” jawab ketiga kadet itu serempak.
Satu setengah jam mereka berdiskusi. Hingga tak terasa senja mendekati malam. Sebelum berpisah, Soedirman lantas mengajak Rachwono, Abdulkadir dan Soeprapto untuk makan malam. Selesai makan malam barulah mereka pulang ke mess-nya masing-masing.
Sampai ke mess, barulah Rachwono merasa aneh sendiri: kok ya berani kroco-kroco kayak mereka menghadap seorang Panglima Besar dan bicara soal politik tingkat tinggi pula, pikirnya.
“Ya tapi itulah Pak Dirman. Dia bukan hanya menganggap para bawahannya sebagai sekadar bawahan namun juga sebagai anak-anaknya. Saya beruntung pernah bicara dan berdiskusi langsung dengan beliau. Suatu pengalaman yang tak jarang didapatkan oleh prajurit-prajurit TNI lainnya,” kenang Rachwono.