Henk Ngantung, bukti pluralisme gubernur DKI Jakarta
Isu SARA ramai digunakan saat Pilgub DKI Jakarta. Padahal sejarah menunjukkan gubernur Jakarta tak selalu mayoritas.
Isu SARA ramai dipakai untuk kampanye kotor pemilihan gubernur DKI Jakarta. Padahal jika berkaca, Gubernur Jakarta tak selalu berasal dari kalangan agama mayoritas. Gubernur Jakarta tahun 1964-1965, Hendrik Hermanus Joel Ngantung, menjadi buktinya.
Presiden Soekarno mengangkat Henk Ngantung menjadi Gubernur DKI Jakarta karena ingin Jakarta menjadi kota yang berbudaya. Henk bukanlah seorang birokrat atau akademisi, dia adalah seorang seniman dan budayawan yang populer saat itu. Bahkan sebelum Indonesia merdeka, Henk Ngantung sudah berpameran lukisan di tempat-tempat bergengsi. Termasuk Hotel Des Indes yang merupakan tempat elite pada masanya.
Henk lahir tahun 1921. Pendidikan formalnya tidak tinggi, karena dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar berkesenian dan melukis secara otodidak. Hal itu dibayarnya dengan prestasi di bidang sketsa dan seni lukis.
Tahun 1960, Soekarno mengangkat Henk menjadi wakil Gubernur DKI Jakarta. Tahun 1964, Henk diangkat menjadi gubernur. Sebagai imbas buruknya perekonomian saat itu, kondisi di Jakarta juga tak bagus. Kemiskinan dan pengemis menjadi pemandangan sehari-hari.
Prestasi Henk yang saat ini masih bisa dilihat adalah membuat sketsa patung yang kini berdiri tegak di Bundaran Hotel Indonesia. Henk juga mengabadikan berbagai peristiwa penting di negeri ini lewat sketsanya.
Sepanjang sejarah Jakarta, mungkin nasib Henk pula yang paling tragis. Dia dicopot dari jabatannya karena dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Henk sempat ditahan tanpa pengadilan. Setelah dicopot, Henk tidak punya harta apa-apa. Dia pindah ke gang sempit di Cawang, Jakarta Timur. Matanya buta karena tidak mendapat pengobatan yang tidak semestinya.
Bahkan saat orde baru berkuasa, pihak Pemprov DKI tak mau memasang foto Henk di deretan foto Gubernur DKI Jakarta. Foto Henk hampir saja diturunkan. Adalah Ali Sadikin yang bersikeras agar foto Henk tetap ditaruh di tempat semestinya. Bang Ali ingin Henk dihormati sebagai seorang gubernur DKI Jakarta. Karena itu fotonya harus tetap dipasang di Balaikota DKI sebagai penghormatan.
Walau tidak secemerlang Bang Ali, Henk mengajarkan warga Jakarta adanya pluralisme. Seorang gubernur dipilih karena punya kemampuan, bukan sebatas isu SARA.