Antara legislator dan aligator
Para legislator periode 2009-14 menjadi aligator darat, kesurupan demit hedonis.
Tidak baik mendirikan, mengobati orang sakit dan lumpuh adalah laknat wuku Julungwangi, dibosin Bethara Sambo, sebagai sumpah serapahnya terhadap tanggal 1/10/2009, Kamis Paing. Pada hari itu, anggota-anggota DPR periode 2009-14 dilantik. Sehari sebelumnya, Rabu Legi, berwuku sama, gempa dahsyat telah mengguncang Padang dan sebagian Sumatera Barat.
Gelagat buruk itu, mengiringi perjalanan kehidupan berlegislatif. Pinisepuh Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), Eyang Sebastian Salang, bilang ihwal rendahnya kualitas dan kinerja berlegislasi anggota DPR periode 2009-14 dibandingkan dengan anggota DPR periode sebelumnya. Malang nian prestasi para legislator 2009-14 yang dikalangkabutkan oleh Eyang Sebastian Salang.
Dalam bikameralisme tulen, legislator terdiri dari legislator DPR dan legislator Senat (Dewan Perwakilan Daerah) serta keduanya bisa berlegislasi, tidak seperti DPD di Nusantara yang berperan sebagai `penunggu mistis gedung macam lelembut. Rata-rata, legislator amatiran tidak mampu menggunakan kekuasaan berlegislasi. Keahlian ini biasanya dimiliki oleh politisi profesional, yang berpengalaman lama berparlemen atau menduduki jabatan politisi.
Berdasarkan penelitian 1999, di Jerman misalnya, sejak tahun 1970, sekitar 80 persen anggota Bundestag (DPR) terpilih kembali. Dua pertiganya terpilih dua kali berturut-turut. Separuhnya tiga kali berturut-turut. Hampir 25 persen, mangkal di Bundestag sejak tahun 1969.
Sebaliknya, di Argentina, antara tahun 1993-95, hanya 20 persen legislator terpilih kembali. Di Brasil 1994, lumayan tinggi (64 persen). Berbeda dengan di Argentina, di Meksiko, antara 1993 s/d 2000-an, ada kesengajaan untuk melarang anggota DPR dipilih kembali secara berturut-turut. Tujuannya: memperkuat kedudukan Presiden. Menurut Ismayr, ciri profesionalisasi legislatif itu adalah meningkatnya jumlah anggota parlemen yang terpilih kembali.
Selain itu, pada tahun 1990-an, kurang dari 45 persen legislator Amerika Latin beraktivitas hanya di bidang politik (politik sebagai profesi). Di Argentina, Bolivia dan Cile kurang dari 30 persen. Di Peru, Brasil, dan Meksiko antara 30 s/d 35 persen.
Di samping hal-hal tersebut, tingginya fluktuasi para legislator merupakan penghambat profesionalisasi, sehingga menyulitkan mereka buat berspesialisasi di satu bidang tertentu.
Ismayr mencatat, para legislator Bundestag yang menguasai bidang tertentu, bukanlah kelas tersendiri dalam fraksi, melainkan para legislator yang secara kontinyu dan serius menangani dan menekuni bidangnya. Dengan demikian, Akbar difokuskan agar gak feisalan tentang pemilu, parpol, otda Yogya, pertanahan, aset negara, Century dan entah apa lagi, hingga mempersukar buat membedakan Akbar Feisal dengan Akbarnya Feisal.
Adalah bukan kebetulan jika masa jabatan Senat yang panjang itu siasatan demi mengimbangi kelemahan DPR sebagai akibat pendeknya masa jabatan buat berprofesionalisasi. Umpamanya masa jabatan senator di Argentina dan Meksiko enam tahun, Brasil dan Chile delapan tahun. Juga guna menjaga stabilitas, dalam pemilu legislatif, yang dipilih umumnya antara sepertiga atau separuh Senator. Jadi, senat tak kosong melompong dan kemudian dihuni oleh para lelembut produk pergantian legislator.
Rendahnya profesionalisasi, tentu menyulitkan pembahasan RUU sodoran pemerintah, apalagi jika dalam satu periode gak kelar. Contohnya RUU SBY periode 2004-09 yang harus diusung ke SBY periode 2009-14.
Celakanya, mungkin kala dilantik, DPR kelupaan slametan. Akibatnya, para legislator periode 2009-14 menjadi aligator darat, kesurupan demit hedonis bergaya hidup lebih mewah dan jauh dari rakyat, semprot Eyang Sebastian Salang garang.
Mungkin baiknya, pinisepuh Formappi, dibujuk buat memimpin slametan dengan sesajen berupa nasi kebuli lauknya ayam merah dicampurkan nasi. Setidak-tidaknya, guna menyelamatkan sisa masa jabatan yang tinggal setahun lagi, agar demit hedonis itu gak kebablasan ngedonin DPR.