Citra polisi dan wibawa Jokowi
Cara paling sehat untuk memulihkan citra polisi adalah bersungguh-sungguh menangani kasus korupsi.
Seorang aktivis antikorupsi jadi geram sekaligus memuji kecerdasan Bareskrim dalam menghadapi kemelut KPK versus Polri belakangan ini. "Perhatian media jadi bergeser. Penangkapan PSK artis dan mucikarinya jadi headline semua media," katanya. Padahal diskusi soal reformasi kepolisian mulai menggelinding.
Sebelumnya seorang pejabat tinggi gusar bukan kepalang atas penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan oleh pasukan Polri pada Jumat (1/5) dini hari. "Itu tindakan bodoh. Penangkapan itu takkan membuat aktivis antikorupsi takut. Justru akan membuat Polri jadi bahan cercaan. Suasana tenang jadi kacau kembali," tandasnya.
Menurut pejabat itu, sudah bagus Bareskrim mengusut kasus korupsi UPS yang DPRD DKI Jakarta. Ini kasus bercitra tinggi, karena menjadi pusat perhatian warga Jakarta. Puji dan simpati mulai berdatangan, sehingga orang lupa bahwa polisi dalam beberapa tahun belakangan ini sering gagal menangani perkara korupsi.
"Tidak apalah. Ini jadi awal pembuktian diri, bahwa polisi juga juga bisa berantas korupsi," kata pejabat itu. Namun hasrat itu, menjadi tidak berarti ketika dendam terhadap Novel belum terpuaskan. Inilah jika kuasa sudah melampaui akal sehat.
"Mereka tidak sadar, Novel itu hero masyarakat, hero media. Mereka pikir jika menangkap Novel dini hari pada libur panjang, media tidak bekerja. Salah besar. Media bekerja dua puluh empat jam. Pergerakan media sosial tidak ada yang bisa menghalangi. Maka polisi yang merasa main-mainan saat menangkap Novel, tiba-tiba harus menghadapi badai kemarahan publik. Sungguh kontraproduktif."
Jika Presiden Jokowi yang sedang berlibur di Solo, juga menunjukkan rasa gusarnya, hal itu tidak perlu membuat para jenderal di Mabes Polri heran. Bukankah presiden sudah berkali-kali mengingatkan agar tidak terjadi kriminalisasi? Bukankah presiden sudah berkali-kali pesan agar Polri dan KPK tidak bikin kegaduhan? Suasana tenang menjelang Konferensi Asia Afrika, mestinya terus dipertahankan, bukan malah dirusak kembali.
Demikianlah, kemarahan publik atas penangkapan Novel Baswedan, sesungguhnya juga jadi kemerahan banyak pejabat. Maka para petinggi polisi mau tidak mau harus sadar diri. Bukan semata menghindari kemarahan koleganya, tetapi demi kebaikan dirinya sendiri juga. Yang tak kalah penting demi menjaga wibawa presiden.
Satu dua kali, bisa saja pejabat Mabes Polri pura-pura tidak tahu atau mengabaikan perintah presiden. Tetapi kalau hal itu terus berulang, maka bukan hanya wibawa presiden yang jatuh, tetapi mereka harus juga bersiap menerima akibatnya. Rekor Jokowi ketika menjadi walikota dan gubernur menunjukkan, dia takkan segan menindak bawahannya yang berulang kali mengabaikan perintahnya.
Dalam hal ini, semua pejabat tinggi mesti makfum, meski mendapat tekanan dari pimpinan partai politik dan DPR betubi-tubi, Jokowi tetap mandiri dalam mengambil keputusan. Jokowi pasti punya catatan terhadap semua bawahannya: mana yang kinerjanya buruk, mana yang baik; mana yang berani melawan dan menggalang sekutu, mana yang loyal. Tindakan tegas adalah salah satu cara menjaga wibawa presiden.
Maka ketika kegusaran presiden semakin terlihat dalam peristiwa penangkapan Novel Baswedan, petinggi polisi harus putar haluan. Lebih baik membuktikan diri bisa mengusut korupsi daripada bersibuk-sibuk melampiaskan dendam terhadap orang-orang KPK. Kasus korupsi UPS, BP Migas dan Stadion Gede Bage, hanya tiga dari kasus korupsi yang berserakan di negeri ini.
Hanya dengan sungguh-sungguh menangani kasus-kasus korupsi kelas kakap, polisi akan bisa mengambil hati masyarakat kembali. Sesekali menghibur masyarakat dengan menangkap artis yang jadi PSK, boleh saja. Namun memberantas korupsi adalah cara paling sehat untuk memperbaiki citra polisi.