Corona dan Hilangnya Saling Sapa di Australia
Setahun terakhir, Ana tinggal di West Brunswick, sebuah kawasan di Kota Melbourne, Victoria, Australia. Dia menemani sang suami yang sedang menempuh pendidikan di sana.
Jemarinya sibuk di atas layar gawai berwarna krem. Menyapa keluarga lewat pesan singkat sekaligus memantau berita tentang virus Corona atau Covid-19 di Tanah Air.
Satu bulan terakhir, kabar wabah Corona di Indonesia khususnya di Jakarta membuat dia gelisah. Memikirkan kesehatan kedua orangtua nun jauh di sana.
-
Kapan virus corona ditemukan? Virus virus adalah sekelompok virus yang meliputi SARS-CoV (virus korona sindrom pernafasan akut parah), MERS-CoV (sindrom pernapasan Timur Tengah coronavirus) dan SARS-CoV-2, yang menyebabkan Covid-19.
-
Kapan peningkatan kasus Covid-19 terjadi di Jakarta? Adapun kasus positif Covid-19 pada 27 November sampai 3 Desember mengalami kenaikan sebanyak 30 persen dibanding pekan sebelumnya, yaitu pada 20-26 November.
-
Apa yang dirasakan Vincent Raditya saat mengalami flu Singapura? Vincent Raditya menyatakan bahwa pada tahap awal, ia mengalami demam tinggi selama tiga hari. Ia merasakan tubuhnya lemas dan berat, serta mengalami nyeri pada leher.
-
Apa yang terjadi pada kasus Covid-19 di Jakarta menjelang Nataru? Kasus Covid-19 meningkat di Ibu Kota menjelang Natal 2023 dan Tahun Baru 2024.
-
Bagaimana cara mencegah penyebaran Flu Singapura? Untuk mencegah penyebaran Flu Singapura, penting untuk menjaga kebersihan tangan dan lingkungan, serta menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi.
-
Bagaimana mutasi virus Corona pada pria tersebut terjadi? Selama masa infeksi, dokter berulang kali mengambil sampel dari pria tersebut untuk menganalisis materi genetik virus corona. Mereka menemukan bahwa varian asli Omicron BA1 telah mengalami lebih dari 50 kali mutasi, termasuk beberapa yang memungkinkannya untuk menghindari sistem kekebalan tubuh manusia.
Setiap hari, ingin rasanya segera terbang ke Indonesia. Berkumpul bersama mereka yang tercinta. Namun apa daya. Virus ini membuat segalanya tidak lagi mudah dilakukan.
Hanya bertatap muka dan mendengar suara-suara penuh kerinduan yang bisa dilakukan. Tak lupa berkirim doa agar selalu dikuatkan.
"Kadang kita pingin pulang tapi galau juga lihat Indonesia kasusnya tambah terus," kata Ana saat berbincang lewat panggilan video kepada merdeka.com akhir pekan lalu.
Setahun terakhir, Ana tinggal di West Brunswick. Kawasan di Kota Melbourne, Victoria, Australia. Dia menemani sang suami yang sedang menempuh pendidikan di sana.
Ana baru saja kembali dari Indonesia awal Maret lalu setelah hampir tiga bulan menghabiskan liburan di Jakarta dan Salatiga, kampung halaman suaminya.
"Aku sampai lagi di Melbourne itu tanggal 3 Maret, pas banget pengumuman pertama kasus positif di Indonesia. Waktu itu relatif semuanya masih berjalan seperti biasa termasuk di bandara di Indonesia maupun di sini. Dua pekan setelah kemudian memang lebih ketat mungkin karena WHO udah umumkan corona sebagai pandemi ya," katanya.
"Tahu begitu aku enggak balik ke sini," kelakar Ana.
Sebenarnya, kasus Corona atau Covid-19 di Australia tidak terlalu tinggi dibandingkan negara lainnya. Namun, mengingat WHO telah menetapkan virus ini sebagai wabah, maka pemerintahan setempat juga meningkatkan kewaspadaan.
"Jadi sejak dua pekan lalu, di sini itu sudah diterapkan pembatasan sosial dengan istilah stage 3. Antar tetangga sudah enggak boleh saling berkunjung. Kalau sebelumnya kan masih agak longgar, masih boleh ke pantai. Sekarang itu sudah beneran tidak berani keluar. Kecuali untuk beli kebutuhan, atau ke taman buat olahraga masih boleh," katanya.
Imbauan itu sangat dipatuhi masyarakat. Baik warga negara asli maupun pendatang seperti dirinya. Apalagi, disiapkan sanksi bagi warga yang melanggar aturan tersebut.
"Di sini itu pemerintahnya kayak buat semacam sanksi berupa denda kalau tetap berani keluar tanpa alasan jelas ada denda 1.600 dolar Australia," katanya.
Namun demikian, andai kata aturan denda itu tidak diberlakukan, masyarakat di Australia khususnya Melbourne sangat paham seperti apa bahaya virus ini. Sehingga memilih tetap di rumah dari pada terpapar.
"Sekarang itu kondisinya kita jadi takut aja keluar, kalau pun ada kebutuhan keluar, kita tu bener-bener jaga jarak pas di jalannya. Jadi misalnya, di jalan lihat orang lain, kayak saling tunggu-tungguan kita yang jalan duluan atau dia yang jalan duluan saking enggak mau dekatnya. Aku juga sejak kondisinya kayak gini nyaris sepekan ini di rumah terus," katanya.
Di Melbourne, Ana dan suami mengontrak rumah. Mereka berbagi atap dengan warga negara Indonesia yang juga sedang menempuh pendidikan di sana agar biaya sewa rumah lebih miring.
"Sejak Stage 3, semua orang kerja di rumah. Jadinya dekat tempat tinggalku yang sebelumnya gak ada mobil parkir, sekarang jadi banyak karena pada kerja di rumah semua. Terus, kawasannya juga gak terlalu ramai karena jalan utama, ditambah kondisi ini makin sepi."
Selama di rumah, Ana menyibukkan diri dengan kegiatan bersih-bersih sambil melanjutkan aktivitas pengajian untuk anak-anak WNI yang orangtuanya sedang sekolah atau memang tinggal di Melbourne. Sama dengan aktivitas sekolah dan bekerja, pengajian ini akhirnya memakai sistem daring.
"Di sini kita ngadain kayak TPA buat anak-anak. Karena semua udah work from home, jadinya anak-anak TPA kita juga belajar online," katanya.
Jika kegiatan bersama anak-anak di TPA sudah selesai, Ana menyempatkan diri menelepon kedua orangtuanya di Jakarta. Ingin memastikan mereka dalam keadaan baik-baik saja.
Tak Ada Kelangkaan Masker
Sejak wabah Corona menjangkit sejumlah negara, kebutuhan seperti masker, sabun pencuci tangan dan hand sanitizer menjadi sangat tinggi. Bahkan di Indonesia, harga ketiga barang itu melonjak naik di tengah kelangkaannya.
Di Melbourne, kata Ana, sempat juga terjadi kelangkaan hand sanitizer. Tetapi tidak dengan masker. Sebab, katanya, orang-orang yang menggunakan masker malah terlihat asing dan dianggap sebagai orang sakit yang mungkin saja menjangkitkan virus tersebut.
"Hand sanitizer sempat tapi sekarang udah enggak lagi. Masker malah enggak langka di sini, karena memang enggak terlalu dicari karena tahu itu untuk tenaga medis. Malah kalau kita pakai masker keluar rumah, diliatin kayak dianggap bawa wabah gitu," kata wanita berdarah Minang ini.
Justru, lanjut Ana, kelangkaan yang terjadi saat pertama kali kasus Corona ini meningkat di Australia adalah kelangkaan tissue toilet. Selain itu, beras.
"Nah buat orang Asia kayak aku gini yang sehari-hari makan nasi ya sempat panik beras langka. Kita sampai cari ke pinggiran kota. Di grup, kita juga saling info kalau ketemu beras. Tapi Alhamdulillah banget, di sini itu apa-apa kayak cepat tertangani dan harganya juga tidak dinaikin," katanya.
Masyarakat, katanya, juga tidak was-was dengan ketersediaan bahan makanan. Supermarket tetap beroperasi, tetapi ada pembagian waktu untuk berbelanja.
"Supermarket buat kayak aturan, pagi buat lansia, kalau kayak kita yang muda-muda diperbolehkan belanja siangan. Di dalam supermarket juga dibatasi, sebelum masuk kita juga ngelewatin ruang penyemprotan disinfektan terus disediakan hand sanitizer," katanya.
Suasana yang juga terasa sejak diberlakukannya stage 3, tidak ada lagi aktivitas pengantaran atau delivery order. Termasuk petugas yang menyebarkan brosur-brosur promo supermarket.
"Karena di sini masyarakatnya kayak sudah enggak mau pakai pihak ke tiga gitu di aktivitas mereka. Kayak beli sesuatu mending beli sendiri," katanya.
"Makanya banyak juga WNI yang pulang ke Tanah Air karena di sini jobless. Di sini banyak WNI yang kerjanya antar brosur itu. Tapi karena sekarang tidak ada, mereka pilih pulang sebagian karena biaya hidup di sini kan tinggi," jelas sarjana Fakultas Fisip UI ini.
Saling Menguatkan Sesama Perantau
Meski jauh dari keluarga, Ana dan suami merasa beruntung masih di kelilingi teman-teman sesama perantauan di Melbourne. Melalui grup WhatsApp, mereka saling bertanya kabar dan menguatkan. Apalagi bila rasa rindu pada kampung halaman mulai melanda.
"Ya kadang ada juga saling tanya pingin pulang enggak, tapi ya bingung juga kan takutnya nanti di bandaranya malah gimana-gimana. Kasihan juga kalau ternyata kita kenapa-kenapa malah kena orangtua," katanya.
Ana juga merasa sedikit lebih tenang karena keluarganya di Jakarta meminta dia sabar menunggu sampai wabah ini berakhir.
"Keluarga juga ngelihat kondisi di Indonesia terus tambah kasusnya, makanya keluarga juga bilang ya udah sabar aja di sini dulu," katanya.
Sejujurnya, kata Ana, satu hal yang membuatnya ingin pulang ke Indonesia. Dia cukup resah melihat temuan kasus yang cukup signifikan. Ditambah lagi, kabar ketersediaan alat pelindung diri atau APD untuk tenaga medis jumlahnya kian menipis.
"Makanya kadang kayak aku merasa lebih aman di sini karena rumah sakit sini belum sampai kelebihan pasien tapi tidak kekurangan APD. Itu juga jadi salah satu alasan kita (bertahan) karena lihat penanganannya di sini lebih baik," katanya.
Masyarakat di Melbourne juga terlihat lebih siap menjalankan aturan yang dikeluarkan pemerintah.
"Jadi lebih mudah diatur, kalau kita lihat Indonesia ditambah lagi dengan info-info di media sosialnya kok kayaknya ngeri banget. Jadi resahnya bukan karena kondisi kita di sini, tapi kondisi keluarga di sana karena situasi di Indonesianya," kata Ana.
Sebagai contoh kesiapan pemerintah Australia, kata Ana, siapapun yang masuk ke negara itu wajib mengisolasi diri di rumah karantina yang disediakan pemerintah.
"Mau dia naik darat, pesawat, laut pokoknya harus masuk ke rumah karantina itu dulu beberapa hari untuk dipantau," katanya.
Ana berharap kondisi ini segera terlewati. Tidak hanya di Indonesia, Australia, tetapi seluruh negara.
Dia tak bisa membayangkan jika kondisi wabah itu terus berkepanjangan. Sebab corona, kata dia, sudah mengubah dunia seolah begitu mencekam.
"Tidak ada yang lebih indah dari bisa berkumpul bersama keluarga, teman dan kerabat tanpa ada ketakutan bahwa dia pembawa penyakit. Semoga kita semua sehat dan lindungan-Nya," tutup Ana mengakhiri perbincangan dengan merdeka.com.
(mdk/lia)