Daniel Alexander, Lentera Bagi Anak-Anak Papua
Tanah Papua paling kaya. Sumber alamnya melimpah. Tapi masyarakatnya justru hidup dalam kemiskinan. Ibarat pepatah, induk ayam mati di lumbung padi. Kekayaan alam yang melimpah tapi tak dirasakan langsung masyarakatnya.
Senyum terpancar dari wajah seorang pria berkaca mata, berbaju batik. Saat keluar dari mobil, dia langsung disambut suka cita anak-anak di Nabire, Papua.
Binar-binar kebahagiaan terlihat jelas dari mata anak-anak yang menyambut kedatangan pria itu. Mereka berebut memeluknya. Seperti orangtua dengan anak kandungnya, pria itu membalas satu per satu pelukan penuh kasih sayang. Ini menjadi kebiasaan mereka.
-
Siapa yang terlibat dalam penerapan Kurikulum Merdeka? Dengan demikian, secara konkret orang tua perlu menjadi teman dan pendamping belajar bagi anak.
-
Siapa yang meresmikan Langgar Merdeka? Langgar ini diresmikan Menteri Sosial pertama Indonesia yaitu Mulyadi Joyo Martono.
-
Siapa yang menjadi sorotan utama pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia? Pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus yang lalu, perhatian banyak tertuju pada Shaista Putri Rionaldo Stockhorst.
-
Apa pengertian dari Kurikulum Merdeka? Kurikulum Merdeka adalah aturan atau rencana pembelajaran intrakurikuler yang beragam. Dalam kurikulum ini, pendidik diberikan keleluasaan untuk memberikan konten pembelajaran yang beragam agar lebih optimal dalam penyampaiannya. (Foto/@pixabay.com) Dengan berbagai macam materi pembelajaran, diharapkan peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep serta menguatkan kompetensinya dalam berbagai bidang.
-
Bagaimana Abdul Somad dikenal? Abdul Somad dikenal sebagai seorang pendakwah yang sangat fenomenal. Gaya ceramahnya cenderung tegas, dan beliau pernah mengalami deportasi dari imigrasi bandara Singapura.
-
Apa itu Kurikulum Merdeka? Kurikulum merdeka adalah metode pembelajaran yang mengacu pada pendekatan bakat dan minat.
"Kami orang tua bagi mereka. Kami sudah terbiasa hidup dengan mereka, mereka manja sekali," kata Daniel saat berbincang dengan merdeka.com akhir pekan lalu.
Itulah sosok Daniel Alexander. Pria kelahiran Surabaya. Seorang pendeta yang mencurahkan hidup dan cintanya demi pendidikan anak-anak di Bumi Cenderawasih.
Kisah Daniel di Papua dimulai 10 April 1990. Untuk pertama kalinya Daniel Alexander menginjakkan kaki di Jayapura, Papua. Berbekal keinginan mulia. Berbuat kebajikan untuk Papua.
Tanah Papua paling kaya. Sumber alamnya melimpah. Tapi masyarakatnya justru hidup dalam kemiskinan. Ibarat pepatah, induk ayam mati di lumbung padi. Kekayaan alam yang melimpah tapi tak dirasakan langsung masyarakatnya.
"Saya melihat, kenapa ya bisa begini? Apa yang menyebabkan mereka tidak bisa jadi tuan di tanahnya sendiri?" kata Daniel.
Segudang pertanyaan itu membawa Daniel menuju Papua. Dia meneguhkan diri. Ingin mengabdi. Berbagai cara dilakukan. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan. Sampai akhirnya dia mendapatkan. Jawabannya adalah Pendidikan. Minimnya pendidikan membuat masyarakat Papua tidak bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri.
Langkah Awal
Daniel menemui beberapa tokoh masyarakat, pengusaha dan pemerintah daerah. Berdiskusi untuk memulai menghadirkan pendidikan yang cocok untuk anak-anak Papua.
Tahun 1993 menjadi tahun bersejarah. Daniel menemukan pola pendidikan yang cocok untuk anak-anak Papua. Yakni sistem sekolah asrama. Dimulai sejak taman kanak-kanan atau TK. Tapi tidak mudah bagi Daniel meyakinkan para orang tua.
"Kenapa harus ada itu? Karena sistem, maaf orang Papua ini sistem keluarga dan rumah beda dengan suku-suku di Indonesia. Buat mereka yang di pedalaman, alam ini rumah buat mereka," jelasnya.
Sekolah sistem asrama digagas dengan dasar kuat. Agar anak-anak Papua memahami struktur keluarga dan rumah. Daniel bercerita, sistem rumah bagi masyarakat Papua sangatlah unik. Honai, rumah adat Papua, dihuni beberapa keluarga. Bisa sampai 20 orang. Tergantung besar kecilnya rumah. Tidak ada kamar. Semua tidur bersama-sama. Hanya ada satu pembeda. Honai laki-laki dihuni oleh laki-laki, sedangkan Honai perempuan dihuni para perempuan bersama anak-anak.
"Ini memang ironi hidup mereka. Yang namanya ayah ibu, sudah tidak tahu begitu banyaknya," ujarnya.
Daniel mulai membangun sekolah asrama. Anak-anak diperkenalkan dengan bapak dan ibu asrama. Sebagai orang tua mereka selama di asrama. Di dalam asrama, mereka diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lain. Diajarkan untuk tidak segan meminta maaf jika menyinggung orang lain.
Masa-masa awal sekolah berdiri, menjadi perjuangan yang amat berat bagi Daniel. Dia menjemput satu per satu anak-anak di suku pedalaman. Meminta mereka menjadi siswa di sekolah sekaligus penghuni asrama.
"Jadi awal-awal kami mulai itu, guru-guru keliling ke rumah-rumah ambil anak-anak, jemput mereka," katanya.
Belum lagi berbagai ancaman menghampiri. Ancaman sekolah dibakar hingga ancaman dibunuh. Ancaman itu datang bukan tanpa sebab. Dari cerita banyak orang, Daniel mengetahui. Sebelum kedatangannya, banyak LSM-LSM yang datang dan menjanjikan beasiswa pendidikan untuk anak-anak mereka.
"Anak-anak mereka katanya dicarikan bantuan ke luar negeri. Tapi (bantuan) tidak pernah sampai. Mereka marah 'kalian datang ke sini hanya jual anak-anak kami'," kata Daniel.
17 Sekolah
Selama kurun waktu 1995 - 2005, Daniel mendirikan sejumlah sekolah. Mulai dari SD Kristen Agape Terpadu di Nabire, Sugapa dan Manokwari. Kemudian SMP Kristen Anak Panah Nabire pada 2002 hingga SMA Kristen Anak Panah Nabire.
Hingga saat ini, sudah 17 sekolah dari tingkat TK sampai SMA dibangunnya. Tersebar di dua Provinsi, Papua dan Papua Barat. Nabire menjadi pusatnya. Setidaknya ada 300 tenaga pendidik. Muridnya lebih kurang 3.000 orang.
Menghadirkan sekolah asrama gratis di Papua, Daniel harus memutar otak. Agar tak kekurangan dana. Sebab kebutuhan sangat besar. Contohnya di Nabire. Dalam sebulan harus menyiapkan setidaknya 3 ton beras untuk guru dan anak-anak di asrama.
Ternyata banyak yang peduli dengan pendidikan anak-anak di Papua. Banyak orang baik yang membuat sekolah ini bisa berdiri sampai detik ini. Sudah lebih kurang 25 tahun.
"Jadi pembiayaan begini, dari pemerintah pasti ada yang namanya dana BOS, terus pengusaha-pengusaha di Nabire mereka membantu juga, lalu teman-teman saya yang dari luar papua, mereka juga tahu," katanya.
Tuan di Atas Tanahnya Sendiri
Daniel punya harapan besar. Masa depan anak-anak Papua. Mereka harus menjadi tuan di rumahnya sendiri. Di tanahnya sendiri.
"Harapan kami semua, tidak ada anak Papua tidak sekolah tidak kuliah itu target kami. target kami terbesar mereka jadi pemimpin di tanahnya sendiri. Jadi harapan kami Papua berubah lewat anak-anak ini sendiri."