Generasi Wani Piro vs GenFlux
Anda mau jadi bagian GenFlux yang mengerjakan sesuatu yang berdampak positif, atau masuk kelompok Wani Piro?
Para marketer dalam beberapa waktu lalu, ketika mengidentifikasi pasar, sering memikirkan ditujukan untuk siapa barang/produk yang akan dilempar ke pasar (deliver). Apakah generasi muda, generasi tua, atau anak-anak. Biasanya dalam menyusun peta demografinya memakai istilah X-Generation, Y-Generation dan sebelumnya Baby Boomers.
Generasi Baby Boomers adalah generasi yang lahir setelah perang dunia kedua, yaitu antara tahun 1946 hingga tahun 1964. Disebut demikian karena setelah perang yang tertekan, terjadi reproduksi yang dahsyat dan ledakan kelahiran. Cirinya katanya suka memberontak dan keras tapi disiplin.
Lalu Generasi tahun 1965 sd 1980-an, disebut generasi X (X-Gen). Cirinya ini generasi yang kritis, skeptis, dan kurang optimistis menatap masa depan namun sebagian mulai semangat kewirausahaan. Semangat kerja tinggi tapi cenderung individualistik dengan ikon-"saya". Tagline-nya kerja untuk hidup.
Sedangkan generasi Y (Y-Gen) lahir setelahnya yakni di atas 1980 sampai 1995 yang bersamaan munculnya teknologi komputer. Cenderung menuntut, tidak sabar serta memiliki kemampuan komunikasi yang unik, cuek, mengabaikan peraturan, meski kritis. Generasi Y ini dipuji karena semangat dan energi mereka yang luar biasa dalam bekerja. Namun kerja sudah bukan sentral kehidupan, sebab pandangannya "life is about enjoyment".
Setelah Gen X dan Y, lalu apa? Ketika sedang mencari ide kolom Inspira, penulis teringat buku Yoris Sebastian dan beberapa tulisan Rene Hardono yang membicarakan soal Generasi Flux (GenFlux). Generasi ini —atau mungkin komunitas ini— tidak ditandai dengan era tahun kelahirannya, namun lebih ke pandangan hidup, pilihan hidup, atau mindset. Arahnya cenderung positif. Tidak peduli dia kuliah apa, tapi dia bisa mengerjakan apa yang disukai, cepat belajar, passionate pada hal tertentu, mudah bergabung dengan kelompok manapun yang disukai. Yang mempersamakan GenFlux adalah bahwa yang dikerjakannya itu memberikan dampak (impact) yang signifikan. Bukan buat diri pribadi tapi buat masyarakat luas.
Jangan-jangan kita menjadi bagian dari GenFlux (generasi aliran) ini. Hal ini banyak diwujudkan dalam gerakan sosial. Misalnya ketika orang mengeluhkan pelayanan rumah sakit malah dituntut dengan undang-undang ITE yang dikenal dengan kasus Prita, masyarakat tergerak rame-rame mengumpulkan dukungan dengan aksi koin Prita. Ada beberapa contoh lain gerakan yang secara tak langsung memiliki dampak dan semangatnya menginspirasi GenFlux, seperti Akademi Berbagi, Indonesia Mengajar, Common Room di Bandung, gerakan Hoshi Zora di Yogya dan lain-lain.
Di Jakarta, saat ini para profesional berkumpul dalam komunitas Akademi Berbagi. Mereka dengan kesadaran diri, tanpa pamrih mendatangi kelompoknya yang di sana sudah berkumpul puluhan orang siap menunggu ilmu dari seorang profesional yang merelakan dirinya untuk sharing. Dampak yang diharapkan, banyak kelas sosial yang akan memiliki ketrampilan dan ilmu yang bisa dikembangkan untuk kemajuan dirinya, komunitasnya, pekerjaannya, juga bahkan bangsa.
Tak kalah dahsyat dan menarik, adalah anak-anak muda yang memiliki IP bagus, TOEFL di atas 500, dan sudah punya pekerjaan mapan bahkan jadi expatriat profesional di Asean atau Timur Tengah, memilih ikut tes menjadi relawan Indonesia Mengajar. Mereka rela meninggalkan kantornya dengan gaji puluhan juta, memilih mengajarkan ilmunya ke pelosok pedalaman untuk generasi muda masa depan bangsa. Mereka memimpikan Indonesia dahsyat di masa depan.
Ridwan Kamil bersama teman-temannya di Bandung Center for Media Art, menggagas Common Room (CM). Ini adalah wadah dari berbagai aktivitas yang dikembangkan oleh Bandung Center for New Media Arts sejak 2001. Mereka menyebut CM sebagai platform terbuka untuk kegiatan seni, budaya dan pemanfaatan ICT/Media.
Common Room merupakan wahana yang mempertemukan beragam individu, komunitas dan organisasi, seiring dengan berkembangnya berbagai bentuk kerja sama dan budaya kolaborasi. Selanjutnya tempat ini menjadi semacam wadah dimana berbagai kalangan dapat merancang dan merealisasikan berbagai kegiatan berdasarkan ketertarikan dan tujuan mereka, dengan fokus kepada aktivitas riset dan pengembangan di bidang pengetahuan publik dan kreativitas. Atas gerakan bersama teman-temannya ini, Ridwan Kamil sebagai salah satu penggeraknya mendapat penghargaan dari British Council.
Di Yogya, sekelompok anak muda yang sebelumnya pernah mendapat beasiswa di Jepang, sepulangnya dari negeri matahari terbit itu membuat perkumpulan. Mereka merasakan bahwa sekolah itu tidak mudah, dan sering terbentur biaya sebagai alasan klasik. Sayang kalau pintar tapi tak punya biaya. Dengan semangat bersama, mereka patungan untuk memberikan beasiswa plus memberikan pendidikan/pelatihan. Mereka berkumpul dalam gerakan Hoshi Zora (bintang langit). Dampak yang diharapkan, anak-anak berbakat tidak putus sekolah tapi akan jadi aset bangsa.
Semangat GenFlux ini di hari-hari ini menemui ujian berat, berkaitan dengan hadirnya musim pemilu dan kampanye. Apa itu? Ketika para partai dan calon legislatif "berbuat baik" dalam waktu pendek dan waktu tertentu dengan tujuan instan dan jangka cepat: Terpilih jadi anggota DPR (wakil rakyat).
Caleg yang berpikiran cetek dan jangka pendek, bertemu dengan sebagian masyarakat yang juga tak berpikir panjang, cocok cilaka. Ada uang, ada suara dan coblos. Singkat kata, money politics. Mencoblos bukan karena mikir dampak positif buat orang lain, tapi keuntungan pribadi. Inilah kelompok atau generasi transaksional yang beraliran Wani Piro (berani bayar berapa?). Bisa jadi mereka ambil uangnya bahkan, tapi tak mencoblos sang pemberi.
Jadi, Anda mau jadi bagian dari GenFlux yang mengerjakan sesuatu yang berdampak positif buat masyarakat, atau cenderung kelompok Wani Piro?
Baca juga:
Memanfaatkan konsumen jadi sales force
Kampanye tahan lama yang sebenarnya
WhatsApp buktikan kerja keras tak mengkhianati
Respek itu segalanya, jagalah!
Presiden miskin dan calon pemimpin nekat
-
Kapan Indonesia merdeka? Hari ini, tepat 78 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan diri sebagai sebuah negara merdeka.
-
Kapan Malaysia merdeka? Negara monarki konstitusional ini baru memperoleh kemerdekaannya pada 31 Agustus 1957.
-
Kapan Singapura merdeka? Singapore Independence Day was on the 9th of August 1965.
-
Siapa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia? Bukan hanya tanggal yang kita rayakan, tetapi semangat dan cita-cita yang diwariskan oleh para pahlawan. Merdeka! Selamat HUT RI ke-79!
-
Apa itu Kurikulum Merdeka? Kurikulum merdeka adalah metode pembelajaran yang mengacu pada pendekatan bakat dan minat.