Genjot wisata dengan jual brand Bali
Perlu sekalian dioptimalkan: Bali sebagai brand pariwisata Indonesia!
Rasanya klasik, bahwa Indonesia kalah terkenal dibanding Bali. Sampai hari ini. Ya, itu bukan cerita baru. Tapi apakah itu menyedihkan atau syukuri saja apa adanya? Atau bahkan perlu sekalian dioptimalkan: Bali sebagai brand pariwisata Indonesia!
Begini ceritanya. Pekan lalu, seseorang dari Bogor mendapat kesempatan presentasi di Munchen, di depan mahasiswa dari berbagai negara mayoritas Jerman. Tatkala presenter menyebut dirinya asal Indonesia, hampir semua tanya Indonesia itu dimana. Pahit sebenarnya. Lalu, dikasih clue, "Kalian tahu Bali?" tanyanya. Dan, seketika semua serentak tahu dan faham. Hanya dua yang pernah kesana. Yang tahu ini lalu tanya, "Anda dari Bali apa Bogor?" Pertanyaan ini menyenangkan, karena ternyata orang itu tak hanya tahu Bali, tapi juga Indonesia, bahkan Bogor.
Pembaca, kita tahu bahwa pemerintahan dari tahun ketahun selalu teriak, bahwa pariwisata penting. Untuk itu perlu dikembangkan agar kunjungan ke Indonesia banyak. Caranya, dibuat bermacam cara kegiatan, mulai dari pameran, bikin tagline "visit Indonesia year" atau "wonderful Indonesia". Namun sudah bertahun-tahun, kenyataannya Indonesia kalah dalam kunjungan wisata dibanding negara tetangga: Thailand, Malaysia, Singapura.
Semua pasti meyakini, bahwa Indonesia tak kalah menariknya. Mulai dari ujung Sumatera di Sabang yang airnya sebening kaca, Toba yang danaunya luasnya minta ampun, Bangka Belitung dengan batu besar di pantai cocok untuk narsis, Kepulauan Seribu yang eksotisnya buanyak, Borobudur yang ajaib, Bromo selalu hangat di hati, Bali ndak usah disebut lagi, Lombok dan NTT yang punya pantai merah muda, Toraja yang magis, Halmahera yang bikin panjang usia pesona lautnya, dan banyak lagi. Kalau ditulis di sini semua, bisa lebih dari 34 alenia!
Dengan deposit sebanyak itu, mengapa dari tahun ke tahun tetap saja kalah dibanding keempat negara Asean tersebut? Dalam peta pariwisata dunia versi World Economic Forum edisi 2012, posisi peringkat Indonesia di urutan 74, sedangkan Thailand (41), Singapura (10), Malaysia (35).
Dari segi jumlah kunjungan wisata mancanegara (asing) Indonesia hanya 7,5 juta, sedangkan Thailand 19 juta, Singapura 10,3 juta, dan Malaysia 24 juta. Pariwisata di Indonesia, baru menyumbang USD 7,9 juta (1,1% GDP), sedang pariwisata Thailand menyumbang USD 26,5 juta (8,2%GDP), Singapura disumbang USD 17,9 juta (7,9% GDP), dan Malaysia USD 18,2 juta (7,7% GDP).
Masih menyedihkan sebenarnya tingkat kunjungan wisata ke Indonesia? Modal besar yang dimiliki tak bisa mengoptimalkannya. Dari situs kementerian Pariwisata, penulis menemukan beberapa data menarik. Sampai dengan September 2014, total pengunjung Indonesia adalah 6,6 juta. Artinya kalau dibuat rata-rata, total sampai dengan Desember kira-kira sekitar 8,8 juta. Ini naik 9% dibanding tahun sebelumnya sebesar 8,2 juta pengunjung.
Data kunjungan wisatawan menurut kamenterian, masuk melalui 19 lokasi imigrasi, yakni Bandara dan Pelabuhan. Dari jumlah 6,6 juta pengunjung sampai dengan September, sebagian besar tamu asing ternyata masuk melalui Bandara Ngurah Rai (Bali), yakni sebesar 2,75 juta. Jumlah ini sama dengan 42% dari total wisatawan masuk. Nyaris separuh dari kunjungan total ke Indonesia. Bali mengalahkan Jakarta (Bandara Soekarno-Hatta) yang hanya 1,6 juta wisatawan (26%). Tempat ketiga adalah Batam (Kep. Riau) sebesar 1 juta wisatawan (16%).
Melihat kenyataan di atas, sudah bisa disimpulkan, bahwa alasan terbesar orang asing ke Indonesia adalah Bali. Maka, jangan heran bila sampai hari ini, magnet kunjungan wisata tetap Bali. Dan juga tak mengherankan bila seperti yang dialami orang Indonesia di manca negara, ketika ketemu maka yang diketahui adalah Bali. Bukan Bali bagian dari Indonesia, akan tetapi Bali jauh lebih terkenal dan menjadi alasan kuat untuk datang.
Data tambahan juga, bahwa di buku panduan wisatawan eksotis, yakni "1000 tempat wajib dikunjungi sebelum mati" karya Patricia Schultz, dari Indonesia ada 9 lokasi yang wajib dikunjungi. Dan, dari 9 lokasi itu, 4 di antaranya adalah Bali: Sepanjang Kuta, Pantai Jimbaran, Ubud, Amanwana - Moyo. Sedangkan 5 lokasi lainnya, Borobudur, Toraja, Lembah Baliem, Lombok, dan Jogja. Secara tak langsung buku tersebut menegaskan, bahwa Bali memang menjadi alasan kuat wisatawan ke Indonesia. Jumlah 4 lokasi dari 9 lokasi artinya secara persentasi sekitar 44%. Sesuai dengan persentasi jumlah orang masuk melalui Bandara Ngurah Rai.
Bila demikian, semestinya tagline atau branding wisata Indonesia harus mengoptimalkan Bali. Sebab, dalam teori dan praktik branding promo, membangun brand baru akan lebih besar effortnya dibanding brand yang sudah mapan. Selain itu tingkat kegagalannya pasti akan jauh lebih besar dibanding tingkat kesuksesannya. Dengan kualitas TOM (top of mind) warga dunia yang sudah familier dengan Bali dibanding Indonesia, maka promosi dengan branding Bali adalah terobosan yang layak dilakukan.
Selama ini kita pakai tagline Visit Indonesia Year atau Wonderful Indonesia, sementara bagi calon wisatawan asing masih mengundang pertanyaan di mana Indonesia, maka tagline itu bisa jadi tidak kuat mendorong ke Indonesia. Akan tetapi, bila tagline memakai nama Bali, misalnya "Pampering yourself in Bali" atau "Bali heart of Indonesia". Maka, dengan kekuatan magis dan daya magnet yang sudah paten dari Bali, akan meningkatkan kunjungan pariwisata.
Bahkan kalau mau ekstrim, dalam hal wisata, sebut saja bahwa Indonesia bagian dari Bali. Sehingga setiap wisatawan kalau sedang ke Indonesia seolah sedang ke Bali. Bisa jadi Bali Indonesia bagian Tengger, Bali Indonesia kawasan Toba, Bali Indonesia daerah Jogja dan lain sebagainya. Maka, niscaya para wisatawan akan serasa sudah ke Bali (meski masih di Toga). Dan selanjutnya, mereka akan tahu bahwa Bali itu ada di bagian Indonesia, dan negeri Nusantara ini memang luas. Jadi, dengan mengoptimalkan kesohoran Bali maka gairah wisatawan manca negara akan besar. Kalau perlu, semua materi branding awareness pakai setempel "visit Bali".
Sedih rasanya melihat ironi negeri yang eksotik dan dahsyat tapi wisatanya belum digarap. Tapi, ini hanya sebuah ide, sebuah inspirasi, dari fakta yang ada. Apakah Anda setuju, atau punya ide yang lebih dahsyat? ***
*) Penulis adalah COO KLN Network/merdeka.com, Sekjen APJII, co-founder Binokular Media Monitoring