Jalan Panjang IDI Memproses Pemecatan Terawan
Jauh sebelum Muktamar ke-31 di Banda Aceh memutuskan pemberhentian permanen, IDI telah berulangkali berupaya menyelesaikan permasalahan dokter Terawan.
"Sampai hari ini saya masih sangat bangga dan merasa terhormat berhimpun di sana (IDI)," kata dokter Terawan.
Pernyataan itu disampaikan mantan Tenaga Ahli (TA) Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, Andi melalui keterangan tertulis 28 Maret lalu.
-
Apa saja layanan medis yang dilayani oleh Dokter Terawan? "Prof Terawan Hanya melayani Tindakan Digital Substraction Angiography (DSA), dan Immunotherapy Nusantara," kata Okta.
-
Kapan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) resmi terbentuk? Tepat pada 24 Oktober 1950, IDI secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris.
-
Dimana konsentrasi dokter spesialis di Indonesia? Dia mengatakan 59 persen dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. "Rata-rata semuanya dokter spesialis pada di Jawa dan di kota. 59 persen dokter spesialis itu terkonsentrasi di Pulau Jawa, 59 persen," ujarnya.
-
Di mana Dokter Lo dirawat? Ia membenarkan jika dokter Lo Siauw Ging MARS saat ini sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit Kasih Ibu (RSKI) Solo.
-
Apa profesi Putra Dokter Boyke, Dhitya Dian Nugraha? Mengikuti jejak sang ayah, Dhitya merupakan alumnus Universitas Indonesia. Namun, perjalanan akademisnya tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan pendidikannya di luar negeri, tepatnya di Universiteit Leiden, Belanda, dari tahun 2017 hingga 2020 dengan mengambil jurusan psikologi.
-
Kapan dokter Soebandi gugur? Mengutip situs Begandring, dokter tentara sekaligus wakil komandan Divisi Damarwulan ini gugur ditembak tentara Belanda dalam sebuah penyergapan di Desa Karang Kedawung, Jember pada 8 Februari 1949.
Pernyataan itu menjadi satu-satunya tanggapan Terawan hingga saat ini yang disampaikan kepada publik terkait keputusan Muktamar IDI di Banda Aceh 22-25 Maret lalu yang memecatnya dari keanggotaan IDI.
Terawan, seperti dituturkan Andi, menganggap IDI seperti rumah kedua, menjadi tempatnya bernaung, bersama saudara-saudara sejawat lain.
"Pak Terawan mengimbau, teman-teman sejawat dan yang lain agar bisa menahan diri untuk tidak menimbulkan kekisruhan publik, karena kita masih menghadapi pandemi Covid-19. Kasihan masyarakat dan saudara-saudara sejawat yang di daerah, puskesmas, Rumah sakit dll, ikut terganggu," tulis Andi.
Terawan juga menyinggung soal sumpah dokter yang dijadikan landasan dalam setiap langkah. "Saya sudah disumpah akan selalu membaktikan hidup saya guna perikemanusiaan, mengutamakan kesehatan pasien dan kepentingan masyarakat" ujar Andi menirukan Terawan.
"Semua dokter itu sesuai sumpah kita, teman sejawat itu seperti saudara kandung, jadi saya menyayangi semua saudara saya di sana (IDI)," ujar Terawan.
Soal putusan MKEK, Terawan menyerahkan semuanya kepada saudara sejawatnya. "Biarkanlah saudara-saudara saya yang memutuskan. Apakah saya masih boleh nginap di rumah atau diusir ke jalan," kata Terawan.
Merdeka.com berupaya menghubungi Andi melalui pesan singkat untuk menanyakan sikap terbaru dokter Terawan. Namun Andi mengaku belum mendapatkan update terbaru dari mantan bosnya itu. Termasuk kegiatan Terawan apakah masih menjalankan praktik setelah dicabut keanggotaan dari IDI.
"Mohon maaf banget, belum ada yang bisa aku sampaikan," kata Andi dengan menyebut pernyataan terakhir adalah keterangan tertulis yang dia sampaikan sebelumnya.
Kronologi Kasus Dokter Terawan
Jauh sebelum Muktamar ke-31 di Banda Aceh memutuskan pemberhentian permanen, IDI telah berulangkali berupaya menyelesaikan permasalahan ini. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) berkali-kali memanggil Terawan agar menjelaskan secara ilmiah metode Digital Subtraction Angiography (DSA) yang dipromosikan untuk penyembuhan stroke.
Mantan Pengurus PB IDI Pandu Riono menuturkan, kronologi kasus Terawan berawal sebelum 2013. Ada laporan dari masyarakat, rumah sakit, termasuk laporan dari dokter spesialis saraf bahwa ada pelayanan kesehatan yang mahal yang diklaim bisa mengatasi gangguan otak apapun gangguannya.
Pihak IDI kemudian melakukan pemeriksaan atas laporan itu. Hasilnya, dokter Terawan saat itu dinilai tidak punya kemampuan ilmiah. "Disuruh sekolah. Sekolah di UGM, nggak ada yang mau bimbing karena dia enggak bisa bikin proposal. Kemudian dibantu di Unhas (Universitas Hasanuddin). Katanya selesai tapi hasil kajiannya tidak bisa dipakai juga," ujar Pandu yang dihubungi merdeka.com, 31 Maret lalu.
MKEK IDI, lanjut Pandu, juga mengundang pihak yang menjadi promotor doktor Terawan saat mengambil program S-3 kedokteran di Unhas. Namun hasil pemeriksaan terhadap metode DSA ditemukan banyak masalah.
"Waktu itu sudah berkali-kali dokter Terawan diminta menjelaskan. (Panggilan) pertama, kedua, mau datang. Yang ketiga, keempat, enggak datang," kata Pandu.
Sementara Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI Beni Satria mengungkapkan, sepanjang 2015-2018, MKEK sendiri sudah menerima laporan terhadap tindakan metode brainwashing Terawan.
Beni menyebut, MKEK IDI mengundang Prof dr Moh Hasan Machfoed dan Prof Dr Teguh Pranakusuma termasuk juga pengurus pusat dokter spesialis saraf dari Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) untuk meminta tanggapan pada 2 Oktober 2015. Tak hanya itu, IDI mengundang dan memeriksa Prof Dr Irawan Yusuf yang menjadi promotor disertasi Terawan pada 11 Oktober 2016.
Dari laporan awal, sepanjang 2013-2016, terlapor dokter Terawan melakukan tindakan terapi pengobatan terhadap stroke dengan metode brainwashing. "Saat itu evidence based medicine-nya belum ada. Jadi basis ilmiahnya belum ada," ujar Beni.
Saat memenuhi panggilan MKEK 30 Agustus 2013, Terawan diminta menuliskan dasar-dasar tindakan medis tersebut di dalam jurnal ilmiah atau buletin resmi di RS Pusat Angkatan Darat. Terawan menyatakan menyanggupi dalam waktu 3 bulan mulai 30 Agustus 2013.
"Tapi sampai sekarang tidak laporan ke MKEK. Tim MKEK menerima laporan dugaan pelanggaran etik itu dari pengurus pusat perhimpunan dokter spesialis saraf pada tahun 2016 dan ditemukanlah keberatan dari pengurus pusat perhimpunan dokter spesialis saraf," tutur Beni dalam jumpa pers online, Jumat (1/4).
Keberatan yang dilayangkan adalah, Terawan dinilai melakukan pelanggaran etik yang mengiklankan metode DSA secara berlebihan. Pengiklanan besar-besaran ini membuat keresahan di kalangan perhimpunan dokter spesialis saraf maupun pasien-pasien neurologi.
Beni mengatakan, total Terawan diundang MKEK setidaknya sampai 6 kali dan hanya memberikan jawaban 4 kali. "Ini yang kita nilai tidak ada itikad baik untuk datang atau berkomunikasi langsung dengan MKEK PB IDI," ujarnya.
Beni membeberkan, enam kali undangan itu, pertama Terawan disurati 5 Januari, kemudian 30 Januari, 3 Maret 2015, kemudian 30 April, kembali di 26 Mei.
"Jadi sesuai keputusan musyawarah kerja nasional IDI di Lampung 2017 lalu masalah TAP ini juga dilaporkan. Bila TAP (Terawan Agus Putranto) tidak datang maka sidang kemahkamahan PB IDI akan tetap dilakukan tanpa kehadiran TAP. Ini tertuang dalam SK Ketua MKEK," jelasnya.
Penjelasan Ahli soal Metode DSA
Hingga 2018, MKEK PB IDI telah meminta keterangan dari Ketua perhimpunan dokter spesialis saraf (Perdossi) Prof Dr Muhammad Hasan Machfoed, kemudian Prof Dr Sudibyo Sostroasmoro, saat itu Ketua komite penilaian teknologi kesehatan Kemenkes. Ahli lain yang diundang adalah Prof Dr Teguh Ranakusuma, termasuk ketua biro hukum pembelaan hukum anggota PB IDI Dr Nazar spesialis bedah. Saksi ahli lain Prof Dr Irawan Yusuf yang merupakan promotor saat Terawan berkuliah S-3 di Unhas.
Hasilnya, lanjut Beni, berdasarkan penjelasan para ahli tersebut, peran utama metode brainwashing yang dipromosikan Terawan meningkatkan cerebral blood flow pada pasien yang mengalami stroke iskemik, memperbaiki suplai darah ke jaringan yang mengalami kerusakan sehingga oksigen nutrisi obat bisa sampai dan memperpanjang window period.
"Jadi gejala klinis membaik. Tetapi simultan (hasil) yang ditonjolkan terlalu berlebihan sebagai alternatif terapi stroke yang standar sehingga ini mempertajam kembali kontroversi terkait tindakan brainwash," jelasnya.
Para ahli juga sepakat, lanjut Beni, temuan dokter Terawan belum bisa dijadikan terapi alternatif untuk menggantikan terapi standar, tapi hanya meningkatkan cerebral blood flow sehingga terapi lain dapat dilakukan secara terencana. "TAP diminta harus bertindak agar sesuai dengan kompetensi dan kewenangan untuk menghilangkan kontroversi ini," ujarnya.
Dalam penjelasan yang dikutip Beni, Prof Dr Muhammad Hasan Machfoed menyatakan metode DSA di bidang neurologi sebenarnya sudah ada dengan istilah cerebral angiography, tapi ini digunakan untuk diagnosis bukan untuk terapi.
"Di rumah sakit tipe A, DSA bukan hal yang baru. Tetapi sudah rutin dilakukan sebagai sarana diagnosis, bukan terapeutik (pengobatan)," kata Beni.
"Kenyataannya, ini potensi pelanggaran etik saat itu. Promosi brainwashing luar biasa di medsos dan media massa, sehingga masyarakat muncul anggapan bahwa cuci otak seperti cara baru yang perlu dicoba. Terutama untuk penderita stroke," lanjut Beni.
Dari penjelasan para ahli tersebut, MKEK menilai, klaim dokter Terawan atas terapi DSA dinilai berlebihan, tidak sesuai dengan guide line panduan manajemen stroke yang sudah ada.
Prof Machfoed, seperti dituturkan Beni, melaporkan bahwa Terawan telah melakukan cuci otak pada pasien stroke perdarahan di mana pemberian obatnya ada heparin yang merupakan kontra indikasi dan kondisi pasien tidak membaik.
"Jadi seorang sejawat di RS Soetomo telah melakukan brainwashing dengan metode DSA tapi pasiennya meninggal sesudah dilakukan brainwashing sehingga setelah itu tindakan brainwashing ini dilarang untuk dilakukan lagi di RSUD Dr Soetomo sampai hari ini," kata Beni.
Karena tidak memiliki bukti ilmiah, metode brainwashing Terawan dinilai oleh MKEK sebagai pelanggaran etik. Prosedur brainwashing untuk terapi dianggap melanggar aspek etik kedokteran yang semestinya.
"Ini diperlukan tindak lanjut untuk menghindari masyarakat dari tindakan brainwashing untuk tujuan terapi khususnya di era JKN yang saat itu sedang kita bangun sampai hari ini juga," jelas Beni.
Revisi UU Kedokteran
Pemecatan dokter Terawan oleh IDI menuai reaksi keras sejumlah kalangan. Termasuk dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly. Dia berencana melakukan review dengan menyatukan UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Politikus PDIP itu mengatakan, pemberian izin praktik dokter lebih baik menjadi domain negara dari pada diberikan kepada satu organisasi profesi.
"Saran kami setelah mendengarkan masukan banyak pihak, kami nilai perlu revisi. UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran akan direview lagi untuk kami satukan agar nanti lebih baik penataannya," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (31/3).
Yasonna menambahkan, organisasi profesi seperti IDI lebih baik menjalankan fungsi-fungsi penguatan kualitas para dokter di Indonesia. "IDI lebih bagus konsentrasi dalam penguatan dan perbaikan kualitas dokter karena saat ini banyak masyarakat yang berobat ke Singapura dan Malaysia. Triliunan rupiah kita habis untuk berobat ke luar negeri," ujarnya.
Sedangkan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad keputusan IDI berbahaya bagi masa depan kedokteran di Indonesia.
"Kenapa putusan ini berbahaya? Terus terang dengan adanya rekomendasi MKEK ini, saya khawatir akan menjadi yurisprudensi bagi masalah serupa di masa yang akan datang. Sehingga menyebabkan dokter-dokter kita takut untuk mencoba dan berinovasi dengan berbagai riset-risetnya," kata Dasco, Minggu (27/3).
Menurut Dasco, IDI seharusnya bisa lebih mengayomi dan membina para anggotanya, serta terbuka dengan berbagai inovasi di bidang kesehatan, farmasi dan kedokteran. Dia juga akan meminta Komisi IX DPR dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) untuk merevisi dan mengkaji secara komprehensif terkait UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran.
"Saya pikir evaluasi dan penyesuaian dari sebuah UU adalah hal yang biasa ya agar UU terkait itu lebih relevan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan dari masyarakat saat ini," ujar Dasco.
Evaluasi juga akan dilakukan terhadap organisasi profesi kedokteran yang ada dalam UU agar sesuai dengan aspirasi dan masukan dari masyarakat. "Sehingga IDI dan juga organisasi profesi kedokteran lainnya itu tidak terkesan super body dan super power," ujar Dasco.
Menanggapi reaksi wakil rakyat dan pemerintah tersebut, Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI Beni Satria menyatakan, fungsi IDI adalah pembinaan etik kedokteran yang merupakan amanah UU praktik kedokteran pasal 37. Demikian juga soal rekomendasi izin praktik di pasal 38.
Rekomendasi ini bermaksud untuk memastikan bahwa sebelum seorang dokter mendapatkan izin praktik, atau memperpanjang surat tanda registrasinya yang sudah habis, dia harus memverifikasi dulu keilmuannya apakah sudah up to date atau belum.
"Proses administrasi ini menjadi tanggung jawab IDI. Kalau ini dihilangkan maka kita khawatir perlindungan dan keselamatan pasien terhadap praktik kedokteran tidak akan terkontrol. Ini yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah," pungkas Beni.
(mdk/bal)