Kelindan kabar burung dan individu banal
Bagai bara dalam sekam. Perpaduan maut itu bisa menyebabkan kehancuran Indonesia.
Ketegangan Pilkada DKI jadi penyebab sosial di masyarakat. Bahkan tidak hanya di Jakarta saja tetapi menyebar ke luar daerah.Pilkada DKI memang membuat gesekan di masyarakat.
Fenomena di lapangan terlihat bahwa masyarakat tergiring oleh isu dan opini dari para elite yang memanfaatkan perhelatan pilkada ini. Sebab, para elite melihat, masyarakat di kelas menengah ke bawah gampang sekali untuk menggiring isu. Terutama bagi kalangan masyarakat yang kurang mendapatkan pendidikan khusus. Tak hanya itu bahkan, kalangan terdidik pun tak jarang yang ikut terbawa arus menggoreng isu SARA. Media juga seharusnya turut andil dalam pemberitaan pilkada.
-
Kapan Pilkada DKI 2017 dilaksanakan? Pemilihan umum Gubernur DKI Jakarta 2017 (disingkat Pilgub DKI 2017) dilaksanakan pada dua tahap, yaitu tahap pertama di tanggal 15 Februari 2017 dan tahap kedua tanggal 19 April 2017 dengan tujuan untuk menentukan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022.
-
Apa saja isu yang muncul selama Pilkada DKI 2017? Apalagi pemilihan tersebut juga diwarnai dengan isu-isu seperti agama, etnis, dan kebijakan publik.
-
Apa itu konflik, menurut sosiologi? Secara sosiologis, konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
-
Siapa saja kandidat yang bertarung di Pilkada DKI 2017? Saat itu, pemilihan diisi oleh calon-calon kuat seperti Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono.
-
Kapan Pilkada DKI 2017 putaran kedua dilaksanakan? Pemungutan Suara Putaran Kedua (19 April 2017):Putaran kedua mempertemukan pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga.
-
Bagaimana konflik antar kelompok terjadi? Konflik adalah warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Media seharusnya tidak terus memberitakan segala hal yang dapat memancing emosi masyarakat. Media merupakan medium atau penengah antara kedua belah pihak yang sedang bertarung di dalam pilkada. Walaupun isu sara menjadi senjata untuk media pembaca tetapi seharusnya media media bisa menangkal isu-isu tersebut.
Sosiolog sekaligus Ketua Yayasan Interseksi Hikmat Budiman mengatakan isu menggunakan SARA juga sejata ampuh untuk melemahkan lawan politiknya. Salah satu caranya itu mengorek-ngorek latar belakang orang. Kalau agama tidak kena, etnis, kalau etnis gak kena nanti istrinya, terus dicari-cari kesalahannya.
"Yang diuntungkan adalah kelompok-kelompok yang berada di luar parlemen, karena selama ini dia gak bisa masuk. Dia dompleng menggunakan orang lain. Di balik identitas agama, ada motif ekonomi dan bisa masuk akses ke situ," kata dia ketika ditemuimerdeka.comdi Kantor LSM Setara, Jakarta Selatan, Kamis (24/3) lalu.
Menurutnya isu sara dalam Pilkada bisa diredam yaitu dengan cara pemerintah harus tegas dalam bertindak. Dan seberapa kuat untuk mengembalikan kedigdayaan hukum.
"Tergantung isu sara ini bisa berahir kapan, tergantung masyarakat sipil juga seharunya bisa memilah mana yang isu sara dan tidak bergosip," kata Hikmat.
Hasutan SARA semakin berkembang akibat dari pemahaman masyarakat masih rendah terhadap sebuah informasi. Menurut Psikolog dari Universitas Indonesia, Dwi Prihandini Mailuhuw, setiap individu di dalam masyarakat Indonesia mudah dipengaruhi oleh opini terus disebarluaskan oleh tokoh di setiap tempat mereka tinggal.
"Yang kita tangkap ini, jadi artinya opini dari para leader oleh masyarakat awam dan tidak memiliki pendidikan yang cukup interaksi dan paparan lingkungan. Termasuk juga dia tidak punya bekal politik yang cukup. Akibatnya masyarakat akan mudah tergiring," kata Dwi kepada merdeka.com saat dihubungi beberapa waktu yang lalu.
Dia juga menambahkan, masyarakat yang tidak memiliki pendidikan yang cukup akan menuduh seseorang. Jika tidak cukup pendidikan lanjut Dwi selain akan mudah terhasut masyarakat hanya percaya pada satu sumber tanpa ingin mengetahui sumber yang lain. Kondisi politik saat ini, menurut Dwi, masyarakat harus memiliki banyak informasi yang cukup.
Dwi menyatakan di Pilkada DKI, kebencian terhadap salah satu pasangan calon ini bisa mewabah. Karena menurutnya, emosi yang awalnya hanya dari satu orang akan menular kepada yang lain. Dia pun menilai bahwa media pun ikut berperan dalam hal kebencian yang menular ini.
Peran media juga tidak harus terus-menerus membiarkan kebencian terus menular ke masyarakat lainnya.Sangat disayangkan bahwa, peran media dalam hal ini seharusnya memegang porsi yang cukup penting.Masyarakat perlu edukasi yang benar. Karena masyarakat itu bisa menangkap dan meniru dari media.
"Bagaimana media mengemas itu kepada masyarakat kemudian ada narasi informasi," ungkapnya.
Sementara menurut Guru Besar Komunikasi Politik dari Universitas Pancasila Andi Faisal Bakti mengatakan media saat ini lebih banyak memuat konflik. Karena media, menurutnya masih sering memiliki sikap bad news is good news.Media seharusnya mengedepankan aspek pencerahan masyarakat. Kalau dikemukakan konflik terus jadi benci dan semakin membenci minoritas.
"Seharusnya media tidak selalu menunjukkan konflik, tetapi harus menunjukkan muatan kedamaian," kata Andi.
Baca juga:
Anies ingin RW jadi ujung tombak perangi narkoba
Tak blusukan, Ahok fokus rapat keuangan & saksi di Jalan Proklamasi
Fery Baswedan sosialisasikan dokter keliling gratis
Sandi minta pemeriksaan ditunda, Djarot sindir 'apa berat banget?'
Anies sebut baru kali ini Pilgub DKI ada kemenangan 90% di 500 TPS