Kritik Jokowi kritik media
Jokowi suka media tunjukkan masalah Jakarta. Berita Jokowi bisa bikin frustrasi warga di luar Jakarta.
Minggu (18/11) lalu, saat sebagian warga Jakarta sibuk menghadapi banjir yang menyerbu jalan dan rumah-rumah, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, justru pergi ke Bandung. Urusannya membantu pasangan Rieke-Teten untuk memenangi pilgub Jabar. Maka, kritik kepada Jokowi pun tepat dilontarkan.
Media online ini mengingatkan Jokowi akan janjinya mengatasi banjir. Tentu siapa pun tidak bisa mengatasi banjir Jakarta dalam waktu singkat, apalagi Jokowi-Ahok baru menjabat sebulan. Namun apa yang disampaikan merdeka.com sesungguhnya adalah langkah-langkah kecil dan konkret yang seharusnya sudah bisa dilakukan Jokowi.
Pertama, merintis pembangunan kolam penampung atau empang di setiap kecamatan atau bahkan kelurahan; kedua, menjajaki pembelian daerah tangkapan air di hulu; ketiga, mendiskusikan pembentukan otoritas pengendali banjir, dan; keempat, membahas integrasi drainase dengan kanal banjir.
Keempat langkah itu langsung bisa dilakukan setelah janji dinyatakan. Lebih-lebih usai pelantikan Jokowi menyadari, sebentar lagi hujan datang. Di Jakarta puncak hujan adalah Februari. Jakarta punya siklus lima tahunan banjir besar, dan tahun ini jatuh siklus itu. Jadi, kenapa Jokowi tidak segera bertindak merealisasi janji-janji kecil itu?
Kemarin, Senin (19/11), sekitar dua jam setelah merdeka.com menaikkan berita "4 Janji Jokowi soal banjir yang belum dipenuhi" itu, saya mendapat pesan dari kawan melalui BBM. "Merdeka mantabs. Jempol dua. Kita harus tetap kritis pada Jokowi. Itu yang dia maui. Beliau takut terlena pemberitaan media."
Pengirim pesan cukup dekat dengan Jokowi. Di salah seorang yang sering jadi tempat keluh kesah sekaligus kawan diskusi saat memimpin Solo. Saya mempercayainya, karena beberapa informasi yang disampaikan menjelang dan selama kampanye gubernur, tidak ada yang meleset.
Dua pekan lalu, dalam pembicaraan melalui telepon, dia menuturkan kerisauan Jokowi atas liputan media terhadap seluruh aktivitasnya. Bukan privasi diri yang dirisaukan, tetapi salah tafsir atas pemberitaan. Spontanitas warga mungkin juga bisa berkurang. Dalam soal ini Jokowi sendiri berujar, “Sudahlah mbok saya jangan diikuti terus, nanti dikira pencitraan. Biarkan saya bebas menemui warga.”
Jokowi lebih senang melihat media melaporkan hal-hal yang jelek tentang Jakarta agar dia bisa bertindak cepat mengatasi masalah. Di sini Jokowi sama dengan pendahulunya, Ali Sadikin, yang menjadikan media sebagai panduan kerja. “Kalau media menunjukkan banyak keburukan Jakarta dan kritis terhadap kebijakan dan kritis terhadap Jokowi, itu justru yang diharapkannya,” kata kawan saya.
Masalahnya media kadang punya logika sendiri. Kesederhanaan, keterusterangan, kesungguhan atau apa pun yang kemudian disebut dengan gaya kepemimpinan Jokowi, selalu menarik perhatian publik, sehingga apa pun yang dilakukan Jokowi tak lepas dari liputan media.
Mungkin wartawan koran, radio dan televisi, hanya bisa menebak-nebak bahwa berita Jokowi banyak diminati. Tapi bagi wartawan media internet sudah pasti bisa mengetahui berita apa saja yang menarik pembaca, karena jumlah pembaca tercatat dengan jelas. Di situlah berita Jokowi selalu memiliki pageview atau klik tinggi.
Rupanya orientasi media Jakarta untuk memenuhi hasrat (warga Jakarta) akan berita Jokowi itu juga menimbulkan masalah. Saya perhatikan status BBM kawan saya yang tinggal di sebuah kota di Sulawesi sapanjang Minggu-Senin kemarin. “Senang rasanya melihat televisi tidak dipenuhi gambar Jokowi.”
Kenapa, saya tanya. “Saya tidak anti-Jokowi, mengaguminya secara diam-diam malahan. Tapi kalau setiap hari melihat berita Jokowi, kami semakin frustrasi. Kontras dengan di sini. Pemimpin kami tak punya hati. Padahal itu pilihan kami sendiri.”