Memanfaatkan konsumen jadi sales force
Para calon konsumen yang sudah kumpul, tidak ditawarkan unit apartemen. Namun, diberi pelatihan cara menjual unit.
Seorang teman dari Surabaya pekan lalu menawari saya sebuah apartemen di kotanya. Dia tidak datang khusus untuk urusan ini. Tapi kebetulan ada tugas kantornya ke Jakarta, maka dimanfaatkan untuk menemui banyak orang untuk menawarkan apartemen.
"Memangnya kamu sekarang jadi agen property?" tanya saya. "Bukan begitu," jawab teman saya. Dia menceritakan bahwa dia beli satu unit apartemen agar bisa dekat dengan tempat kerja. Tipenya tidak gede, tapi harga terjangkau karena memang untuk kelas menengah, sekitar Rp 250 jutaan.
Dalam pertemuan dia jelaskan, bahwa pengembang tersebut dalam memasarkan apartemennya cukup unik. Dia mengundang calon konsumen dengan cara mengirim SMS, whatsapp, atau e-mail melalui database calon pelanggan yang didapatnya di beberapa pameran.
Para calon konsumen yang sudah kumpul, tidak langsung ditawarkan unit apartemen. Namun, diberi pelatihan cara menjual unit. Semula teman saya itu boring, wong niat mau membeli kok malah diberi pelatihan.
Ternyata, dalam pelatihan itu dikemas sedemikian menarik, dan diberikan skema-skema pembelian apartemen yang harganya bisa menjadi murah, bahkan bisa gratis, bila konsumen bisa menjualkan beberapa unit atau bisa mencapai sales tertentu. Konsumen yang mau menjualkan, tidak disibukkan dengan administrasi, tapi cukup memberikan calon pembeli dan seluruh urusan diselesaikan pengembang.
Pengembang ini tidak sering melakukan pameran, hanya beberapa kali saja, bahkan tidak memanfaatkan tenaga penjualan agen property/perumahan seperti kebanyakan pengembang. Bahkan tidak punya tenaga marketing/sales. Punya dua orang, itupun lebih tepat disebut sebagai trainer pemasaran (sales force). Masih menurut teman saya, unit apartemen tersebut laris manis. Dari sekitar 100 yang diundang, sebanyak 40 orang membeli dan sebagian lainnya memberikan komitmen. Yang memberikan komitmen pun juga siap menjualkan unit.
Tidak cuma berhenti di penjualan unit property, para konsumen itu juga dilibatkan untuk menjual produk bisnis usaha yang lain, seperti kendaraan, perumahan, dan furniture.
Model marketing seperti ini, mengingatkan kita pada model MLM. Lalu, kita pun ingat gaya-gaya AmWay, KLink, Tupperware atau Sophie Martin. Nama yang disebut terakhir adalah produk tas, kosmetik, fashion, parfum, perhiasan, sepatu, dan lain-llin produksi asli Indonesia. Namun memakai nama aroma Paris sehingga digandrungi banyak remaja atau keluarga baru dari kelas menengah. Jadi, bukan buatan Paris.
Namun tahukah Anda, bahwa setiap kali katalog produk Sophie Martin terbaru terbit, dalam waktu singkat ludes. Maka sales force yang juga konsumen itu bisa menjadi amplifier produk. Artinya mereka berfungsi juga sebagai pendengung informasi produk terbaru. Dalam tempo singkat, ribuan katalog sudah berada di tangan member. Tahun 2011, jumlah outlet Sophie Martin mencapai 250 bisnis center lebih dan membernya sekitar 1,5 juta orang. Mereka menjadi pejuang fanatis yang siap menyerang calon-calon konsumen.
Bedanya, apa yang dilakukan Sophie Martin (yang juga punya brand Sophie Paris) berupa MLM yang fungsinya seperti agen, sedangkan pengembang apartemen yang diceritakan teman saya itu bukan membentuk jaringan MLM, akan tetapi membuat komunitas konsumen sekaligus komunitas sales force.
Hal ini mungkin bukan hal baru namun dalam penjualan property, adalah sebuah terobosan. Inilah sebuah bisnis proses dan model bisnis menarik yang masih bisa digali. Intinya, kreativitas tidak hanya tentang membuat model atau desain produk, tetapi kreatif dalam hal temuan bisnis model penjualan yang unik, terbuka luas. Tergantung Anda bagaimana menggali ide-ide bisnis menarik.
Dengan demikian, bila selama ini konsumen hanya sebagai obyek (atau korban), secara tidak langsung menjadikan konsumen sebagai subyek. Artinya, konsumen yang juga penghuni sekaligus pemilik unit apartemen, bukan saja sebagai konsumen (pembeli) akan tetapi sekaligus menjadi tenaga penjualan (sales force).
Apakah Anda punya cerita atau ide bisnis bentuk lain, silakan kirim ke redaksi@merdeka.com.***