Monas (4): Menerka emas Markam
Hingga kini tidak ada bukti atau kuitansi yang membenarkan Teuku Markam memberi bantuan emas buat Monas.
Furqon Ramadhan menggeleng ketika mendengar nama Teuku Markam. Mahasiswa semester dua di Universitas Indraprasta, Jakarta, itu memicingkan mata, mempertanyakan kesahihan cerita, bahwa Teuku Markam itu saudagar kaya asal Aceh yang menyumbang 28 kilogram emas buat Monas. ”Soekarno saya tahu, kalau Markam, saya baru dengar,” kata dia kepada merdeka.com di museum diorama perjuangan kemerdekaan Monumen Nasional (Monas), pertengahan bulan lalu.
Nama Teuku Markam memang seperti lenyap dalam sejarah pembangunan Monas. Annisa, pengunjung lainya berkata, sejak duduk di sekolah dasar hingga mahasiswa, belum pernah ada guru atau dosen bercerita tentang Markam. Bahkan Nursamin, bagian Informasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelola Monas, pun mengaku tak tahu Markam adalah saudagar kaya penyumbang emas itu.
Menurut dia, ada banyak versi sejarah pembangunan monumen yang menjadi ikon Ibu Kota Jakarta ini. Setahu dia, dalam sejarah, nama Soekarno paling populer sebagai pemrakarsa pembangunan. Ide dasarnya dari Sarwoko Martokusumo. Ada pendapat berbeda, gagasan pembangunan Monas juga dari Soekarno. ”Tapi kalau nama Markam saya tidak tahu,” ujarnya.
Anhar Gonggong, sejarawan dari Universitas Indonesia, mengaku tidak tahu soal kebenaran bahwa Markam adalah saudagar kaya yang menyumbang emas buat Monas. Namun demikian, berdasar cerita sejarah, ia membenarkan jika Markam dekat dengan Soekarno. Bersama dua saudagar kaya lain, Aslam dan Panggabean, mereka orang-orang kaya pada masa pemerintahan presiden pertama itu.
Tapi setelah Soekarno lengser dan pemerintahan berganti kepada rezim Soeharto, orang-orang kaya itu ada yang bertahan, ada juga yang namanya tenggelam. Markam, termasuk orang kaya yang disisihkan. ”Pada rezim Orde Baru, harta Markam dirampas oleh Soeharto.” tuturnya. Namun dia enggan bercerita penyebabnya.”Jujur, saya kurang paham kalau soal Monas ini dan Markam ini.”
Yuke Ardiati, Anggota Tim Ahli Cagar Budaya dan Tim Pemugaran Monumen, mengaku pernah membaca cerita tentang Markam yang menyumbang emas untuk Monas di Internet. Dia juga sempat mendengar dari beberapa orang. Namun hingga kini dia belum mendapatkan bukti-bukti yang membenarkan cerita itu. Belum ada saksi mata proses penyerahan emas dan bukti kuitansi. ”Andai benar, ada atau tidak saksi mata peleburan emas sampai proses pelapisan pada lidah api, jangan-jangan emasnya tidak dipakai?” ujarnya.
Merdeka.com yang menelusuri jejak keluarga Markam tidak mendapat banyak informasi. Dimulai dari rumah kediaman Teuku Syauki Markam, salah satu putra saudagar Aceh itu, di Jalan Bhakti Nomor 48, Kelurahan Cilandak Timur, Pasar Minggu. Rumah tembok itu berdiri di halaman bekas pabrik PT Markam Jaya. Indah Yuliarti, bini dari Syauki, menolak menjelaskan soal Markam dan Monas.”Silakan tanya bapak saja, itu sejarah masa lalu. Saya tidak bisa, takut salah,” kata dia.
Dia lantas menunjukkan alamat kantor suaminya di kompleks rumah toko (ruko) PT Superindo, Jalan Hayam Wuruk nomor 103 H, Jakarta Pusat. Salah satu ruko tua; cat putihya memudar menjadi kekuning-kuningan, itu adalah kantor pemasaran tempat Syauki Markam bekerja selama satu dasawarsa. Ruang kantor yang disekat-sekat dengan triplek ini berada di lantai dua. Lantai dasar digunakan sebagai kantor notaris.
Sofa hitam khusus tamu dibiarkan berdebu. Menurut sekretarisnya, Mungkiatun, perusahaan Syauki bergerak pada bidang penyewaan gedung kantor dan gudang. Di situlah klien-klien bosnya datang. Sayang, Syauki tidak bisa ditemui. Mungki mengatakan, bosnya sedang pergi ke luar kota. Dia tidak bisa memastikan kapan si bos kembali.“Kadang tidur di kantor, kadang tidur di hotel,” kata dia.
Mungki mengaku hafal betul perilaku bosnya yang tidak pernah bisa dihubungi itu. Dia lantas memberi dua nomor telepon kepada merdeka.com. Benar saja, hingga berita ini diturunkan, beberapa kali nomor Syauki dihubungi tidak diangkat. Begitu juga pesan pendek minta wawancara tidak dibalas.”Bapak tidak pernah bisa dihubungi. Kalau ada yang penting, biasanya dia menelepon ke kantor,” kata Mungki.