Obsesi kuasa penyelamat keluarga Cendana
Wiranto dan Hary Tanoe tak hendak membangkitkan kembali Cendana, tetapi kejayaan diri sendiri.
Proses politik berlangsung cepat, mengejar jadwal Pemilu 2014 yang kian dekat. Akhir Januari 2013 lalu, Hary Tanoesoedibjo (HT) keluar dari Partai Nasdem. Sejurus kemudian dia masuk Partai Hanura. Lalu, Selasa (2/7) kemarin, HT dinobatkan sebagai calon wakil presiden Partai Hanura, mendampingi Wiranto.
Aksi politik ini terbilang nekat. Partai Hanura adalah partai gurem. Dalam beberapa survei terakhir, partai ini tetap gurem, meskipun elektabilitasnya sedikit meningkat. Posisinya masih kalah dengan Partai Nasdem, yang baru dibentuk dua tahun lalu. Nama Wiranto pun tidak begitu populer sebagai calon presiden, apalagi HT.
Tapi mengapa Wiranto dan HT berani maju menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden? Bukankah UU No. 42/2008 mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik memiliki sedikitnya 20% kursi DPR atau meraih suara sedikitnya 25% dalam pemilu legislatif untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden?
Pada Pemilu 2009, Partai Hanura meraih 3.922.870 suara, atau 3,77%. Meski lolos ambang batas nasional 2,5% untuk masuk DPR, Partai Hanura jadi partai paling buncit dalam perolehan kursi di antara sembilan partai penghuni DPR. Partai ini hanya punya 18 kursi atau 3,21% dari 560 kursi DPR. Sebagai partai pupuk bawang, pengaruhnya tidak terasa dalam percaturan politik di parlemen.
Masuknya HT ke Partai Hanura membawa gairah baru di dalam partai yang nyaris dilupakan orang ini. Menyadari tidak punya apa-apa untuk membesarkan partai, Wiranto dkk mempersilakan HT untuk melakukan apa saja demi membesarkan partai. HT tak hanya mendapat posisi penting sebagai ketua dewan pertimbangan, tetapi juga posisi strategis sebagai ketua badan pemenangan pemilu.
Tampilnya muka-muka baru bawaan HT dalam daftar calon anggota legislatif Partai Hanura, tidak menimbulkan gejolak. Bahkan kader-kader lama, seakan menyerahkan begitu saja masa depan Partai Hanura kepada HT dkk.
HT tidak hanya membawa orang-orangnya dari Partai Nasdem, tetapi juga uang dan media. Setoran langsung tunai didapat dari HT, setelah Wiranto menyematkan jaket Partai Hanura. Sebagai pemilik Grup MNC (RCTI, MNC TV, Global TV, Indivision, Radio Sindo, dan Koran Sindo, dll), HT menjanjikan pemanfaatan seluas-luasnya medianya untuk kampanye Partai Hanura.
Partai Hanura langsung bergeliat. Simbol partai mewarnai layar televisi Grup MNC setiap hari. Wajah Wiranto dan HT, menyapa para pemirsa, mempromosikan diri, betapa hebatnya mereka. Tidak ada yang mempermasalahkan, kecuali mereka yang tidak punya televisi. Toh hal itu juga dilakukan Partai Golkar dan Aburizal Bakrie dengan TVOne dan ANTV, Surya Paloh dengan Metro TV, dan Partai Demokrat dan SBY dengan TransTV.
Elektabilitas Partai Hanura mulai naik, demikian juga popularitas Wiranto. Meski masih kecil, kenaikan itu menjanjikan harapan. Apalagi mereka belum maksimal memanfaatkan kampanye di media yang dikuasainya. Inilah yang membuat Wiranto dan HT percaya diri. Tanpa banyak diketahui orang luar bagaimana pembahasannya di internal partai, Partai Hanura pun mendeklarasikan pencalonan Wiranto-HT.
Jenderal Wiranto adalah Panglima ABRI pada masa akhir kekuasaan Presiden Soeharto. Dia adalah loyalis keluarga Cendana, yang berhasil menyingkirkan Letjen Prabowo, Panglima Konstrad saat itu, dari pusaran kekuasaan. Prabowo dianggap pengkhianat Cendana, sementara Wiranto menjadi calon presiden Partai Golkar pada Pemilu 2004.
Kalah bersaing dengan SBY-Kalla dan Mega-Hasyim, Wiranto merasa dikerjain Ketua Umum Partai Akbar Tanjung (yang kalah dalam konvensi Partai Golkar). Pasca-Pemilu 2004, Wiranto mendirikan Partai Hanura. Karena perolehan suara kecil, maka dengan senang hati, Wiranto menerima tawaran Partai Golkar untuk jadi calon wakil presiden mendampingi Jusuf Kalla. Pasangan ini kalah telak pada Pemilu 2009.
Rupanya Wiranto tidak kapok jadi calon presiden. Dana besar dan pemanfaatan media yang dijanjikan HT, membuat Wiranto optimistis. Tapi ada faktor lain yang membuat mereka tampak kompak, seiya sekata dalam menghadapi pemilihan mendatang, yakni sama-sama penyelamat keluarga Cendana.
Jika Wiranto menyelamatkan keluarga Cendana dari gempuran politik gerakan reformasi, HT menyelamatkan keluarga Cendana dari kembangkrutan bisnis akibat lilitan krisis moneter. Tanpa kehadiran HT, bisnis keluarga Cendana, khususnya yang dikuasai Bambang Trihadmodjo dan Tutut Hardijanti Rukmana, pasti tinggal kenangan.
Sentuhan HT, membuat RCTI dan TPI berkembang menjadi konglomerasi media di bawah naungan Grup MNC. Tak hanya menjadi mesin uang - di mana Bambang dan Tutut ikut menikmatinya - RCTI dkk kini menguasai pangsa permisa televisi terbesar.
Wiranto telah merasakan betapa nikmatnya kekuasaan, HT tentu saja tidak puas hanya jadi orang bisnis. Mereka sepakat untuk menggapai kekuasaan tertinggi melalui pemilu. Buat mereka mungkin tidak ada niat untuk membangkitkan kembali kejayaan keluarga Cendana. Itu sudah jadi masa lalu. Mereka harus menggapai masa depan untuk kejayaan diri sendiri.