Paedofil jadi dewa
"Kemiskinan dientaskan, jadi pahlawan," ujar Luh Anggraeni.
Di dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Denpasar, koordinator Jaringan Peduli Anak Korban Paedofil (JPAKP), Luh Putu Anggraeni terheran-heran menyaksikan terdakwa kasus paedofilia Jan Jacobus Fagel bersendau gurau dengan korbannya. Tak nampak dendam di mata para korban dan orangtua terhadap Fagel. Padahal warga negara Belanda itu telah mencabuli empat anak perempuan berusia rata-rata, 9-13 tahun.
Bukan hanya di ruang sidang, keakraban Fagel dan para korbannya juga terlihat di ruang tahanan. Korban dan orangtua beramai-ramai menengok Fagel di ruang tahanan. Luh tak habis pikir, korban dengan trauma pelecehan seksual, bukannya melawan. Namun mereka justru balik membela. Fagel dipuja seperti dewa pemberi kehidupan bagi korban, orangtua, dan juga tokoh desa.
"Keluarga si anak menarik pengakuan. Karena si bule sudah menyekolahkan, membiayai anak mereka," ujar Luh Anggraeni saat berbincang dengan merdeka.com, Selasa pekan lalu.
Padahal menurut Luh Anggraeni, Saat kasus Fagel dibawa ke meja hijau, delapan Lembaga Swadaya Masyarakat memberikan bantuan kepada korban. Kedelapan LSM itu adalah, Lentera Anak Bali, Yayasan Sahabat Anak Bali, Lembaga Bantuan Hukum Bali, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), Pusat Pemberdayaan Terpadu Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Bali & Kota Denpasar, Yayasan Manikaya Kauci, Paralegal LBH APIK Bali, dan Paralegal LBH Bali. Mereka menyayangkan langkah para korban dan orangtuanya mencabut laporan kasus pencabulan itu.
"Ketika di pengadilan, semua dibantah korban," ujar Luh Anggraeni.
Kasus Fagel memang bukan satu-satunya perkara tak selesai di meja hijau setelah berhasil meluluhkan hati korban dan keluarga. Dia tidak heran jika beberapa pelaku paedofil, khususnya Warga Negara Asing, bebas dari jerat hukum. Kebanyakan mereka berlindung di balik dukungan masyarakat. Dukungan itu bukan tanpa sebab, pelaku melakukan pendekatan ke masyarakat sebagai orang dermawan. Pelaku tak segan-segan untuk membantu pemberdayaan ekonomi dan pendidikan di daerah terbelakang dan tergolong miskin.
"Kemiskinan dientaskan, jadi pahlawan. Jadi guru private gratis, ajarkan anak-anak desa, memberi sumbangan ke anak-anak dan desa," tutur Luh. Dia pun mencontoh salah satu daerah di Bali menjadi surga bagi para Paedofil. "Misalnya di Buleleng, dia tinggal di atas bukit, tiap hari ajak anak-anak berenang di rumahnya. Di Karangasem, mereka (pelaku) bantu warga desa. Pedofil aman di Karangasem karena dilindungi warga,"
Luh Anggraeni pun teringat kasus paedofil warga negara Jerman sepuluh tahun lalu. Pelaku bebas berkeliaran setelah pengacara terdakwa mendekati korban dan keluarga. Padahal ada pelaku mencabuli sembilan korban. Pengacara pelaku rupanya mengungkit kebaikan termasuk juga ikut membangun desa dan memberikan pendidikan. Ironisnya, pengacara itu seolah mengancam jika dibawa ke pengadilan akan mempermalukan keluarga dan korban. Akhirnya semua korban dan keluarga diberi santunan masing-masing Rp 10 juta.
Menurut Luh kasus kekerasan seksual terhadap anak di Bali semakin sulit diungkap karena ada kepercayaan salah terhadap para pelaku. Apalagi, di mata masyarakat Bali, turis asing dipandang sebagai dewa. Mereka dianggap baik karena menyayangi anak-anak. Padahal menurut Luh itu hanya modus. "Akhirnya di persidangan tidak ada korban. Waktu tahun 2012 kami temui korban, otak mereka sudah penuh dengan sensasi pencabulan," kata Luh terheran heran.
Pendiri Committee Against Sexual Abuse (CASA), Prof Luh Ketut Suryani pun hampir tertipu dengan kebaikan hati pelaku paedofil. Suryani tak ingat kejadiannya. Namun dia menceritakan jika saat itu ada rekannya asal Jerman datang ke Bali untuk memberikan pelatihan peningkatan kualitas manajemen bagi manajer hotel. Ketika itu Suryani bertemu dengan pelaku. Dalam pertemuan itu dia melihat pelaku membawa anak-anak jalanan dari Kuta. Mereka diberi pakaian, diajak menginap di hotel.
Awalnya dia anggap kebaikan pelaku merupakan hal biasa. Namun belakangan, Suryani baru tahu jika pelaku mencabuli anak-anak itu dari berita di koran. "Seminggu setelah itu ada satu anak yang dipajang di koran. Saat itu saya baru tahu dia (WN Jerman) terlibat masalah kekerasan seksual pada anak-anak," ujar Suryani.
Sejak saat itu, Suryani mulai mendalami modus digunakan pelaku paedofil sebelum beraksi. Menurut dia, sebelum beraksi para pelaku sebelumnya melakukan pendekatan dengan korban. Cirinya ialah memberikan uang termasuk juga membelanjakan pakaian. Selain modus itu, Suryani juga mengatakan ada modus lain dilakukan pelaku paedofil. Misalnya seperti di Singaraja. Pelaku paedofil menjadikan korban sebagai anak angktnya. Dia juga tidak segan membelikan rumah dan membiayai pendidikan si korban. Pelaku juga memberikan uang ke korban dan orangtua agar mereka percaya.
"Nah kalau sudah nyaman biasanya baru dijadikan korban, misalkan di sodomi pelan-pelan, si anak teriak sakit, besoknya diajak lagi, anak itu nangis terus dikasih uang, lupa lagi mereka kejadiannya," tutur Suryani.
Ada ciri-ciri khusus bagi para pelaku Paedofil menurut Suryani. Umumnya para pelaku mengincar anak-anak di bawah umur. Dalam bukunya bertajuk 'Pedofil Penghancur Masa Depan Anak', Suryani menjelaskan berapa klasifikasi paedofil. Pertama yaitu, homosexual paedofilia (untuk yang menyenangi lelaki saja), heterosexual paedofilia (untuk yang menyenangi perempuan saja) dan bisexual paedofilia (untuk yang menyenangi lelaki dan perempuan).
Dari klasifikasi itu, Suryani menjelaskan prosentasenya. Kebanyakan 9-40 persen merupakan homosexual paedofilia. "Paedofil memburu anak laki-laki memilih anak-anak dengan usia antara 10-13 tahun," ujar Suryani.