Pemilih Jokowi ketahuan dari total pembeli baju kotak-kotak
Tim kampanye Jokowi lebih disiplin dan cerdas.
Philips J. Vermonte, peneliti politik CSIS, Jakarta, menilai ada beberapa kemajuan dalam pemilihan Gubernur di DKI Jakarta tahun ini, termasuk soal strategi tim sukses enam pasangan calon. Mulai dari mengandalkan relawan di lapangan, mencuri hati pemilih muda, tidak menggratiskan atribut kampanye, hingga perebutan kantong suara mestinya dimenangkan oleh Gubernur Fauzi Bowo.
Jokowi menggunakan strategi kampanye dari rumah ke rumah, persis seperti tim kampanye Barack Hussein Obama saat menang pemilihan presiden empat tahun lalu. "Karena ada obrolan, lebih mudah mempengaruhi dan mengambil simpati orang," kata Philips.
Berikut penjelasan Philips saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di lobi Hotel Twin Plaza, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (12/7) siang:
Bagaimana Anda menilai strategi kampanye Jokowi?
Ini hal menarik, mungkin tanda-tanda perubahan zaman kepemimpinan. Tim relawan Jokowi sangat aktif. Semuanya anak-anak muda dan mau bekerja di lapangan. Berarti dia berhasil mendekati pemilih muda. Kalau kita bisa menjaring pemilih muda, kemungkinan kita juga bisa menjaring pemilih perempuan, ibu-ibu, dan lain-lain. Kecenderungannya, ibu-ibu itu lebih ingin mendapat solusi tanpa curiga. Maka ibu-ibu itu lebih mendengar anak-anaknya. Ini hanya kecurigaan saya karena belum ada penelitian tentang itu.
Apakah pemilih perempuan dan ibu rumah tangga tidak banyak yang memilih Fauzi Bowo?
Dari data survei, pemilih incumbent (Fauzi Bowo) sebagian besar ibu rumah tangga karena (mereka) perhatian pada dua hal, soal kesehatan dan pendidikan. Sebetulnya, prestasi Fauzi Bowo di bidang kesehatan dan pendidikan. Harusnya dia bisa memanfaatkan itu. Tapi karena terlalu sibuk menghadapi berbagai macam serangan, akhirnya dia kalah pada bagian mestinya dia menang.
Tapi kalau disarikan, tim Jokowi lebih disiplin menjalankan strategi kampanye dengan dana terbatas bila dibandingkan dana kampanye incumbent. Tim Jokowi lebih disiplin dalam berkampanye dan lebih cerdas.
Berapa jumlah dana kampanye masing-masing pasangan calon?
Saya tidak tahu.
Apa ada hubungan antara jumlah belanja kampanye dengan hasil suara didapatkan?
Pada 2009, saya pulang ke Indonesia dari Amerika Serikat untuk penelitian lapangan disertasi. Saat itu menjelang pemilihan presiden dan masa kampanye. Seorang teman saya masuk tim suksesnya Jusuf Kalla. Saat itu incumbent-nya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saya bilang ke teman saya, pemenangan pemilu untuk kandidat incumbent uangnya pasti banyak, seperti SBY saat Pemilu 2009. Kalau calon lain, seperti Jusuf Kalla, ikut meladeni berkampanye di televisi, uangnya pasti habis. Tidak bisa ngalahin. Biaya kampanye konvensional di televisi dan bikin baliho itu dananya besar. Lebih baik bikin dari pintu ke pintu, kecil tapi ada di mana-mana. Demikian juga tim relawan harus dibentuk agar lebih efektif.
Beberapa penelitian di Amerika Serikat menunjukkan kampanye dari rumah ke rumah lebih efektif. Karena ada obrolan, lebih mudah mempengaruhi dan mengambil simpati orang. Waktu itu saya bicara hanya sebatas teman saja, bukan siapa-siapa.
Apakah itu dilakukan tim relawan Jokowi?
Hal itu persis dilakukan Jokowi sekarang. Tim relawannya besar sekali, 45 ribu orang. Bayangin saja jumlah itu. Dari 15 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS) dia punya saksi tiga orang, kadang lebih. Jumlah relawan itu belum ditambah dari mesin partai. PDIP juga mengirim tiga saksi di tiap TPS, berarti ada enam orang nongkrong di tiap TPS. Mereka semua pakai baju kotak-kotak merah. Dari situ orang lain nyaman juga melihatnya.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga punya mesin partai dan relawan seperti Jokowi, kenapa perolehan Hidayat sedikit?
Kalau itu Anda tanya PKS saja, kenapa mesinnya tidak jalan. Saya juga mau tanya juga, kenapa? Saya kira karena faktor personalitas. Kampanye dari rumah ke rumah efektif kalau memiliki dua hal. Pertama, kandidatnya memiliki personalitas bisa dijual. Kedua, relawan disiplin. Hasilnya tim Jokowi membuktikan itu.
Selama ini banyak relawan tapi dibayar mahal. Kalau tidak dikasih kaus, tidak mau bergerak. Kalau dalam tim Jokowi, anak-anak muda benar-benar punya semangat sama dengan Jokowi. Coba lihat bagaimana penjualan baju kotak-kotak itu. Coba bayangin, Anda pergi ke sebuah lokasi dan orang banyak di sana. Biasanya kalau tahu itu atribut kandidat akan minta. "Pak, bajunya bagi dong." Nah ini menariknya dalam timnya Jokowi. Dia mendidik pemilih.
Kalau ada yang minta, akan bilang, "Beli". Bener kan itu banyak yang beli? Tapi pasti ada yang bilang, "Kandidat gubernur apaan." Tapi timnya Jokowi berani bilang, "Kalau nggak mau beli nggak usah milih juga tidak apa-apa." Mereka berani bilang begitu. Cara itu efektif. Dengan begitu, jadi mudah menghitung jumlah pemilih dari jumlah baju terjual. Orang membeli baju itu mengeluarkan uang. Ada ketertarikan di dalamnya. Ini cara kampanye baru dalam mendidik calon pemilih. Sebagai peneliti, saya tertarik melihat fenomena ini.
Kalau Anda lihat penghitungan cepat dibuat LSI, SCTV, Kompas, dan lainnya, mereka hanya mengambil sampel saja. Dari 15 ribu TPS, Kompas mengambil 400 TPS, tapi tim Jokowi membentuk penghitungan nyata menghadapi pilkada ini. Saksi mereka di TPS mengirim data ke markas timnya.
Mereka memang tidak mau mengandalkan data lembaga survei?
Tidak, justru mereka lebih stabil, lembaga survei rata-rata 400 TPS, mereka malah mencapai 12 ribu TPS dan lebih cepat selesainya dari lainnya.
Berarti tim sukses Jokowi lebih siap dari yang lain?
Memang dalam pemilihan umum itu pasangan menang selalu dibilang lebih siap. Mungkin kalau Fauzi Bowo menang, akan dibilang timnya memang siap. Tapi ini lebih pada cara berbeda yang mereka pilih dan gunakan. Mungkin juga berantakan, tapi tim Jokowi berani mencoba modus baru dan ini pas. Cocok untuk kandidat baru. Dia bukan orang Jakarta dan masih muda, bersih, programnya bagus. Saya kira ini faktor yang kemudian berkumpul menjadi satu.