Pertarungan Jokowi di internal pendukung
Demi dukungan rakyat, Jokowi-JK harus menutup rapat peluang transaksi dengan kabinet bersih.
Jokowi memang tipe petarung. Meski raut mukanya menunjukkan keluguan, kata-katanya terbata-bata, dan tindak tanduknya terkesan seenaknya, namun begitu menghadapi masalah dia fokus dan tuntas.
Lihatlah, bagaimana dia meredakan ketegangan politik yang ditimbulkan oleh pertarungan kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dalam memperebutkan kursi pimpinan DPR/MPR. Banyak tokoh yang mencoba melerai, tapi tidak mempan. Tetapi begitu Jokowi turun tangan, semua selesai. Sebab, apapun dilakukan demi mencairkan ketegangan politik yang memang dikehendaki rakyat.
Pelantikan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di hadapan MPR pada Senin (20/10) lalu pun jadi momen indah. Prabowo Subianto, Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie dan beberapa tokoh yang terlibat persaingan politik selama dan sesudah pemilu presiden, mengikuti dengan khidmat acara pelantikan. Masa depan Indonesia seakan cerah karena para pemimpinnya tampak guyup rukun bersiap membangun bangsa.
Namun setelah resmi jadi presiden dan menikmati acara syukuran rakyat, Jokowi menghadapi situasi pelik. Dia harus menyelesaikan pertarungan politik internal koalisi dalam menyusun kabinet. Pertarungan ini lebih sulit untuk diselesaikan, sehingga rencana untuk membentuk kabinet secepatnya tidak kesampaian.
Di sini tidak hanya dibutuhkan kelenturan dan persuasi, tetapi juga ketegasan dan kemandirian. Padahal yang dihadapi Jokowi adalah elit politik puncak: Megawati, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, Wiranto, Sutiyoso, termasuk Jusuf Kalla yang notebene adalah wakil presidennya. Jokowi juga harus mendengar pesan-pesan para relawan, yang berkontribusi besar dalam pemenangan pemilu presiden.
Di satu pihak, Jokowi harus menghadapi tuntutan publik, dan tetap berkomitman membangun kabinet bersih, berintegritas, dan profesional; di lain pihak, dia tidak bisa menghindar begitu saja dari tekanan para elit politik dan botoh-botohnya. Di satu sisi, Jokowi harus memastikan, orang yang ditunjuknya benar-benar cocok dan mumpuni; di sisi lain, dia harus mengakomodasi orang titipan dan catatan banyak kalangan.
Padahal waktu terus berjalan. Meskipun sudah menyusun daftar kabinet beberapa pekan sebelum pelantikan, tetapi dia tidak serta merta bisa menyampaikan nama-nama itu untuk diperiksa oleh PPATK dan KPK. Ini soal kepatutan saja: tidak pada tempatnya belum resmi menjadi presiden tetapi sudah meminta lembaga resmi melakukan tindakan penting yang menyangkut penggunaan otoritas lembaga. Padahal PPATK dan KPK juga butuh waktu untuk menelisik integritas para calon menteri.
Keterdesakan waktu PPATK dan KPK di satu pihak, juga hasrat ingin cepat mengumumkan anggota kabinet, di pihak lain; akhirnya menimbulkan komplikasi-komplikasi pelik. Pada saat Jokowi hendak mengumumkan anggota kabinet di Tanjung Priok, Rabu (22/10) lalu, tiba-tiba KPK memasukkan catatan baru akan rapor merah dan kuning calon menteri. Disebut-sebut ada delapan nama yang tidak patut jadi menteri.
Pencoretan delapan nama tentu saja harus segera dicari penggantinya. Daftar calon pengganti sudah ada, tetapi tidak gampang memasukkan ke pos-pos kosong, karena hal itu tidak semata mempertimbangkan kompetensi calon meteri, tetapi juga komposisi kabinet: profesional murni, profesional partai, dan jatah masing-masing partai.
Mau tidak mau harus ada penataan ulang. Itu artinya dimulai lagi pengujian dan perundingan. Pengujian dilakukan terhadap beberapa nama calon menteri; perundingan dilakukan dengan pimpinan partai koalisi, botoh, relawan, dan tentu saja Jusuf Kalla.
Sikap pimpinan KPK juga menjepit Jokowi. Demi menjaga integritas kabinet, Ketua KPK Abraham Samad berkali-kali menegaskan: mereka yang masuk kategori merah dan kuning, tidak pantas jadi menteri. Saking ingin menegaskan betapa penting rekomendasinya, Abraham berujar, "yang merah butuh setahun jadi tersangka, yang kuning butuh dua tahun."
Sebaliknya, demi menjaga komitmennya, Jokowi-JK berkali-kali menekankan, bahwa rekomendasi PPATK dan KPK pasti dijalankan. Dalam hal ini, Jokowi dan JK memang tidak bisa balik badan. Janji sudah diucapkan, nama sudah disampaikan, maka rekomendasi PPATK dan KPK pun harus dijalankan. Inilah yang menyebabkan muncul kesan, bahwa yang menyusun kabinet, bukan Jokowi dan JK, tetapi PPATK dan KPK.
Kesan itu tidak terhindarkan, karena mencari orang bersih, berintegritas dan profesional, di negeri ini memang tidak mudah. Tetapi sebagai petarung sejati, Jokowi pasti bisa mengatasi pihak-pihak yang ingin mengerdilkan arti kabinet bersih, berintegritas dan profesional. Sebab tanpa tiga ciri itu, pemerintahan Jokowi-JK tidak ada bedanya dengan yang pemerintahan sebelumnya: transaksional.
Pemerintahan Jokowi-JK sudah terkunci untuk mendapatkan dukungan mayoritas DPR yang dikuasai Koalisi Merah Putih. Untuk menaikkan daya tawar, tidak ada lain yang harus dilakukan adalah mengunci rapat-rapat peluang transaksi, dan sebaliknya mengandalkan dukungan rakyat. Hal ini hanya bisa terjadi bila kabinet benar-benar diisi orang-orang bersih, berintegritas, dan profesional.