Pilih Ahok agar PDIP tak jadi partai gagal di Jakarta
Banyak alasan yang diungkap petinggi PDIP di balik keputusan memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai cagub berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat. Ada risiko yang harus ditanggung dengan pilihan itu.
Banyak alasan yang diungkap petinggi PDIP di balik keputusan memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai cagub berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat. Ada risiko yang harus ditanggung dengan pilihan itu.
Pengamat politik Charta Politika, Yunarto Wijaya menilai ada tiga keuntungan PDIP mengusung Ahok-Djarot. Pertama, sebagai bentuk pertanggungjawaban PDIP kepada publik oleh status Ahok-Djarot sebagai petahana. Dengan mencalonkan Ahok-Djarot kembali, tegas Yunarto, secara langsung PDIP mengakui keberhasilan kinerja keduanya di mata publik.
"Kalau di luar itu (mengusung calon lain), mereka (PDIP) mengakui kegagalan mereka," jelas Yunarto ketika berbincang dengan merdeka.com, Senin (19/9) kemarin.
Kedua, Yunarto memaparkan, dengan mencalonkan keduanya, PDIP juga menegaskan posisinya sebagai partai nasionalis dan pluralis. "Ketika calon lain memainkan isu SARA, PDIP membuktikan dirinya sebagai parpol yang tidak terseret isu SARA," jelasnya.
Dan ketiga, menurut dia, Ahok-Djarot adalah pemimpin yang bisa menjembatani politik nasional dan daerah (Pemprov DKI). Ahok merupakan penerus visi-misi Jokowi ketika menjabat sebagai gubernur.
Hal senada diungkapkan peneliti Lingkar Mardani Ray Rangkuti. Menurut dia, keuntungan PDIP mencalonkan Ahok-Djarot adalah adalah langkah paling strategis dan realistis dilakukan PDIP ketimbang memilih Risma yang dinilainya jauh lebih beresiko.
PDIP usung Ahok-Djarot ©2016 merdeka.com/Muhammad Luthfi Rahman
Secara realistis, Ahok, kata Ray memiliki elektabilitas tinggi, sedangkan Risma belum tentu bisa dipilih oleh warga DKI. Dan jika mencalonkan Risma, PDIP dinilainya berpotensi kehilangan suara di Jawa Timur.
"Padahal, dalam politik elektoral-nasional, posisi Surabaya dan Jatim jauh lebih strategis dan penting daripada Jakarta. Bisa saja Jakarta dapat, tapi Jatim potensial akan digerus oleh Golkar, tentu jika Saefullah Yusuf maju sebagai cagub pada pilkada Jatim yang akan datang," tegas Ray.
"Artinya PDIP hanya dapat kemenangan simbolik dengan menguasai Jakarta tapi pada saat yang sama punya potensi kehilangan suara di Jatim," imbuh dia.
Sementara itu pilihan Ahok-Djarot dinilai Ray strategis karena secara politik Ahok bukanlah ancaman bagi PDIP. Sekalipun Ahok terlebih dahulu didukung oleh Nasdem, Hanura dan Golkar, hubungan Ahok dengan PDIP diikat oleh ikatan poltik yang berlipat-lipat.
Namun demikian, bagi peneliti senior LIPI Siti Zuhro, sulit untuk memahami logika PDIP yang akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Ahok-Djarot. "Mengusung petahana yang penuh kontroversi dan resistensi, bukan tanpa konsekuensi. Selain yang diusung belum tentu menang, resistensi (karena) akan menghambat calon yang diusung untuk menang karena kurang diminati pemilih," jelas dia.
Dia menilai PDIP harus membuktikan diri dengan ucapannya sebagai partai yang mengedepankan kader berdedikasi dan berideologi membangun Indonesia. PDIP, dalam hal ini ditantang untuk membuktikan apakah Ahok-Djarot termasuk dalam kriteria tersebut. "Karena ungkapan tersebut adalah janji kepada rakyat," tegas dia.
"Mengusung petahana, berarti PDIP akan mempertaruhkan kredibilitasnya sebagai partai ideolog. Membangun integritas dan kredibilitas partai tidaklah mudah. Sekali prinsip-prinsip partai dilanggar maka kemunduran secara institusional akan dialami," pungkas Siti.
(mdk/bal)