Pohon jabon, dulu murah sekarang mahal
PT. GMN yakin jabon mereka kelola bakal laku.
Berbicara masalah nilai harga kayu untuk bahan furnitur, jelas jati menempati urutan teratas. Menurut R. Rahardian, pengamat agrobisnis, kayu jati memiliki tingkatan dan kelasnya tersendiri. Kayu jati Indonesia adalah salah satu yang terbaik di dunia. Dia menilai ada penguji khusus menilai kualitas sebuah kayu jati.
Meski begitu, bisnis investasi agrobisnis banyak berkembang saat ini justru meninggalkan kayu jati sebagai bahan jualan. Rata-rata perusahaan investasi menawarkan penanaman pohon jabon atau sengon untuk ditawarkan kepada pemilik dana.
Bergesernya pilihan itu, menurut Rahardian, karena masa panen pohon jati butuh waktu lama, bisa sepuluh tahun lebih. Masa tunggu panen itu bisa membuat investor kelamaan menunggu. “Tapi sekarang kebutuhan kayu makin tinggi, pohon apapun laku. Lihat saja pohon kapuk ringan kaya gitu masih bisa dijual,” kata Rahardian kepada merdeka.com saat ditemui di kantornya, kawasan Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu.
Maka tidak mengherankan, tawaran investasi penanaman pohon, meski bukan jati akan tetap laku. Lihat saja pohon jabon atau sengon. Bagi Rahardian, sebelum 1980-an, pohon jabon dan sengon nyaris tidak memiliki harga sama sekali.
Namun, hal itu berubah, sejak awal 1980-an kebutuhan kayu makin meningkat dari Korea Selatan dan Jepang sebagai bahan bangunan ringan. Maka tidak mengherankan hal itu membuat nilai jual dan minat masyarakat kepada kedua jenis kayu itu terbuka lebar. “Dua jenis kayu itu kualitasnya di bawah jati, tapi pohon sengon lebih bagus dari kayu jabon,” ujar Rahardi.
Rahardi masih tidak percaya dengan sistem investasi menawarkan keuntungan berlipat dari investasi penanaman jenis pohon itu. Selain tidak ada kepastian hukum, menurut dia, harga investasi setiap pohon jabon ditawarkan terlalu mahal. Rahardi menuturkan harga bibit jabon dijual petani saat ini masih berkisar di bawah lima ribuan.
Bahkan, Rahadi merekomendasikan, jika ingin investasi lebih jelas kenapa tidak ikut serta program Perum Perhutani yang jelas-jelas butuh modal. Kalaupun alasan bisnisnya untuk mengurangi pemanasan global, Rahardi memprotes hal itu. Dia menilai, kalau ingin benar-benar tanam pohon untuk lingkungan kenapa harus jenis pohon memang untuk ditebang.
“Kalau seperti itu niatnya terus apa bedanya dengan tanam singkong, panen, kemudian tanam lagi atau sebaliknya,” kata Rahardian lebih lanjut. Dia menilai alasan ikut berpartisipasi mengurangi pemanasan global hanya alasan bisnis saja, bukan atas dasar pamrih.
Pendapat berbeda dikemukakan Abdullah Syam, tim ahli PT. Global Media Nusantara (GMN). Pohon jabon ditawarkan pihaknya berbeda dengan jabon biasanya. Jabon dia kelola adalah jabon dari hasil penelitian cukup lama. Jenis jabon itu memiliki kualitas tahan terhadap serangan hama dan dijamin tidak bengkok.
Mahalnya harga pohon jabon dia kelola wajar karena masuk dalam satu paket investasi: tanam, perawatan, hingga panen. Selain itu, menurut Abdullah, jenis pohon jabon itu akan terus dikembangkan. Dia mengatakan sudah berbicara dengan seorang peneliti lulusan Jerman yang juga paham tentang bagaimana mengembangkan pohon jabon.
Mengenai sistem bisnis dijalankan PT. GMN, Abdullah juga staf ahli dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi di Kementerian Kehutanan mengaku tidak tahu begitu detail. Dia diangkat sebagai penasihat perusahaan untuk mengurusi bidang teknis penanganan jabon, mulai dari menyeleksi, menanam, merawat, hingga panen.
“Sejak diminta sebagai penasihat dalam ke bisnis ini, saya bilang ke PT. GMN, bukan hal teknis yang memajukan bisnis, tapi kejujuran, kerja keras, dan transparansi akan membuat sukses," ujar Abdullah saat dihubungi merdeka.com kemarin melalui telepon selulernya.
Meski penanaman pertama baru berumur setahun lebih dan perusahaan memanen. Abdullah yakin hasilnya bakal banyak diminati. Bahkan saat ini, dia mengaku sudah ada satu pejabat dari Karawang memesan pohon telah ditanam. “Yang pasti perusahaan kayu lapis akan membutuhkan jenis kayu ini."