Polemik paket kebijakan dan kaburnya investor
"Kami tidak melihat jalur keuntungan dan penjualan yang berkesinambungan di Indonesia," ujar Lea
Sepanjang setahun lebih menjabat, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan sembilan paket kebijakan ekonomi. Paket kebijakan itu juga diharapkan mampu memperkuat perusahaan berinvestasi di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga diharapkan mampu memberikan kepastian hukum dan usaha bagi investor.
Namun sayang, sepertinya pemerintah harus menelan pil pahit pada awal tahun ini. Beberapa perusahaan penanam modal dan pemasaran di Indonesia justru memilih angkat kaki. Alasannya karena Indonesia saat ini dinilai bukan pasar yang bagus untuk produk mereka. Misalnya PT Ford Motor Indonesia (FMI), PT Mabua Motor Indonesia (MMI) dan PT Toshiba.
Direktur Komunikasi PT FMI, Lea Kartika Indra menjelaskan alasan keputusan Ford menutup kantor pemasaran di Indonesia. Menurut Lea, itu dilakukan karena penjualan menurun drastis sepanjang 2015. Penurunan itu di prediksi Ford jika Indonesia bukan lagi pasar yang potensial.
"Kami tidak melihat jalur keuntungan dan penjualan yang berkesinambungan di Indonesia," ujar Lea saat berbincang dengan Merdeka.com beberapa waktu lalu. Dia pun menegaskan jika Ford akan berhenti beroperasi pada tahun ini. "Kami berencana menghentikan semua operasi pada akhir di tahun 2016,".
Lebih lanjut dia menjelaskan jika kurun waktu 2013, penjualan bisa dibilang masih stabil. Kemudian peningkatan terjadi sepanjang 2014 sebanyak 11.614 unit. Namun pada 2015 perusahaan berkantor pusat di Amerika Serikat ini mengalami penurunan penjualan drastis sekitar 50 persen. Ford hanya menjual 6.103 unit.
"Penurunan penjualan di tahun 2015 salah satunya dikarenakan run-down (menghabiskan stok)," katanya.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan, menjelaskan, jika keputusan hengkangnya beberapa perusahaan otomotif dan elektonik itu tidak berkaitan dengan kondisi ekonomi Indonesia. Sebab dalam catatan Kemenperin, terlihat masih tingginya nilai ekspor barang elektronik dengan capaian sebesar USD 10 miliar.
"Memang setiap perusahaan punya dinamika sendiri-sendiri. Masing-masing punya strategi masing-masing," ujar Suryawirawan pekan kemarin. Dia pun menjelaskan terkait hengkangnya PT Toshiba dari Indonesia. Menurut Suryawirawan, alasan perusahaan berkantor pusat di Jepang itu hengkang ialah karena berganti kepemilikan. "Sehingga langkah menutup pabrik di Indonesia sebagai salah satu langkah restrukturisasi dan strategi menghadapi kondisi ekonomi dunia," ujarnya.
Meski demikian dia mengakui jika ada beberapa permasalahan menyulitkan investor, salah satunya adalah sikap buruh."Itu salah satu masalah perburuhan yang menjadi keluhan. Mereka tidak masalah upah tinggi asalkan kerjanya bagus. Kok bisa-bisanya terjadi peningkatan upah dari waktu ke waktu tetapi kinerja tidak nambah," katanya.
Pandangan berbeda datang dari Ketua Logistik Asosiasi Pengusaha Indonesia, Mintardjo Halim. Menurut dia buruh bukan hanya faktor utama membuat perusahaan memutuskan untuk lempar handuk di Indonesia. Namun salah satu paling mendasar ialah Paket kebijakan dikeluarkan pemerintah tidak memberikan dampak positif bagi investor.
Dia mencontohkan salah satu kebijakan belum berjalan adalah layanan izin tiga jam milik Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Padahal layanan ini menurut Mintardjo diharapkan mampu mempercepat realisasi investasi di Indonesia."Itu keberanian masih baru di pusat tetapi dalam realisasinya masih susah dan undang-undang juga masih tumpang tindih. Ngurusin tanah setengah mati. Pusat keluarin izin tapi Bupatinya enggak kan sama aja," ujar Mintardjo.
Apalagi menurut Mintardjo, kondisi ini semakin diperparah dengan tidak terkontrolnya barang-barang impor masuk ke pasar Indonesia. PMenurut dia, pengusaha yang memutuskan menanamkan modal akhirnya terpaksa melakukan penghitungan ulang untuk mendapatkan keuntungan. Untuk itu lanjut dia, pemerintah seharusnya memperketat kontrol barang yang masuk ke Indonesia.
"Seperti Samsung, dia mengeluh juga. Dia bilang saya disuruh bikin telpon di sini, tetapi masih ada barang dari luar negeri ya udah babak belur dong gue di sini. Harusnya yang dalam negeri diopeni (diurusi) dong," ujar Mintardjo.