Repot sendiri lantaran gengsi
Pekerja dunia industri kreatif dianggap kelas menengah yang agak mapan. Namun sebagai buruh, mereka juga menghadapi kejamnya dunia bisnis.
Sinar matahari terasa amat menyengat. Langgam orasi bersahut-sahutan dari Tugu Tani, Jakarta Pusat hingga Patung Kuda, Jalan Merdeka Selatan. Para buruh pabrik, pekerja rumah tangga, tak terkecuali kalangan pekerja media hadir memperingati Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei. Puluhan massa dari Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) bergabung dengan kelompok lain seperti AJI Indonesia, dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), dalam bendera Forum Pekerja Media ikut turun ke jalan.
Bermodal berbagai macam poster bertuliskan keluh kesah mereka di industri kreatif selama ini. Sejak lama pekerja industri kreatif sudah merasakan keresahan akan nasib mereka. Di antara mereka mengalami kelebihan jam kerja, pendapatan jauh dari standar kontrak, alih daya, dan magang tanpa upah, hingga penyamaran hubungan kerja yang merugikan pekerja karena tak mendapat jaminan kerja dan perlindungan sosial. Jati Andito, seorang penyulih suara di salah satu media televisi menceritakan adanya ketimpangan itu. Kondisi saat ini menurutnya, sejawatnya di Indonesia belum sejahtera. Mereka hanya dibayar Rp 250 ribu tiap episode.
Jati pernah merasakan harus maraton mengisi suara buat tayangan di 18 saluran jaringan televisi swasta. Dalam sehari bisa 30 kali pengambilan. Namun, dia hanya diberikan fasilitas terbatas. Malah jam kerjanya kerap melewati batas.
"Dia (para pemilik modal) cuma ingin suara kita saja, mereka enggak peduli fasilitas itu," kata Jati ketika ditemui merdeka.com di sela aksi Hari Buruh, di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Senin (1/5) lalu.
Jati memahami menuntut keadilan tidak mudah. Sayangnya, kata dia, tingkat kesadaran sejawatnya tentang berserikat masih minim.
"Faktornya banyak, karena mereka enggak mau dibilang buruh, tidak ada kesadaran dari mereka. Padahal mereka juga masih digaji perusahaan, berarti mereka buruh," kata Jati sambil tersenyum.
Jati enggan pengalamannya terulang pada orang lain. Jati dan pekerja media lain juga ingin hak mereka tidak diselewengkan para pemilik modal.
Bukan hanya Jati yang geram. Evi, pekerja lepas di dunia videografi juga mengalami nasib serupa. Karena tuntutan pekerjaan, dia sering berada seharian penuh di lokasi syuting. Jaminan kesehatan tak pernah diterima. Upah didapat juga tak sepadan. Kadang bayarannya adalah sisa dari pendapatan sutradara serta asistennya. Itu pun kerap telat. Menurutnya, kini para pekerja media seharusnya tidak terlalu toleran dengan perusahaan.
"Kita punya hak itu, tetapi banyak dari mereka yang belum terlalu peduli soal hak mereka," kata Evi.
Anggi yang sudah empat tahun bekerja di bidang iklan juga merasakan hal sama. Bahkan beberapa dari teman-teman Anggi tidak bisa leluasa berlibur. Terkadang mereka selalu ditagih soal desain, bahkan saat Idul Fitri.
Memang menurut Anggi banyak dari pekerja media dalam bidang iklan yang sering mengeluhkan hal tersebut, tetapi banyak dari mereka yang tidak peduli. Mereka menganggap dirinya tidak sejajar dengan buruh pabrik atau petani.
"Faktornya mungkin lebih ke gengsi. Dan dalam pikiran anak agensi, enggak ada tuh diksi kata serikat," kata Anggi sambil tersenyum.
Menurutnya, suara mereka yang peduli hanya tersalurkan dalam komunitas. Namun, hal itu tidak efektif buat menekan korporasi dan dan menghimpun suara kolektif. Koordinator Presidium SINDIKASI, Ellena Ekarahendy menjelaskan, selama ini para pekerja kreatif berhadapan dengan perusahaan yang belum memfasilitasi mereka mewujudkan serikat pekerja. Biasanya kata dia, perusahaan industri kecil hanya ada 15 sampai 20 pegawai, dan terkadang sebagian dari mereka adalah pekerja paruh waktu.
Dia menjelaskan tak mudah mengumpulkan para pekerja kreatif dalam wadah serikat pekerja. Selama ini masih banyak pekerja seni yang belum sadar ada haknya telah dilanggar. Mereka justru abai karena merasa sudah berada di zona nyaman.
"Tapi kadang mereka enggak melihat teman-teman yang lain, apalagi fresh graduate, yang baru masuk industri ini. Di sisi lain, ada juga yang mendukung walaupun mengajak mereka aktif agak susah," kata Ellena.
-
Mengapa munculnya stasiun televisi swasta membawa dampak besar di industri pertelevisian Indonesia? Namun, dengan perkembangan teknologi dan tuntutan akan variasi program, masyarakat mulai menginginkan adanya pilihan yang lebih beragam. Hal ini mendorong lahirnya stasiun televisi swasta seperti RCTI, SCTV, ANTV, dan Indosiar.
-
Bagaimana Inul Daratista memandang pekerjaannya? "Pekerjaan akan menjadi ringan jika kita menikmatinya" bukan sekadar omong kosong bagi Inul Daratista. Istri Adam Suseno ini memang dikenal sangat mencintai pekerjaannya.
-
Siapa yang meresmikan Media Center Indonesia Maju? Menteri Investas Bahlil Lahadalia meresmikan media center Indonesia Maju, yang beralamatkan di Jalan Diponegoro, Nomor 15A, Menteng, Jakarta Pusat.
-
Siapa yang terlibat dalam kolaborasi untuk membentuk PT Industri Baterai Indonesia (IBC)? Selain itu, MIND ID melalui ANTAM melakukan kolaborasi bersama PLN dan Pertamina dalam membentuk PT Industri Baterai Indonesia (IBC).
-
Apa saja contoh kerja sama di bidang ekonomi antara Indonesia dan Malaysia? Dalam bidang ekonomi, perdagangan, dan investasi, Malaysia merupakan partner perdagangan terbesar kedua Indonesia, dengan jumlah investasi ke-5 di tahun 2022 di ASEAN.
-
Di mana kerja sama ini ditandatangani? Penandatangan MoU dilakukan oleh Direktur Utama PT Indonesia Comnets Plus, Ari Rahmat Indra Cahyadi dengan Direktur Utama PT Alita Praya Mitra, Teguh Prasetya, disaksikan oleh Nokia Asia Paific Enterprise Lead, Stuart Hendry di Mobile World Congress, Barcelona, hari ini.
Baca juga:false
Terseok-seok berhadapan dengan tembok
Loper koran bertahan di era digital
Mengandalkan langganan dan pembaca tua
China bakal sensor berita tentang gaya hidup Barat
Kisah anak-anak jalanan di India terbitkan koran Balaknama