'Unilever mau tiap brand punya brand social mission atau brand purpose'
Kampanye cuci tangan pakai sabun dan gosok gigi di sekolah-sekolah dasar sangat identik dengan Unilever. Ya, perusahaan global ini sudah melakoninya secara konsisten sejak hadir di Indonesia 83 tahun silam.
Kampanye cuci tangan pakai sabun dan gosok gigi di sekolah-sekolah dasar sangat identik dengan Unilever. Ya, perusahaan global ini sudah melakoninya secara konsisten sejak hadir di Indonesia 83 tahun silam.
Perusahaan yang mencatat penjualan bersih lebih dari Rp 40 triliun di Indonesia ini sejatinya memiliki banyak kegiatan sosial yang menarik. Lebih dari sekadar kampanye cuci tangan atau gosok gigi di sekolah dasar. Banyak program atau inisiatif baru yang sedang dilakukan Unilever Indonesia dalam aktivitas sosial perusahaan.
Lewat Yayasan Unilever Indonesia, perusahaan melakukan program-program sosialnya, yang enggan disebut corporate social responsibility (CSR). Sebagai implementing unit, Yayasan Unilever Indonesia bekerja sama dengan para mitra, antara lain 20 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di seluruh Indonesia.
"Ini bukan sekadar CSR, kami lebih holistik dengan menyebutnya Unilever Sustainable Living Plan (USLP)," kata Sinta Kaniawati, Kepala Yayasan Unilever Indonesia, baru-baru ini di kantornya di kawasan BSD City, Tangerang.
Untuk mengetahui konsep USLP dan program-programnya di Indonesia, M Syakur Usman dan M Luthfi Rahman dari Merdeka.com mewawancarai Sinta di kantornya. Berikut petikannya:
Sebagai perusahaan global yang mengelola 39 merek di Indonesia dan memiliki 9 pabrik, serta 3 pusat distribusi, apa saja kegiatan sosial Unilever di Indonesia?
Unilever cenderung menggunakan istilah sustainability program. Jadi ini bukan sekadar CSR, tapi bagaimana bisnis beroperasi. Dalam konteks kami, namanya Unilever Sustainable Living Plan (USLP). USLP adalah frame work global bagaimana mengeksekusi strategi bisnis Unilever yang berkelanjutan di seluruh dunia. Bukan hanya di Indonesia, tapi seluruh dunia.
Dalam konteks Unilever Indonesia yang sudah berusia 83 tahun, secara prinsip kami sudah lama menggunakan prinsip-prinsip berkelanjutan, baik dari sisi operasi bisnis maupun produknya.
USLP ditetapkan secara global sejak 2010 dengan tujuan untuk menggandakan pertumbuhan bisnis Unilever di 2020, tapi secara bersamaan kami ingin mengurangi dampak lingkungan dan berdampak positif terhadap lingkungan sosial di negara Unilever hadir. Itu ambisi besarnya.
Lantas apa saja program atau inisiatif USLP di Indonesia?
Secara program dan aktivitas, USLP sama di seluruh Unilever di dunia. Sebab kami bicara mata rantai bisnis secara keseluruhan dari hulu sampai hilir. USLP adalah cara Unilever melakukan operasi bisnisnya, dan CSR bagian dari itu. Kami melakukannya lebih besar, karena kami melihatnya secara holistik.
USLP mempunyai tiga pilar. Pilar pertama, kesehatan, sanitasi, dan nutrisi; pilar kedua mengurangi dampak lingkungan, dan pilar ketiga meningkatkan kesejahteraan para mitra yang tergabung dalam mata rantai produksi Unilever, terutama pemasok bahan baku termasuk petani.
Untuk pilar pertama, tujuan globalnya, kami ingin mencapai 1 miliar orang. Sedangkan di Indonesia, kami berkontribusi meningkatkan derajat kesehatan, kebersihan, dan nutrisi minimal menjangkau 100 juta orang.
Goal di pilar kedua, kami berupaya mengurangi penggunaaan air dan mengurangi emisi atau efek gas rumah kaca, terutama saat produk-produk kami diproses atau diproduksi di pabrik. Berikutnya, mengurangi limbah atau sampah, terutama sampah kemasan. Sebab kalau tidak dikelola dengan baik, maka sampah kemasan makin banyak, seiring pertumbuhan bisnis Unilever.
Pilar ketiga, kami ingin ketika bisnis Unilever bertumbuh, mata rantai kami, mulai dari produsen bahan baku, rantai produksi, penyalur, distributor juga bisa tumbuh dan meningkat kesejahteraannya.
Nah, goal global itu diterjemahkan oleh Unilever di masing-masing negara, dikembangkan jadi inisiatif-inisiatif yang relevan untuk bisnisnya masing-masing. Jadi frame worknya sama di setiap negara, yakni USLP, tujuanya juga sama, tapi inisiatif bisa berbeda setiap negara.
Gambarannya di tahun ini seperti apa?
Fokus kami tidak pernah berubah, baik di semester I dan II tahun ini sama. Karena sudah sangat jelas, tujuanya 2020 dengan target masing-masing pilar tersebut. Namun, setiap tahun kami eksekusi supaya bisa terus tumbuh untuk bisa mencapai goal akhirnya.
Di pilar pertama misalnya, Unilever Indonesia melakukan kampanye besar bersama UNICEF, yakni memberantas buang air besar (BAB) sembarangan. Ini masih jadi isu utama di Indonesia, sebab masih banyak yang tidak memiliki WC, bahkan di wilayah dekat Jakarta. Ini untuk mempromosikan sanitasi dan higienitas sehingga kualitas hidup lebih baik.
Umumnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia, tantangan kondisi sanitasi baik sangat besar. Di Indonesia Timur, kasus BAB sembarangan banyak, tapi secara populasi penduduk, yang terdampak lebih banyak di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten.
Lalu bekerja sama dengan UN World Food Program (WFP), kami ingin mengurangi malnutrisi; mengurangi anak-anak kekurangan gizi, yang banyak terjadi di Indonesia Timur. Kami kerja sama dengan UN WFP sejak lama, jauh sebelum USLP dicanangkan. Jadi program yang dicanangkan secara global lewat USLP sangat relevan dengan yang terjadi di Indonesia.
(Laman Unilever Indonesia menyebutkan, Unilever secara konsisten melakukan berbagai macam inisiatif lingkungan di Indonesia, seperti mengaktifkan program Green and Clean pada 2001, membuat program TRASHION sejak 2006, dan tahun ini Unilever mengembangkan 1.630 bank sampah di 12 provinsi dan 17 kota. Bank sampah ini telah mengumpulkan hingga 4.363 ton limbah anorganik, menghasilkan omzet Rp 1,1 miliar dari penjualan limbah ini ke industri daur ulang).
Bagaimana Yayasan Unilever mengeksekusi programnya supaya berhasil dan optimal?
Kami sinergikan. Kami tidak melakukan semuanya. Di tataran kesehatan dan nutrisi, misalnya, kami melakukan secara spesifik, yakni kami sangat gencar kampanye cuci tangan pakai sabun, karena kami ada ahlinya. Begitu juga dengan kampanye gosok gigi.
Kampanye Unilever, tidak melakukan sejuta program, tapi sangat fokus dan terus-menerus. Sebab kami didukung para ahli dan hasil peneltian, yang bisa mengolah atau memformulasikan produk yang memberi manfaat.
Contohnya, kampanye gosok gigi 2 kali sehari, kami bekerja sama dengan London School of Hygiene, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan FDI World Dental Federation. Unilever percaya kalau dilakukan terus-menerus, kita bisa mengubah derajat kesehatan masyarakat, serta melahir perilaku hidup sehat yang berlangsung menurun ke generasi berikutnya. Kami ingin membangun paradigma atau kebiasaan bersih dan sehat. Kemudian kebiasaan mengonsumsi makanan bernutrisi.
Kami memang korporasi untuk mencari profit, tapi bagaimana cara menjalankan bisnisnya, kami memastikan berdampak positif secara sosial dan ramah lingkungan. Bila bisnis tumbuh, kami bisa menjalankan inisiatif-inisiatif lebih baik lagi, termasuk menciptakan lapangan kerja baru. Untuk diketahuui, setiap satu distributor yang bekerja sama dengan Unilever, menciptakan ratusan lapangan pekerjaan.
Secara makro, apakah inisiatif Unilever Indonesia disesuaikan dengan agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030?
Agenda SDGs di 2030 adalah lanjutan dari agenda Milleniium Developmnet Goals (MDSs) yang berakhir pada 2015. SDGs ini memiliki 17 agenda, lebih banyak dari MDGs yang berjumlah 9. Ini berkat kontribusi sektor swasta atau bisnis, seperti Unilever.
Beberapa agenda baru, hasil kontribusi sektor swasta adalah agenda kemiskinan, spesifiknya bicara kesehatan dan sanitasi, ini sama dengan Unilever. Kemudian agenda yang disebut SCP (sustainable consumption and production). Agenda ini benar-benar merangkul sektor industri menjadi bagian dari development goal. Karena kalangan bisis harus membangun usahanya dengan bertanggung jawab. Jadi tidak cuma semata soal pendidikan dan kemiskinan, tapi pelaku industri melakukan bisnisnya dengan cara bertanggung jawab.
Agenda baru lainnya, perdamaian dan hak asasi manusia. Sebelumnya tidak spesifik ada. Sebab masalah sosial sering menyebabkan ketidaklanggengan bisnis kan.
Nah, adanya SDGs, membantu mempertajam apa yang dilakukan Unilever. Pilar kami tetap tiga, tapi Unilever sangat bisa mengidentifikasinya. Misalnya, kampanye cuci tangan dan gosok gigi, sangat erat dengan agenda kesehatan, sanitasi, dan nutrisi.
Adanya SDGs juga membuat kami lebih mudah berkomunikasi, bahkan bersinergi dengan pemerintah daerah untuk melakukan kerja sama. Apalagi agenda SDGs dengan agenda Nawacita pemerintahan Jokowi kan hampir sama sehingga kami jauh lebih bisa mengundang sinergi dengan pemda. Karena kalau kami datang ke daerah untuk implementasi program, kami datang bukan bawa duit banyak. Tapi, kami datang dengan membawa program dan tujuan. Untuk itu, kami butuh sinergi dengan pemda, LSM, dan organisasi lain plus masyarakat untuk melakukan satu perubahan. Karena kami ingin manusianya berubah dan memiliki paradigma baru.
(Di laman perseroan, melalui program keberlanjutannya, hingga 2017 Unilever telah mengedukasi 70 juta ibu dan anak untuk menerapkan Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) di 16 provinsi melalui program Cuci Tangan Pakai Sabun/CTPS. Melalui kampanye sikat gigi pagi dan malam, Unilever mengedukasi 7 juta anak di lebih dari 250 kota. Di pilar lingkungan, Unilever membangun 1.258 Bank Sampah dan menyerap lebih dari 3.700 ton sampah anorganik.
Perseroan pun membantu dan melatih sekitar 31.500 petani kedelai hitam dan gula kelapa, serta memberikan akses pelatihan dan peningkatan keterampilan untuk 3.300 petani perempuan dengan fokus meningkatkan pendapatan para petani perempuan beserta keluarganya).
Ada 39 merek yang dikelola Unilever Indonesia. Apakah setiap merek memiliki kegiatan sosial sendiri?
Unilever global sudah punya panduan bahwa produk atau merek diharapkan memiliki brand social mission atau brand purpose. Contoh lugasnya, tiga merek kami, yakni Lifebuoy dengan kampanye cuci tangan untuk menekan angka kematian balita akibat diare; Pepsodent dengan kampanye bebas dari gigi berlubang; dan Bango dengan kampanye membantu memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan petani kedelai hitam sebgai bahan baku kecapnya.
Itulah misi setiap merek, terlepas dari benefit fungsional. Maka itu, merek-merek di Unilever didorong punya purpose seperti Lifebuoy, Pepsodent, dan Bango.
Yang belum punya, mereka akan melakukannya secara bertahap. Katakan lah saat ini mereka its in the journey. Pada tahun ini, ada 19 merek yang sudah memiliki brand with purpose secara global. Untuk Unilever Indonesia, ada 10 merek.
Siapa yang mengeksekusi program merek yang memiliki brand purpose itu?
Ada dua sebenarnya. Pertama, tim marketing. Mereka yang memastikan brand itu punya purpose, termasuk mendesain apa yang harus dilakukan supaya mereknya bisa dikirim ke masyarakat secara efektif. Kegiatan brand driven act ada di sini, termasuk bikin iklan, yang mencerminkan brand purpose-nya.
Namun, yang mengimplementasikan brand purpose ini ke publik luas, adalah Yayasan Unilever Indonesia. Karena yayasan lah yang bekerja sama dengan pihak luar.
Bagaimana dengan merek yang belum ada brand purpose?
Sekali lagi ini its in journey. Jadi mereka masih mencari makna mereknya. Masih in the journey, bagaimana supaya mereknya langgeng dan terus berada di pasar. Mereka harus merumuskan the ultimate goal mereknya.
Prosesnya juga tidak mudah. Melalui serangkaian riset dan kajian dari setiap merek dan kategori produk. Tapi riset dan kajian itu dilakukan oleh tim global, yang hasilnya dibagikan kepada tim lokal Unilever di setiap negara.
Ada contohnya?
Sudah ada beberapa kategori yang diuji coba di Indonesia. Kayaknya cocok, dan beberapa siap diperkenalkan. Ada yang total baru, tapi ada juga dari eksisting kategori.
Misalnya merek Dove, secara global punya social mission, yakni Dove Self Esteem. Intinya, bagaimana remaja putri punya rasa percaya diri (PD) lebih baik. Di global, kampanye Dove ini sudah diluncurkan lama, tapi kami lakukan di Indonesia pada tahun lalu, dan tahun ini akan ditingkatkan. Di Indonesia, kami melokalisasi isunya, supaya bisa lebih tepat jika disampaikan ke target lebih luas.
Konkretnya, kami mengedukasi pelajar putri di SMP-SMA tentang konsep mencintai diri sendiri dengan segala potensinya. Memberikan rasa PD, sehingga bisa mengeluarkan potensi diri seoptimal mungkin.
Salah satu yang berhasil digali, adalah kalau berpenampilan apik dan bersih, merawat diri sendiri lebih baik, tentu punya PD lebih baik. Karena di umur remaja, secara psikologis mereka berada dalam tahap in-secure age; mencari jati diri. Kami ingin remaja putri jadi tampil diri sendiri yang terbaik.
Bentuk programnya, pelatihan dan menciptakan champions dari kalangan remaja, supaya bisa menularkan ilmunya kepada teman-temannya. Sebab mereka lebih mau mendengar kata teman-temannya ketimbang guru. Kami juga gunakan bahasa remaja dan dari sisi teknik berbeda, dengan contoh/ilustrasi yang disampaikan kekinian.
Targetnya, kami mau mencapai 100 ribu anak yang terpapar dengan program ini. Saat ini kami bekerja sama dengan LSM Spectra di Jatim, Persada di Yogya, Hartindo di Medan, dan Muslimat NU.
Menarik, kenapa dengan Muslimat NU?
Kenapa masuk ke Muslimat NU, karena kami ingin menyasar ke pesantren putri. Ada 30 ribu pesantren di Indonesia. Ini proyek percontohan kami dengan menyasar pesantren putri NU, semoga bisa bergulir ke pesantren lain di luar NU.
Untuk 2018 apa saja rencananya?
Ada beberapa agenda besar Unilever global, yang mana Unilever Indonesia menjadi salah satu negara pelopor, yakni program mengurangi dampak lingkungan sampah kemasan.
Kami lakukan satu inovasi baru, mengelola sampah plastik. Pada Mei lalu, kami luncurkan inisiatif besar, namanya circular economy of plastic packaging. Ini konsep baru, yang mana sampah kemasan plastik tidak lagi dilihat sebagai sampah, tapi dilihat sebagai satu sumber daya yang punya nilai ekonoi dan digunakan kembali untuk kemasan.
Di sini, kami bekerja sama dengan Fraunhofer Institute di Jerman. Kami kembangkan satu teknologi yang bisa membantu memproses sampah kemasan fleksibel (kemasan saset) untuk kembali menjadi recycle plastic atau recycle PA, sehingga bisa kembali dipakai untuk membuat kemasan baru.
Tujuannya untuk mengurangi jumlah penggunaan virgin plastic. Jadi, pertama untuk mengurangi bahan plastik, kedua mengunakan sampah kemasan sebagai bahan dasar kemasan. Proyek ini sudah ada prototipenya dan uji coba dipasarkan.
Jadi beberapa produk sudah mengunakan kemasan ini di pasar. Kami dalam tahapan preparation pabrik di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada pertengahan 2019, kami harapkan bisa full, sehingga banyak produk Unilever yang gunakan kemasan daur ulang ini.
Dari sisi biaya produksi tidak lebih mahal?
Zero sum game, artinya dengan biaya sama, menghasilkan produk dengan kualitas sama, tapi memberi dampak lingkungan yang lebih. Kemasan daur ulang mestinya tidak lebih mahal, harus dibuat model bisnis baru.
Target kami, Unilever Indonesia akan menggunakan bahan kemasan plastik daur ulang lebih dari 25 persen dari total kemasan pada 2025.