7 Tahun Bakrie tak mau bayar korban Lapindo Rp 1,5 triliun
Berikut perjalanan kasus ini hingga muncul gugatan ke MK seperti dirangkum merdeka.com:
Korban lumpur Lapindo yang masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT) kemarin menjalani sidang perdana uji materi Pasal 9 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN.
Uji materi diajukan agar pemerintah menanggung sisa pembayaran ganti rugi yang seharusnya dilunasi PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), juru bayar Lapindo Brantas. Berikut perjalanan kasus ini hingga muncul gugatan ke MK seperti dirangkum merdeka.com:
-
Apa sebenarnya Lumpur Lapindo itu? Lumpur Lapindo Sidoarjo merupakan salah satu bencana alam di Indonesia yang sampai sekarang belum menemukan jawabannya. Sebab, penyebab munculnya lumpur panas Lapindo masih dalam perdebatan dan belum menemukan hasil yang final.
-
Dimana lokasi semburan Lumpur Lapindo? Pusat maupun titik semburan lumpur panas Lapindo ini berada di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
-
Kenapa Lumpur Lapindo masih terus menyembur sampai sekarang? 17 tahun berlalu, belum ada tenda-tanda semburan Lumpur Lapindo atau dikenal juga dengan Lumpur Sidoarjo ini berhenti. Bahkan, para ahli geologi memperkirakan semburan lumpur panas tersebut akan berlangsung selama lebih dari 30 tahun.
-
Di mana Topeng Labu-labu berasal? Di Desa Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, terdapat salah satu tradisi hiburan yang lahir dari sebuah cerita legenda nenek moyang.
-
Apa itu Topeng Labu-labu? Tradisi ini berupa pawai dan hiburan keliling dengan menggunakan topeng terbuat dari labu. Tradisi hiburan ini berasal dari suatu legenda yang menceritakan soal wabah penyakit yang dianggap terkutuk.
-
Kapan Eno Sigit lahir? Retnosari Widowati Harjojudanto, atau Eno, lahir pada 10 April 1974, mendekati setengah abad usianya.
7 Tahun Bakrie belum lunasi ganti rugi
Kuasa Hukum Korban lumpur Lapindo, Mursyid, mengatakan sudah tujuh tahun lebih perusahaan milik keluarga Bakrie itu belum menuntaskan sisa pembayaran kepada para korban. Karena tidak ada kepastian dari MLJ, kata dia, korban mengajukan gugatan undang-undang APBN tersebut.
"Gugatan ini bukan masalah PT Lapindo bebas atau tidak menyelesaikan tugasnya untuk menyelesaikan ganti rugi. Namun ini sudah terlalu lama untuk pelunasannya. Kami kira negara bisa mengambil alih untuk pembayarannya. Toh negara tidak akan rugi juga," kata Mursyid di Gedung MK, Kamis (28/11).
Sebagai informasi, berdasar Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), penanganan lumpur Lapindo pemerintah menggunakan dua pola penanganan. Korban yang masuk PAT menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas untuk ganti rugi tanah dan bangunan. Sedangkan di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah melalui BPLS.
Sisa belum terbayar Rp 1,5 triliun
Kuasa Hukum Korban Lumpur Lapindo, Mursyid, juga mengatakan luas area yang masuk PAT dan menjadi tanggungan Lapindo lebih dari 800 hektare. Itu terbagi dalam kawasan industri dan kawasan permukiman. Menurut dia, dalam skema pembayaran MLJ sudah membayarkan Rp 3 triliun dan sisanya Rp 1,5 triliun.
"PT Lapindo Brantas sudah membayarkan Rp 3 triliun. Sisanya Rp 1,5 triliun. Warga yang menerima bervariasi persentase pembayarannya. Namun PT Lapindo bilang sudah mengeluarkan uang Rp 7 triliun. Bahkan dalam sms yang beredar warga bilangnya mereka memberi uang ke warga itu sebagai bentuk sedekah saja. Belum ada keterangan juga kalau Lapindo akan melunasi atau tidak," ujar Mursyid.
Salah satu pengusaha yang lahan usahanya terendam lumpur adalah SH Ritonga (37). Dalam sidang dengan agenda mendengarkan saksi, dia bersaksi atas nama Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) dengan anggota 26 perusahaan. Menurut dia, semua perusahaan itu masuk dalam PAT.
Dari 26 perusahaan itu, menurut Ritonga, MLJ sudah membayar ganti rugi sebesar 30 persen pada 2008. Namun, dalam sidang di MK tidak menyebut berapa jumlah dari 30 persen itu. Dia hanya berjanji akan menyerahkan ke majelis sidang dalam bentuk data tertulis.
"Kita sudah dapat ganti rugi sebesar 30 persen dengan catatan di depan notaris dan janji PT Lapindo saat itu, bila sampai Desember 2008 tidak dilunasi uang muka dan uang yang lainnya akan dianggap hangus dan sertifikat lainnya yang sudah diserahkan boleh diambil," papar Ritonga.
Banyak yang stres hingga meninggal
Ritonga, pengusaha yang jadi korban lumpur, itu juga mengatakan akibat tak kunjung dibayarnya sisa ganti rugi, banyak dari anggotanya stres hingga meninggal akibat memikirkan usahanya tenggelam. Bahkan menurut dia, banyak dari pengusaha itu tak sanggup menyewa rumah dan hidupnya terkatung-katung. Banyak yang pindah ke Surabaya, Mojokerto, dan daerah Jawa Timur lainnya.
Ritonga menuturkan, usahanya bergerak dalam industri pembuatan jam. Karyawannya mencapai 900 orang dan saat usahanya ditenggelamkan lumpur, karyawannya minta pesangon, karena berhentinya usaha itu. "Saya sendiri sudah menerima ganti rugi dari PT Lapindo sebesar 30 persen atau Rp 7,5 miliar. Untuk pesangon semua karyawan saya berikan Rp 4 miliar," ungkap Ritonga.
Ritonga menjelaskan, harga ganti rugi yang diberikan oleh MLJ ternyata bervariasi untuk tiap jenis usaha. Selain itu menurut dia, MLJ memberikan kriteria jenis usaha dan nilai ganti ruginya. "Dalam hal ini ada yang tidak adil. Tiap usaha gak ada kriterianya untuk ganti ruginya. Tapi setelah saya cari tahu ternyata ada istilah be to be atau bujuk saling bujuk untuk nilai ganti rugi. Saat itu saya tidak paham istilah itu," papar Ritonga.
Dari data organisasi pengusaha itu, dalam kesaksian di persidangan menjelaskan ada 500-600 bangunan usaha yang tenggelam lumpur dengan luas tanah sekitar 250 hektare. "Jumlah bangunan untuk dunia usaha yang tenggelam mencapai 500-600 bangunan dengan luas tanah sekitar 250 hektare. Sekarang nilai tanah di Sidoarjo tidak ada artinya. Mohon ini segera diambil alih oleh pemerintah," ujar Ritonga ke majelis hakim.
Pembelaan Lapindo
Vice President PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) Andi Darussalam, mengatakan tidak memiliki masalah ganti rugi dengan GPKLL. Menurut dia, perjanjian yang telah dilakukan dengan kelompok B to B (istilah Andi untuk GPKLL) tersebut sudah jelas.
"Dalam perjanjian yang kami buat sudah jelas. Bila ada pihak yang melakukan wan prestasi, dana yang 30 persen yang telah kami berikan menjadi milik mereka, sedangkan apa yang ada pada kami seperti sertifikat boleh mereka ambil dan akan kami kembalikan," kata Andi kepada merdeka.com, Kamis (28/11) malam.
Apalagi, dia melanjutkan, kelompok B to B tidak masuk dalam Perpres 14 Tahun 2007. Karena itu, MLJ merasa tidak memiliki masalah dengan kelompok tersebut. Tapi bukankah kelompok ini masuk dalam PAT? Andi menjawab, "iya, tapi penyelesaian masalah dengan pengusaha ini diselesaikan dengan B to B, mereka tidak masuk dalam Perpres Nomor 14."
Dia balik menuding kelompok GPKLL itu justru mencari masalah. Mereka mengajak warga lain yang tidak bermasalah dengan MLJ untuk mengadu ke MK. "Saya kenal mereka-mereka itu. Saya tahu siapa mereka. Itu kan orang-orang yang punya kepentingan lain. Bilang ke mereka, salam dari Andi Darussalam," kata Andi.
Andi juga membantah bila tanggungan ganti rugi MLJ sisa Rp 1,5 triliun. Menurut dia, sampai sekarang tanggungan MLJ sesuai dengan Perpres Nomor 14 Tahun 2007 sebesar Rp 800 miliar lebih sedikit. "Pembayaran sisa ganti rugi memang tertunda karena kondisi perusahaan, tapi saya tidak akan lari. Kami akan tetap berusaha membayar," ujarnya.
Baca juga:
BPLS tak urusi ganti rugi korban lumpur Lapindo di dalam PAT
Kisah nestapa Wiwik, korban Lapindo yang dicueki menteri
Lapindo baru bayar ganti rugi 30% buat pengusaha korban lumpur
Jalan berliku korban Lapindo tagih ganti rugi Rp 1,5 triliun
Korban lumpur minta MK perintahkan negara talangi utang Lapindo