Ahli Forensik: Ada kemungkinan pembunuhan Sisca karena dendam
Tulisan-tulisan di FB, rekaman CCTV harus dilihat detail dan diperiksa lebih mendalam.
Ahli Psikologi Forensik dari Universitas Bina Nusantara (Binus) Reza Indragiri Amriel tak bisa mengabaikan ada indikasi balas dendam dalam kasus pembunuhan sadis terhadap Franceisca Yofie, Manajer Cabang PT Venera Mukti Finance. Indikasi itu dikuatkan dengan tulisan-tulisan dalam FB Sisca yang menghujat orang-orang tertentu.
"Saya tidak menafikan ada aroma dendam. Tetapi itu kan harus ditelusuri lebih lanjut. Tulisan-tulisan di FB, rekaman CCTV harus dilihat detail dan diperiksa lebih mendalam. Misalnya dari CCTV bisa dilihat, pelaku terlihat dendam dengan muatan emosional tinggi, ada luapan amarah atau segala macam," kata dia kepada merdeka.com, Selasa (13/8).
Motif lain, lanjutnya, bisa juga pencederaan berlatar belakang dendam. Korban secara lahiriah memiliki tubuh yang bagus, wajahnya cantik. Jika pertanyaannya kenapa kedua pelaku mengincar daerah muka ketika membunuh korban? Barang kali, dia melanjutkan, pelaku ingin membacok lalu menyeret korban agar mahkota kecantikannya hilang, tapi dalam kondisi bernyawa.
Namun demikian, Reza lebih yakin bila kasus itu sebenarnya bukan pembunuhan berencana dengan cara menyeret korban sampai meninggal. Bagi dia, asumsi dan spekulasi itu kurang tepat. Dia lebih yakin bila kasus itu awalnya hanya kejahatan tertentu, misalnya penjambretan, lalu terjadi kecelakaan hingga korban meninggal.
"Pelaku awalnya berencana melakukan kejahatan tertentu (penjambretan atau pencederaan), tetapi terjadi kecelakaan (pembunuhan) atau disebut collateral damage. Kalau demikian adanya, meski korban terbunuh, ini tidak bisa disebut intentional murder (pembunuhan dengan niat), tetapi accidental murder (pembunuhan karena kecelakaan)," terangnya.
Dia juga meragukan penggunaan istilah 'diseret' sampai tewas, atau terjadi 'penyeretan' yang keluar dari penyataan saksi. Bayangkan, saksi mengalami ketegangan luar biasa, peristiwa pembunuhan berjalan singkat, kondisi juga menegangkan, korban perempuan, pelaku laki-laki berbadan tegap berjaket hitam, berhelm dan naik motor, sementara rekaman CCTV tidak begitu jelas.
"Skema mental yang terbangun dari peristiwa itu memunculkan istilah dan kalimat menyeret korban, dan keluar dari mulut para saksi mata. Jadi kalimat itu lahir dari skema mental yang terbangun dari kondisi menegangkan yang luar biasa," kata dia menegaskan.
Padahal, kata dia, biasanya dalam setiap aksi kejahatan secara teori itu ada dua misi. Pertama, pelaku berniat menjambret atau membunuh, lalu niatnya tercapai. Namun itu dalam kondisi normal. Tapi kalau misi pertama gagal, mereka melakukan misi kedua, melarikan diri dari TKP secepat-cepatnya, meminimalisir barang bukti tertinggal.
"Hal itu harus dilakukan dalam prinsip efisiensi. Secepat mungkin dan dalam waktu seefisien mungkin. Lalu dalam kasus itu, apa efisiensinya, kalau pelaku menyeret-nyeret korban, bukankah itu justru membuka peluang kejahatan mereka terbongkar, barang bukti terungkap?"
Dia membayangkan, korban waktu itu memegang tangan pelaku, karena panik pelaku kabur lalu korban terseret. Konon, rambut korban itu sampai tersangkut di gir motor. "Ini mempertegas spekulasi saya, pelaku tidak sungguh-sungguh menyeret korbannya. Alhasil, saya tidak sepakat ini merupakan aksi pembunuhan apalagi pembunuhan terencana. Bahwa ini dendam, saya tidak menafikan."
Apalagi, para pelaku juga menyerahkan diri ke polisi. Itu menunjukkan sebenarnya mereka tidak profesional, baru mencoba-coba menjadi jambret. Ketika peristiwa semakin memburuk, salah satunya menyerahkan diri ke polisi dengan tujuan mengharapkan keringanan hukuman. Itu disebut Plea Bargaining, yakni bagi seorang terdakwa, dari pada menjalani proses persidangan yang sangat lama, ya sudah mengakui saja.
"Plea Bargaining itu membuat persidangan menjadi cepat, biaya lebih murah, kemudian bisa bernegosiasi berat ringannya hukuman. Walaupun di Indonesia tidak mengenal itu, tapi rasional saja, pelaku tidak profesional, menjadi ketakutan, lalu menyerahkan diri dengan harapan mendapat keringanan. Contoh kasus Plea Bargaining ini misalnya kasus Bom Bali 1," ujarnya.