Benjamin Tan Boon Chuan, maestro lukis pakai mulut penuh inspirasi
Ben adalah maestro lukis dengan menggunakan mulut, yang memang selama ini menjadi organ utamanya dalam beraktivitas.
Benjamin Tan Boon Chuan mengundang kekaguman para pengunjung pameran lukisan menyambut Imlek yang digelar di Kelenteng Eng An Kiong, Kota Malang. Selain beberapa karyanya yang dipajang di galery, di salah satu sudut ruangan Ben menggoreskan kuas dengan mulutnya di atas kanvas.
Dia mengawali dengan warna merah menyala, yang akan menjadi latar objek lukisannya. "Saya belum bisa katakan lukisan ini berbentuk apa, tetapi karena menyambut tahun baru Imlek lukisannya ada kaitan dengan Imlek," kata Benjamin kepada merdeka.com dengan suara terbata-bata di Kelenteng Eng An Kiong Kota Malang, Rabu (17/2).
Ben adalah maestro lukis dengan menggunakan mulut, yang memang selama ini menjadi organ utamanya dalam beraktivitas. Dia bergabung bersama puluhan seniman memamerkan karyanya dari tanggal 18 hingga 21 Februari 2015, sekaligus memberi inspirasi pada siapapun untuk terus berkarya.
Sejak kecil Ben sudah mengalami kecacatan pada dua tangan dan dua kaki, sehingga mulut menjadi alat dominan. Walau sebenarnya organ yang diandalkannya itu juga tidak bisa berfungsi sempurna seperti kebanyakan orang. Karena suara yang keluar dari mulutnya tidak begitu jelas terdengar oleh setiap lawan bicara.
Dia selalu dibantu oleh istrinya, Lia Benjamin dan anak-anaknya yang setia mendampingi. Setiap ada pembicaraan dengan lawan bicara yang kurang dipahami, mereka selalu membantu.
Kendati serba terbatas, dia tidak pernah berhenti berkarya. Dari atas kursi roda dengan tubuh terikat selendang untuk sebuah keseimbangan, Ben menggoreskan setiap tinta dari kuas yang terjepit di mulutnya. Sudah ratusan karya yang sudah dihasilkan, dan tak tahu jumlah persisnya.
"Lupa mas, sekitar ratusan lah," kata Lia yang dengan setia menyiapkan kebutuhan cat saat suaminya melukis.
Saat lahir, Ben adalah bayi sempurna, namun karena demam tinggi dan tidak tertangani akhirnya tubuhnya mengalami kelumpuhan. Sementara bakat melukisnya terlihat sejak usia 2 tahun. Awalnya hanya melukis di kertas putih dengan menggunakan pensil. Dia lebih banyak belajar secara autodidak, baru sekitar usia 15 tahun didampingi seorang guru lukis.
Pria kelahiran Singapura, 27 Maret 1959 yang menetap di Jakarta sejak tahun 2000 itu menyukai aliran naturalis. Beberapa lukisannya menampilkan objek dengan goresan warna yang kuat.
Ben adalah satu dari 10 pelukis Indonesia yang tergabung dalam Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) yang berkantor di Swiss. Dia bergabung sejak 1985 dan kini posisinya sudah Full Member. AMFPA memang mengelompokkan para anggotanya dalam 3 level, yakni Student Member, Assosiate Member dan Full Member. Sejak tahun 2000, posisi Ben berada di level tertinggi.
Dia produktif berkarya sejak 10 tahun terakhir, dan rutin mengirimkan karya-karyanya ke AMFPA. Dari karya yang dikirimkan itulah, Ben akan mendapatkan hasil jika lukisan itu terjual.
Pada Oktober 2014 lalu, Ben juga mewakili Indonesia mengikuti acara pameran Athena, Yunani bertemu dengan para seniman difable sedunia yang berkarya dengan tangan dan mulut. Karya Ben mengundang kekaguman masyarakat dunia.
"Saya mensosialisasikan bahwa orang dengan keterbatasan tidak bisa dilihat sebelah mata. Banyak yang bisa dilakukan untuk diri sendiri dan orang lain. Jangan pernah berputus asa," kata Ben.
Ben dikaruniai dua anak yakni Farhan Febriansyah (12) dan Sri Lestari (21) dari pernikahan pertamanya. Dia kemudian menikah dengan Lia Benyamin yang kini bersama membesarkan Gravisia Az Zahra (3). Dia juga memiliki dua anak angkat yang dibiayai dari hasil melukisnya. Mereka yang selama ini terus memberikan semangat untuk terus bekerja.
"Kami menerapkan seperti orang bekerja, Senin sampai Kamis terus melukis. Karena kami muslim hari Jumat istirahat, harinya kan pendek. Sabtu dan Minggu biasanya digunakan untuk mencari inspirasi. Biasanya jalan-jalan atau ngobrol bersama keluarga," kata Lia.
Bagi Ben, mulut tidak sekadar menjadi alat komunikasi. Goresan pesan yang keluar dari kuas yang digigit melebihi fungsi verbalnya. Ada banyak pesan, diantaranya cinta, kemanusiaan dan kerukunan serta menghormati sesama yang selalu menginspirasi.
Dari fungsi organ yang kerap mengeluarkan bau dan kata menyakitkan itu, Ben telah melahirkan karya yang mengundang kekaguman dunia. Dari Ben kita bisa belajar bagaimana mulut bisa menebarkan cinta bagi keluarga, para papa dan siapapun yang menikmati lukisannya.