BPJPH: MUI Tetap Dilibatkan Proses Sertifikasi Halal Tinjauan Fatwa
Perubahan mendasar dari logo halal sangat terlihat pada tulisan dan warnanya. Sebelumnya, logo berbentuk bulat, didominasi warna hijau, dan bertuliskan MUI. Sementara logo terbaru, didominasi warna putih dan tulisan halal mirip wayang.
Pemerintah melalui Kementerian Agama melakukan perubahan logo label halal yang biasanya terpasang pada kemasan produk. Perubahan itu mengacu Keputusan Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Nomor 40 Tahun 2022.
Seiring dengan perubahan logo tersebut, proses sertifikasi halal juga tidak lagi dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ke depannya, penerbitan logo halal dilakukan oleh Kemenag melalui BPJPH.
-
Sertifikat halal itu apa sih? Sertifikat halal merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan berdasarkan fatwa halal tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
-
Apa saja manfaat sertifikat halal? Sertifikat halal memiliki beberapa fungsi penting, terutama dalam konteks konsumen Muslim dan industri makanan serta produk lainnya.
-
Gimana cara mendapatkan sertifikat halal? Secara umum, ada dua cara yang bisa ditempuh untuk memperoleh sertifikasi halal, yaitu, self declare dan metode reguler.
-
Siapa yang mengeluarkan sertifikat halal? Sertifikat halal merupakan dokumen yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan berdasarkan fatwa halal tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
-
Bagaimana cara mendaftarkan sertifikat halal? Setelah beberapa syarat di atas lengkap, berikut langkah atau cara daftar sertifikat halal: 1. Langkah pertama, ajukan permohonan sertifikat secara daring di laman ptsp.halal.go.id.
-
Apa yang ingin dievaluasi Cak Imin terkait sertifikat halal? Cak Imin berjanji akan mengevaluasi total mekanisme penerbitan sertifikat halal saat ini.
Perubahan mendasar dari logo halal sangat terlihat pada tulisan dan warnanya. Sebelumnya, logo berbentuk bulat, didominasi warna hijau, dan bertuliskan MUI. Sementara logo terbaru, didominasi warna putih dan tulisan halal mirip wayang.
Kementerian Agama memastikan MUI tetap dilibatkan dalam proses sertifikasi halal sebuah produk. Hanya saja, pada aturan baru ini pihak berwenang mengizinkan penggunaan logo Halal Indonesia ada di tangan BPJPH. Selain MUI, ada pula Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Ketiga lembaga ini kemudian saling berkolaborasi sebelum akhirnya izin penggunaan logo halal pada suatu produk diberikan.
"Jadi, tiga-tiga itu tadi BPJPH, LPH dan MUI satu kesatuan aktor yang masing-masing punya kewenangan tetapi saling bergantung satu sama lain," kata Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJHP Kementerian Agama, Mastuki.
Menurutnya, proses penggunaan logo halal itulah yang menjadi pembeda. Antara MUI terdahulu, dengan BPJHP saat ini.
Berikut wawancara lengkap merdeka.com dengan Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJHP Kementerian Agama, Mastuki, pada Senin (14/3):
Apakah yang membedakan proses sertifikasi halal saat di bawah MUI dan kini menjadi tanggung jawab BPJPH?
Pertama, proses sertifikasi halal itu berpindah dari MUI ke BPJPH pada tahun 2019 tepatnya Oktober 2019. Mekanismenya mengikuti Undang-Undang 33 Tahun 2014 dan juga peraturan pemerintah saat itu Nomor 31 Tahun 2019, kalau sekarang sudah direvisikan.
Pada regulasi itu, ada tiga pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal. Pertama, BPJPH. Itu pihak yang sebagai leading sektor pelaksanaan sertifikasi halal di Indonesia termasuk sebagai regulator yang menetapkan aturan dan juga mengadministrasikan atau administrator itu fungsi utama dari BPJPH.
Makanya, untuk seluruh pelaku usaha yang akan melakukan pendaftaran, wajib melalui BPJPH sejak tahun 2019 itu. Terus kalau sebelumnya itu langsung ke MUI kan karena satu pintu, semua satu rumah lah.
Nah sekarang, setelah pendaftaran di BPJPH, BPJPH kerja sama dengan namanya Lembaga Pemeriksa Halal dikenal dengan LPH. Itu bisa berasal dari masyarakat ataupun dari pemerintah, lembaga pemerintah.
Kenapa harus melibatkan tiga lembaga tersebut, BPJPH, LPH, MUI?
Karena untuk memeriksa produk, mengaudit produk itu butuh kualifikasi pendidikan, butuh kompetensi yang disebut dengan auditor halal. Nah itu BPJPH tidak memiliki kewenangan itu, karena ini kaitannya dengan tadi kualifikasi dan kompetensi.
Setelah nanti selesai diaudit oleh ahlinya yang namanya auditor halal, kemudian diserahkan kepada MUI untuk memastikan bahwa dari sisi syariah Islam memenuhi aspek halal atau tidak. Kalau dinyatakan halal, maka keluarlah yang namanya ketetapan halal oleh MUI. Jadi ketetapan halal itu berupa sidang fatwa yang menyatakan produk A yang tadi sudah diaudit yang sudah diperiksa oleh auditor halal memenuhi kaidah-kaidah syariat Islam.
Kalau pun tidak memenuhi syariat Islam, ya tidak dinyatakan halal alias ditolak. Dari dasar ketetapan halal MUI itu lah maka diserahkan di BPJPH untuk dikeluarkan, diterbitkan sertifikat halal.
Apa artinya, bahwa sertifikat halal itu adalah kewenangan BPJPH sebagai representasi negara. Sementara MUI punya kewenangan di dalam aspek-aspek fatwa halal terhadap produk yang diajukan. Memang di Indonesia yah mengenal begitu, otoritas agama itu di kalangan ulama, sementara pemerintah itu otoritas administratif. Makanya sertifikat itu tidak bisa dikeluarkan oleh BPJPH kalau tidak ada ketetapan fatwa halal dari MUI.
Jadi, tiga-tiga itu tadi BPJPH, LPH dan MUI satu kesatuan aktor yang masing-masing punya kewenangan tetapi saling bergantung satu sama lain. Itu proses yang ada sekarang dan itu berbeda dengan dulu dari MUI. Kalau dulu di MUI mulai pendaftaran, dilakukan oleh audit, oleh LPPOM itu dalam rumah MUI sampai kemudian dikeluarkan ketetapan halal oleh MUI dan sekalian lah dikeluarkan sertifikat halal oleh MUI.
Dulu pun sama prosesnya seperti yang saya sebutkan. Meskipun di MUI ya pendaftaran dulu, kemudian dilakukan audit oleh LPPOM, LPPOM itu lembaga lain dari MUI yang berbeda dengan komisi fatwa. Dari LPPOM diserahkan ke komisi fatwa, tapi karena dalam satu rumah yah kelihatan kalau itu memang padahal prosedurnya sama, setelah itu baru dikeluarkan serfikat halal.
Jadi secara prosedur tidak berbeda jauh?
Prosedurnya sama, saya kira hanya ada tiga aktor bedanya dan itu punya otoritas masing-masing.
Kenapa itu dilakukan? Kenapa berbeda itu? Karena dulu pelaku usaha untuk mensertifikasi halal itu sifatnya suka rela atau voluntary. Sementara Undang-Undang Nomor 33 2014 mengharuskan, mengamanahkan sertifikasi halal itu wajib alias mandatory. Kalau sudah mandatory, maka berlaku untuk seluruh Indonesia, berlaku untuk semua produk, berlaku untuk semua jenis usaha. Dan itu tidak mungkin dilakukan oleh ormas yang tidak memiliki kekuatan hukum, makanya kemudian keputusan DPR ditetapkan ini diserahkan kepada pemerintah dalam hal ini adalah tugas negara, tugas pemerintah. Untuk melindungi masyarakat dari produk-produk yang tidak halal atau dengan kata lain memastikan bahwa masyarakat Indonesia mendapatkan produk-produk yang halal melalui sertifikasi halal dan itu melalui pemerintah.
Adakah syarat dan tahapan khusus ketika melakukan proses sertifikasi halal setelah tidak lagi di bawah MUI?
Pasti ada syarat-syaratnya, untuk pelaku UMK atau usaha mikro kecil pasti berbeda, dan itu karena itu dilakukan oleh pemerintah maka dengan kementerian lembaga lain, dinas-dinas lain untuk mengatur itu. Misal untuk UMK diberikan kemudahan-kemudahan lain.
Dalam hal apa? Pertama kemudahan untuk prosesnya. Kalau proses yang tadi saya sampaikan itu melalui tiga aktor tadi, tiga lembaga tadi.
Kalau untuk UMK tadi melalui Undang-Undang Cipta Kerja itu tidak melalui prosedur yang tadi. Tapi ada prosedur baru dan itu dilakukan oleh pendamping-pendamping PPH itu proses produk halal.
Pendamping PPH itulah yang nanti akan mengecek dulu usaha-usaha mikro. Misalnya, di perumahan, di jalan, pedagang kaki lima dan seterusnya itu yang kecil-kecil mikro, itu nanti dipastikan.
Kalau bahannya dan proses produknya sudah benar memenuhi syarat-syarat halal maka kemudian bisa dilaporkan, disampaikan ke BPJP. Jika sudah dianggap sudah memenuhi syarat pelaku usaha itu dapat melakukan penyataan secara mandiri yang disebut dengan self declare. Baru kemudian BPJPH akan menyampaikan ke MUI dan itupun cara untuk melakukan fatwanya lebih simple, bukan mudah tapi simple. Jadi itu berbeda untuk UMK.
Bagaimana dengan perusahaan besar yang harus mengurus sertifikasi halal?
Kalau yang menengah, besar itu sama prosedur yang saya sebutkan tadi. Mulai dari BPJPH daftar, tapi sekarang sudah lebih cepat karena semua melalui online. Ada LPH yang melakukan pemeriksaan karena kan produk-produknya, produk yang kritis bisa jadi melibatkan teknologi yang rumit, menggunakan bahan-bahan yang banyak dan itu bahan-bahan yang sangat mungkin tidak halal dan untuk memastikan kehalalannya maka dilakukan pemeriksaan. Itu agak panjang dan rumit.
Makanya waktu (proses sertifikasi) bisa jadi berbeda dengan UMKM tadi. Kalau UMK tadi bisa lebih cepat. Kalau perusahaan besar bisa lebih lama ada yang berbulan-bulan tergantung dari hasil audit tadi berhasil memenuhi syarat halal atau tidak dari pelaku usaha.
Kalau pelaku usaha cepet merespons, oh ada kekurangan ini langsung dipenuhi misalnya itu bisa lebih cepat. Tapi Kalau tidak bisa lama.
Berapa lama waktu dibutuhkan untuk proses sertifikasi halal?
Kami bekerja itu dibatasi waktu, yaitu maksimal 21 hari untuk yang rata-rata. Kalaupun ada masalah di LPH itu bisa ditambah dengan waktu 10 hari. Jadi kurang lebih 30 hari alias sebulan lah harusnya sudah selesai. Tapi dengan catatan, 10 hari 21 hari itu dihitung berdasarkan kepada pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing.
Kalau di BPJPH rata-rata 1 hari, itu bisa selesai pemeriksaan dokumennya. Nanti di LPH itu tadi tergantung kalau pelaku usahanya proaktif dan tepat itu bisa lebih cepat selesainya.
Jadi soal waktu sangat tergantung. Tetapi kita komitmen tadi, 21 hari itu bisa maksimal, tadi per 10 hari jika ada masalah-masalah tertentu dan di MUI juga dikasih waktu 3 hari bisa semua selesai di sidang fatwakan.
Apakah ada pengenaan biaya?
Prinsipnya semua pelaku usaha yang mengajukan sertifikat halal itu dikenai biaya tarif, tapi khusus untuk UMK berdasarkan Undang-Undang Cipta Kerja itu digratiskan. UMK yang mana? Adalah UMK yang self declare tadi, produknya sederhana, bahan yang digunakan jelas kehalallannya, proses produksinya memenuhi aspek-aspek kehalallan.
Contohnya yang sederhana misalnya dari buah, buah sudah halal dijadikan minuman hanya dicampur dengan air mungkin sedikit pemanis. Atau pisang goreng tepungnya halal yah jelas halal prosesnya, minyak goreng dibeli dari produsen yang sudah bersertifikat halal yah halal. Itu sederhana, tidak perlu teknologi apa-apa kemudian dibungkus, yang kaya gitu tuh disebut dengan self declare mereka gratis tidak perlu bayar sama sekali.
Kalau masih ada kemasan menggunakan logo halal yang lama harus diganti? Atau tetap bisa dipakai?
Tidak apa-apa, terus berjalan usahanya. Kalau UMK misalnya cepat mengganti dengan kemasan yang baru. Misalnya warung atau kantin ada sertifikat halalnya itukan nggak perlu memasang logo di makanannya itu, palingkan memasangnya di depan pintu gampang itu kan tinggal dicopot, tinggal ganti toh.
Kalau yang di kemasan, itu silakan aja terus karena masih ada waktu bertahap nanti kalau misalnya habis. Kalau mau mengganti desain kemasan ya udah ganti dengan loho yang baru. Kalau kemasannya masih banyak habiskan saja stoknya.
Ada tenggat waktu keringanan penggunaan logo lama?
Batasnya masih sampai 2026. Jadi tidak serta merta ganti logo yah nggak lah. Tapi catatannya logo berganti, sertifikatnya tetap berlaku sampai habis waktunya. Misalnya tahun 2021 kemarin Desember atau Januari 2022 baru mendapat sertifikat berlaku 4 tahun ke depan berartinya sampai tahun 2026, sertifikatnya tetap hidup tapi logonya yang diganti tadi.
Baca juga:
DPR Minta Komisi VIII Pantau Soal Label Halal BPJPH Kemenag
Tanggapan MUI Soal Logo Baru Halal Indonesia
BPJPH: Kemasan Bisa Dipakai Sebelum Berganti ke Label Halal Indonesia
Terbitkan Logo Halal Terbaru, Menag Yaqut: Label Diterbitkan MUI Tidak Berlaku Lagi
MUI Minta Panja Berkomunikasi dengan Kemenkes untuk Ketersediaan Vaksin Halal
Kemenag Terbitkan Logo Halal Baru Berbentuk Gunungan dan Motif Sujan, Ini Filosofinya