Dahnil: Politik yang menghalalkan segala cara akan rusak Pancasila
Berdasarkan temuannya, perusakan keragaman Indonesia dan Pancasila terjadi saat momentum pesta demokrasi. Di momentum tersebut, kelompok-kelompok tertentu memainkan isu yang menunjukkan seolah-olah Pancasila terancam.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan ada dua hal yang merusak keragaman Indonesia dan Pancasila. Yakni destruksi politik dan ketidakadilan ekonomi serta hukum.
"Bapak ibu, politik yang menghalalkan segala cara, mengabaikan persepsi persatuan, itu pasti mendestruksi merusak Pancasila kita. Apalagi politiknya anti dialog," ucapnya saat mengisi dialog dengan topik 'Bhineka Tunggal Ika Penghuni Rumah NKRI' di Gedung Bina Graha, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (7/9).
Berdasarkan temuannya, perusakan keragaman Indonesia dan Pancasila terjadi saat momentum pesta demokrasi. Di momentum tersebut, kelompok-kelompok tertentu memainkan isu yang menunjukkan seolah-olah Pancasila terancam.
"Seolah-olah keragaman kita terancam padahal tidak ada apa-apa. Jadi keberagaman itu selalu muncul ancamannya ketika momentum politik," sambungnya.
Dahnil tidak menampik adanya kelompok kecil yang keragamannya mengalami ancaman di Tanah Air. Namun, persoalan tersebut diyakini bisa ditangani melalui pendekatan keamanan.
"Yang paling berbahaya adalah ketika keberagaman Pancasila kita didestruksi oleh mereka-mereka secara legal saat melakukan kontestasi di arena demokrasi ini," imbuhnya.
Selain destruksi politik, Dahnil menjabarkan bahayanya ketidakadilan ekonomi dan hukum terhadap Pancasila. Di berbagai daerah, ketidakadilan ekonomi dan hukum masih terus terjadi. Dia mengambil contoh kasus ketidakadilan ekonomi yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah beberapa bulan lalu.
"Saya beberapa bulan lalu bersama Gus Solah dari NU, dan romo diminta Komnas HAM jadi tim penanganan terorisme. Saya melakukan evaluasi pada saat itu di Poso, saat itu lagi operasi tinombala pengejaran pada Basri dan Santoso. Nah kemudian kami mengikuti track Basri dan Santoso dan sebagainya tapi ada satu momentum yang saya ingat sekali sampai kemarin yaitu ketika saya masuk ke pasar sentral Poso kemudian berdialog dengan pedagang. Mereka menyampaikan gini, mas kami merasa tidak terancam sebenarnya sama Santoso dan Basri, malah kami merasa terancam dengan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah Poso," jelasnya.
"Kenapa begitu? Bayangkan bantuan-bantuan dari pusat bisa nggk nyampe sepenuhnya ke kami, bantuan-bantuan untuk melakukan misalnya contoh kasus lokal bantuan rehabilitasi mantan-mantan kombatan Kristen, Islam banyak yang dipotong. Dan sekarang kombatan-kombatan ini masih di sini kok, kami bareng nih kristen Islam. Baik-baik saja. Nah tapi kami terus digusur dari sini. Mas, kalau kami terus dilakukan begini mending kami ikut Santoso dan Basri. Saya bilang apa? Ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan hukum itu melahirkan perlawanan seperti itu," paparnya.
Melihat kasus tersebut, Dahnil menegaskan pemerintah memiliki tugas besar untuk menjalankan Pancasila. Poin-poin Pancasila jangan hanya dijadikan materi dalam pidato namun harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Pancasila itu tidak hanya pidato. Mohon maaf bapak-bapak pejabat di sini bagi saya yang paling butuh diajari Pancasila itu bukan kami-kami, yang paling butuh diajari Pancasila itu kepala daerah, PNS, politisi, itu yang harus diajari Pancasila. Kalau kami ya sudah otentik, sudah darahnya," tuntas Dahnil.