Dari dokter puskesmas, Budhi Setiawan jadi wakil bupati Banyumas
Saat menjadi dokter di daerah terpencil, ia tidak membeda-bedakan suku, ras dan golongan.
Jika Jakarta mempunyai Wakil Gubernur berasal dari etnis Tionghoa, Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok, di Banyumas Jawa Tengah, juga memiliki Wakil Bupati berasal dari kalangan etnis Tionghoa.
Dialah Budhi Setiawan. Ia kini mendampingi Bupati Achmad Husein dalam menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten Banyumas. Sosok Budhi Setiawan bagi kalangan masyarakat di Banyumas bukanlah sosok baru dalam dunia politik.
Budhi dikenal sebagai aktivis PDI Perjuangan. Bahkan kini ia menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) partai banteng bermoncong putih di Kabupaten Banyumas. Kariernya di bidang politik, sulit dipisahkan dari profesi yang telah digelutinya sejak tahun 1983 sebagai dokter.
"Sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Unpad tahun 1983, saya ditugaskan di Desa Gandatapa, Sumbang, Banyumas yang terpencil. Dari sana saya sering blusukan melihat dari dekat kondisi masyarakat di desa terpencil yang saat itu tidak ada penerangan," ucapnya saat dihubungi Merdeka.com beberapa waktu lalu.
Bertugas di daerah minim fasilitas, tak membuatnya lelah untuk menolong sesama tanpa membeda-bedakan golongan dan suku. Perasaan untuk menolong sesama, diakuinya, sudah tertempa sejak zaman kuliah dalam berbagai kegiatan dan organisasi sosial yang digelutinya.
"Sejak kecil, saya tinggal membaur dengan masyarakat asal, bahkan saya juga bersekolah di sekolah nasional hingga universitas dan pernah tinggal dalam satu asrama bersama berbagai orang dari suku yang ada di Indonesia," ujar pria kelahiran Banyumas 29 Juli 1953.
Pada zaman Orde Baru, suami Linawati ini mengaku sangat sulit mendapatkan akses dalam karier dan pendidikan. Sejak menjadi PNS setelah ditempatkan menjadi dokter, Budhi tidak pernah membayangkan jabatan yang tinggi.
"Dulu saya hanya berpikir menjadi dokter puskesmas saja. Sebab untuk melanjutkan sekolah spesialis sangat sulit apalagi mendapatkan karier menjadi kepala dinas," jelas mantan Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Banyumas dan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) cabang Banyumas ini.
Aktivitas politiknya bersama partai, kala itu pun sudah mulai terjalin dengan melakukan advokasi. Diakuinya, membela rakyat berada di bawah penindasan tanpa melihat latar belakang golongan agama dan ras telah dilakukannya sejak lama. Budhi yang masih membuka praktik dokter di rumahnya mengaku bahagia bisa menolong sesama dalam pelayanan kesehatan.
"Suatu kali saya pernah kedatangan pasien tukang becak yang sakit. Saat itu, tukang becak tersebut tidak memiliki uang dan saya bilang supaya tidak usah membayar. Perasaan tersebut karena didorong rasa iba, karena saya berpikir kalau dia tidak sehat bagaimana bisa menghidupi keluarganya," jelasnya yang pernah menjadi Ketua Komisi D DPRD Banyumas.
Bagi Budhi, dunia politik merupakan sesuatu yang tabu untuk digeluti. Kondisi tersebut berkebalikan dengan kebanyakan mayoritas etnis Tionghoa yang lebih memilih menjauhi dunia politik.
"Sampai saat ini memang masih banyak orang Tionghoa memandang politik itu menakutkan dan tidak menarik. Tetapi dengan adanya pembuktian contoh politikus dari kalangan etnis Tionghoa, sudah saatnya pikiran tersebut diubah," ujarnya.
Dia bahkan berharap dari kalangan etnis Tionghoa sendiri bisa melakukan pembauran secara total sebagai sebuah negara yang plural dalam kebhinekaan. Selain itu, ia berharap pembauran akan merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kalau berkaca pada Banyumas sendiri, selama ini tidak pernah ada pembeda dalam masyarakatnya. Cablaka sebagai ciri khas Banyumas juga dimiliki warga baik pribumi maupun Tionghoa. Sehingga semua suku yang tinggal di sini bisa merasakan Banyumas yang terbuka dan apa adanya," jelas pengagum Soekarno, Sugijapranat dan IJ Kasimo.
Ketiga tokoh tersebut, jelasnya, telah menanamkan indahnya perbedaan yang menjadi landasan utama berdirinya Indonesia. Menurutnya, tanpa adanya fondasi perbedaan tersebut, kebhinekaan di Indonesia tidak akan bisa terwujud.