De-Soekarnoisasi, Soeharto 'bunuh' Bung Karno di hati rakyat
Gelora Bung Karno diubah jadi Gelora Senayan. Bahkan foto Soekarno saat membaca teks proklamasi dihilangkan Orde Baru.
Sebagai presiden yang baru dilantik, Soeharto tahu benar siapa sebenarnya pemimpin yang dicintai rakyatnya. Soekarno, dianggap Soeharto sebagai tembok besar yang bisa menghalanginya untuk meraih simpati dan kepercayaan rakyat Indonesia.
Untuk menghancurkan 'tembok' besar tersebut, Soeharto perlahan-lahan mereduksi kebesaran Soekarno di hati rakyat Indonesia saat itu. Soekarno 'dibunuh' karakternya oleh Soeharto.
"Alasannya mudah saja, di tahun 1965 hingga 1966, Soekarno masih dekat dengan rakyat, masih dielu-elukan rakyat. Untuk meraih kekuasaan selain secara politis, maka sejarah tentang Soekarno juga harus direduksi atau di de Soekarnoisasi," ujar sejarawan LIPI Asvi Warman Adam saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (20/6).
Menurut Asvi, upaya Soeharto 'membunuh' Soekarno dari hati dan ingatan rakyat Indonesia sangat masif dilakukan di zaman orde baru. Bahkan sejarah pun diputar, ditambahi dan diubah demi menjauhkan sosok Soekarno dari hati rakyat Indonesia kala itu.
Sebagai contoh, Stadion Gelora Bung Karno (GBK) yang dianggap bisa membangkitkan kenangan terhadap proklamator itu diganti namanya menjadi Stadion Utama Senayan. "Dulu Puncak Soekarno, lalu diganti jadi Puncak Jaya. Soekarno Pura diganti jadi Jayapura," terangnya.
Bahkan upaya de-Soekarnoisasi juga dilakukan oleh sejarawan-sejarawan yang pro terhadap orde baru. Dalam buku-buku sejarah di era orde baru, peran besar Soekarno terhadap kemerdekaan dan selama memimpin bangsa ini seolah dikecilkan.
"Bahkan dalam buku 'Pejuang dan Prajurit' buatan Nugroho Notosusanto di cetakan pertama, dalam foto proklamasi tidak wajah Soekarno. Wajah Soekarno dalam cetakan pertama itu dipotong," terangnya.
Bahkan tidak sekadar mengecilkan peran Soekarno, orde baru juga memfitnah putra sang fajar tersebut. Soekarno diadu domba dengan dua sahabatnya, Hatta dan Shahrir.
Upaya untuk mengadu domba Soekarno dan Hatta itu, kata Asvi bisa ditemukan di buku Cindy Adam yang berjudul 'Penyambung Lidah Rakyat'. Di buku cetakan pertama, buku terjemahan tersebut ditambahkan dua alinea yang isinya fitnah dan adu domba.
"Dua alinea itu tambahan itu memfitnah dan mengadu domba Soekarno dengan Hatta dan Syahrir. Setelah dibandingkan dengan buku aslinya, ternyata dua alinea itu tidak pernah ada dalam tulisan Cindy Adam yang asli," terangnya.
Namun kini rezim telah berganti, Soeharto pun telah tumbang dan rakyat kembali bisa melihat peran besar Soekarno. bahkan kini Haul Bung Karno pun diperingati secara besar-besaran.